Home - Menggagas Revolusi Pendidikan (Tanggapan I Terhadap Tulisan Kawan Ahmad Taufiq)

Menggagas Revolusi Pendidikan (Tanggapan I Terhadap Tulisan Kawan Ahmad Taufiq)

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh Puji Harianto*

-Tempus mutantur, et nos mutamur in illid-

Waktu berubah dan kita ikut berubah pula didalamnya

Judul ini memang disamakan dengan judul asli yang ditulis oleh kawan Ahmad Taufiq. Kenapa saya kasih “embel-embel” tanggapan I, karena saya mendengar bahwa kawan senasib saya itu mempunyai setidaknya 5 jilid tentang revolusi pendidikan. Di awal tulisannya, kawan Opik memulai dengan istilah “ono rego ono rupo” (mutu tergantung harga). Ia melihat bahwa banyaknya orang miskin yang tak dapat mengenyam bangku kuliah, disebabkan karena adanya “setan-setan” kapitalisme (kapitalisasi pendidikan). Argumen ini ia perkuat dengan mencontohkan banyaknya kampus yang berlabel “Negeri” belum dapat sepenuhnya dinikmati oleh rakyat miskin walaupun mendapatkan subsidi penuh dari negara. Pungutan liar tetap terjadi dan siapa yang memiliki budget tinggi akan langsung mendapatkan “tiket” masuk ke Universitas Negeri/PTN. Langsung masuk tanpa hambatan, layaknya lewat “jalan tol”.

Ending tulisan kawan Taufiq itu pada akhirnya memberikan, setidaknya 3 hal yang harus dilakukan agar semua rakyat Indonesia mendapatkan hak pendidikan yang sama. Pertama, me-nasionalisasi aset-aset vital negara yang dikuasai asing, mungkin seperti kilang minyak blok Cepu (saya ambil contoh ini karena kebetulan kawan Taufiq berasal dari daerah sekitar Cepu). Dengan menasionalisasi aset asing, kemungkinan besar keuntungan dari harga jual minyak itu bisa “diolah” dengan sendiri, semisal untuk sumbangan pendidikan (dibandingkan ketika dikuasai asing). Kedua, berdikari dalam segala bidang: politik, ekonomi, budaya dan sosial kemasyarakatan. Hal ini akan mungkin terjadi jika poin pertama bisa dan berhasil dilakukan oleh rakyat negeri ini. Dengan kata lain, meminimalisir sekecil mungkin pengaruh dan kuasa asing adalah hal yang pertama dan utama dilakukan. Bersatunya rakyat melawan penindasan ini harus segera direalisasikan, begitu kurang lebih kata kawan Taufiq. Mengutip epistemnya Gramsci, kontra hegemoni merupakan jurus jitu untuk melawan hegemoni itu sendiri.

Belajar dari Kekalahan Kaum Sophis

Ilmu pengetahuan, pada mulanya memang ditujukan untuk memberikan bekal intelektual kepada manusia. Ia diciptakan oleh manusia secara turun temurun dan selalu menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Sehingga pada perjalanan selanjutnya, ilmu pengetahuan menjelma menjadi beragam dikotomi-dikotomi ilmu yang tak melulu fokus pada satu pembahasan tema. Pada intinya, ilmu pengetahuan ini diciptakan untuk men-support manusia dalam menghadapi alam lingkungannya. Ketika masih berada di tangan individu, ilmu pengetahuan masih “suci”, ia digerakkan sepenuhnya oleh si empunya. Individu bebas memanipulasinya dan dipastikan tak ada kontra dari dirinya sendiri maupun orang lain. Ia tak terbebani apapun kecuali idealisme yang dibangun bersamaan dengan kemunculan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Kemudian persoalan muncul ketika ilmu pengetahuan tersebut masuk ke sebuah lembaga atau sistem, yang kemudian memunculkan istilah “pendidikan”. Mau tak mau, kemurnian ilmu pengetahuan ini harus tercemari oleh kepentingan yang mengatasnamakan kebutuhan bersama. Dalam sistem dan lembaga ini, tentu akan ada seabrek peraturan-peraturan. Dalihnya tetap sama, demi kepentingan dan kebutuhan bersama. Karena melibatkan banyak orang (dalam lembaganya), maka aturan baru juga harus dirumuskan. Sekali lagi, alibi yang digunakan tetap sama, kebersamaan. Dan dari perkumpulan, ini akan muncul dan keliatan siapa yang memiliki peran utama dan siapa yang memiliki peran pembantu. Jika ini terjadi, maka sepenuhnya itu bukanlah kesepakatan bersama, melainkan kesepakatan individu yang diamini secara rame-rame (bersama). Ini merupakan titik awal bagaimana ilmu pengetahuan, yang kemudian disebut sebagai pendidikan, “menghamba/untuk melayani” kaum pemodal (entah borjuis intelektual atau materi). Secara legal-formal, konsep ini sah karena bisa diwujudkan melalui undang-undang/aturan. Secara kultural, ia akan menjadi “dewa” yang akan selalu mempengaruhi, menjadi tujuan utama, disembah dan dipuja oleh pengikutnya.

Sejarah Pendidikan Indonesia (bukan Ilmu Pengetahuan lho)

Pendidikan di Indonesia (secara legal-formal), muncul di zaman kolonialisme Belanda. Sebelum masa kolonial, rakyat Indonesai mengenal pendidikan melalui sekolah-sekolah kerajaan ataupun komunitas-komunitas rakyat pribumi lainnya. Model “pendidikan” ini belum mengenal kurikulum, mata pelajaran ataupun penilaian hasil belajar. Pendidikan di zaman ini masih menggantungkan keinginan dan kebutuhan murni dari rakyat. Peserta didik bebas menentukan waktu dan pelajaran yang akan digelutinya. Belum ada yang namanya “naik kelas, juara, lulus” dan sebagainya. Yang ada hanyalah “sudah paham atau belum”. Jika sudah, maka pelajaran dilanjutkan dan jika belum paham, maka akan diulang sampai si peserta didik benar-benar paham. Ilmu yang diajarkan tak lebih dari ilmu-ilmu kebudayaan, ajaran moral dan sosial kemasyarakatan.

Kemudian Belanda masuk ke Indonesia dan menciptakan sistem pendidikan “yang katanya” lebih mutakhir, efktif dan efesien. Adanya jenjang kelas, kurikulum, value, apresisasi dan tujuan yang jelas. Sekolah-sekolah ala meneer ini dibuat sejatinya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di pabrik (pabrik gula, perkebunan) dan kantor-kantor gubernur (juru tulis, penerjemah). Dari sini bisa dilihat bahwa sekolah ala Indonesia mula-mulanya adalah barang impor dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja. Dan sepertinya, spirit ini tetap terbangun, terpatri dan mengakar sampai sekarang. Logika masyarakat Indonesia masih berkutat pada mindset bahwa pendidikan adalah untuk kerja. Pendidikan untuk menunjang kemapanan ekonomi. Pendidikan (sekolah) itu dikatakan berhasil, jika setelah lulus bisa bekerja dan berhasil menghidupi diri sendiri. Ini bukan lagi masalah pengaruh sistem kapitalisme atau sebagainya, melainkan masalah spirit, mental dan logika mayoritas. Sistem kapitalisme (jika memang iya), hanyalah argumen pendukung bahwa sekolah itu pada akhirnya akan menciptakan budak-budak kaum kapitalis, bukan sebagai abdi masyarakat. Dan satu lagi, yang bisa menikmati sekolah Belanda ini hanyalah kaum ningrat semata.

Kembali ke tawaran kawan Taufiq di tulisannya, ia menawarkan bahwa kita harus menggalang massa (yang saya pahami lebih berwujud gerakan sosial) untuk merebut aset negara yang dikuasai asing dan kalau bisa menumbangkannya. Saya kira tawaran ini merupakan tawaran lanjutan dari tawaran yang akan saya ajukan ini. Seperti ini yang sudah dijelaskan di atas, bahwa ini mengenai mentalitas, mindset dan hegemoni negara. Artinya, yang akan kita lakukan adalah lebih kepada cara bergerak untuk mewujudkan cita-cita itu (revolusi pendidikan).

Kawan Taufiq memberikan alternatif gerakan perlawanan dari bawah (rakyat) untuk bersama-sama melakukan revolusi. Menurut saya, tidak sepenuhnya harus dari bawah. Persoalan pendidikan Indonesia menjadi kacau balau ini kan bersumber dari kebijakan, dan kebijakan itu yang membuat adalah para pemimpin negeri ini (menteri-menteri dan pejabat yang bersangkutan). Apakah dalam hal ini rakyat mempunyai “kuasa” penuh untuk membuat kebijakan? Tidak. Rakyat hanya digunakan sebagai tameng dan topeng yang menjijikkan dari aturan-aturan yang mereka buat. Artinya, kita bergerak dari atas, me-reshuffle oknum-oknum yang terlibat dalam membuat kebijakan-kebijakan pendidikan. Setelah oknum berganti, maka penguasaan aset asing akan mudah dilakukan karena kebijakan dan aturan sudah mendekati pro rakyat.

Ini mutlak dilakukan karena kebijakan yang disodorkan oleh pemangku kebijakan sudah bukan logika untuk pendidikan lagi, melainkan logika dagang. Siapa yang punya modal banyak, ia akan mendapatkan segalanya. Cara berpikir untung-rugi sudah pasti ikut di dalamnya. Maka tak heran jika orang yang lulus sekolah, selanjutnya akan lebih bersemangat untuk bekerja. Karena jelas, mengembalikan modal yang ia keluarkan ketika sekolah (bayar SPP, ujian masuk dan pungutan-pungutan lainnya). Dan anehnya, mereka yang “berpendidikan” secara mapan mengikuti aturan ini. Peserta didik yang memberikan “upeti” lebih, akan dimudahkan segala jalannya dalam ber-sekolah. Ya, sekali lagi tak heran bagi peserta didik yang masuk ke sekolah melalui “pintu belakang” (menggunakan materi lebih) akan berpikir seperti seniornya (pemangku kebijakan). Logika simpelnya “saya sudah bayar mahal untuk sekolah, maka wajar setelah lulus saya harus bekerja dan kalau perlu melakukan sistem yang sama seperti apa yang dilakukan kepada saya”. Kabar “baiknya”, hal ini sudah merembet ke perpolitikan kita. Caleg melakukan “serangan fajar” dan jika menjadi anggota dewan melakukan “pengerukan” uang negara habis-habisan.

Njuk aku kudu pie, Sri ???

 

Belakang Kantin Universitas, 28 April 2014

*Mahasiswa Perbandingan Agama, FUSPI