Home - Cerita kepada Bintang Malam

Cerita kepada Bintang Malam

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Dhedhe Lotus

“Kau mencari-cari keluar dari dirimu

Dan itulah apa yang semestinya kau hindari dari sekarang

Tak ada seorang pun bisa menasehati atau membantumu,

-tak seorang pun!

Pergilah ke dalam dirimu sendiri

Temukan alasan yang mendorongmu untuk menulis:

Lihat, apakah alasan itu telah mengembangkan akar-akarnya

Ke dalam hatimu yang terdalam;

Akui pada dirimu sendiri

Apakah aku rela mati, bila aku dilarang menulis?

Dan lebih dari itu semua, tanyakan pada dirimu sendiri

Di jam paling hening pada malam-malammu,

Apakah aku harus menulis?”

 

-Josef Maria Rilke-

 

***

Aku bergidik ngeri mendengar kabarmu, nduk, cah ayu. Kakak mana yang tak sedih mendengar adiknya dihujat begitu banyak orang. Kau, barangkali tak tahu bahwa aku pernah berada di posisimu, dahulu sekali saat kau masih tak mengerti kenapa kau harus menziarahi nisan yang orangnya tak pernah kau lihat sekali pun. Dan itu adalah satu di antara sekian pertanyaan yang ingin aku jawab. Kau dan aku sama, sama-sama memiliki kemarahan yang kita sendiri tak tahu untuk apa dan siapa. Sedang kepada Tuhan kita takut, ketakutan yang membuat kita semakin menjadi pemarah.

Dan aku pun marah, sebab kau dihujat. Tapi aku tak ingin menanggapi hujatan tak bermutu itu, aku hanya ingin menemuimu, memelukmu erat, dan mengatakan bahwa masih ada satu orang yang ingin tahu keadaanmu, yang ingin mendengar cerita-cerita lugu kisah asmara sumber segala hujatan itu. Aku ingin memberimu buku-buku yang oleh orang tuamu dianggap bacaan terlarang. Kau, sesungguhnya aku senang dengan kemarahanmu itu, tumbuhlah menjadi pemberontak nduk, bahwa memang terlalu banyak orang yang kurang ajar dan yang tidak sadar dengan kekurang ajarannya itu.

Dan mungkin, karena kau dibesarkan sebagai anak kyai. Bapakmu pemilik pesantren, iya, itu memberatkan bagi kehidupanmu sebab kau telah memiliki cacat nama untuk kemudian menyandang gelar ning. Tentu saja kau tak bisa menikmatinya, kehidupanmu itu memang brengsek. Maka marahlah, maka berbuatlah sesukamu jika itu bisa sedikit menjadi obat, jangan pedulikan siapapun yang menganggap obatmu itu racun. Tutup telingamu. Dan cukup hanya dengarkan kisahku. Kau kelak, akan mengerti bagaimana harus bersikap.

***

Namamu Bintang Malam. Kuambil dari sebuah buku dongeng. Orang-orang memarahiku karena seenak sendiri memberimu nama. Sebenarnya waktu itu, seorang kyai desa telah mempersiapkanmu sebuah nama, entah seperti apa, yang pasti ia menyiapkan nama yang berbau kearab-araban. Dan aku menolak sambil merengek dan tak mau makan hingga orang-orang rela menamaimu sebagaimana inginku. Aku bahkan mengikuti ritual potong rambutmu, agar aku mendengar sendiri siapa namamu.

Kau nduk, seandainya kau adalah anak ajaib seperti dalam buku dongeng yang aku baca waktu itu, kau akan takjub dengan perjuanganku mempertahankan namamu. Tapi di malam kelahiranmu kau seperti bayi lainnya yang hanya bisa menangis menginginkan susu ibu. Jika kau bertanya kenapa aku bersikeras dengan nama itu, baiklah akan aku jawab seingatku, sebab sudah lama sekali sejak kelahiranmu itu.

Suatu malam, ibu memanggil-manggil namaku untuk memberitahu siapa saja bahwa air ketubannya sudah pecah. Dan pada akhirnya seorang dukun bayi di datangkan dan membantumu keluar dari persembunyian. Kau lama sekali tak keluar-keluar, padahal aku relakan untuk begadang sampai malam dan menungguimu hingga tangisan pertamamu terdengar. Mungkin kau tahu bahwa gua garba ibu adalah tempat yang paling nyaman untukmu. Atau barangkali kau sedang asyik berdebat dengan kakang kawah dan adi ari-ari di dalam rahim ibu, ah, entah. Jika aku menanyaimu pun kamu tak tahu.

Kau lahir tengah malam. Aku senang sekali melihatmu, tapi sayangnya kelahiranmu membutuhkan pengorbanan lebih. Kau lahir terlengkapi sebuah derita kepergian ibu. Beberapa hari setelah kelahirnamu. Jangan pernah berpikir aku marah karena kehadiranmu itu, tidak nduk, aku adalah orang pertama yang bahagia menunggu kelahiranmu dengan begitu lugu sebab aku tak pernah memikirkan banyak hal seperti yang oleh orang-orang gelisahkan, bahkan ibu pun seolah tak mengharapkan kehadiranmu. Hanya seolah, tak pasti, sebab memang, kau terlahir tanpa seorang ayah.

Di malam kelahiranmu itu, aku menungguimu dengan membaca buku dongeng yang aku pinjam di perpustakaan sekolah. “Baron, dan kuda terbang tuan putri” dan di dalam cerita, tuan putri itu bernama Bintang Malam, yang aku ambil untuk namamu. Aku hanya ingin kamu menjadi sebagaimana tuan putri yang jelita dan yang kehadirannya selalu dinanti banyak orang. Tapi kehadiranmu itu nyatanya memberi banyak caci dan membuat ibu tak kuat menanggung siksa moral. Tapi aku tak tahu kenapa ibu mati. Lebih tepatnya aku tak ingin tahu dan bahkan aku selalu menutup telingaku rapat ketika orang-orang mempergunjingkan ibu.

Namun, hanya beberapa hari saja nduk aku bisa mendengar tangismu. Selepas kepergian ibu, kita dipisahkan oleh jarak. Dan aku tak kuasa untuk mencari jejakmu.

To be continue. . .