Oleh: Doel Rohim*
Terbitnya surat edaran yang dikeluarkan oleh DEMA UIN Suka terkait pembatasan ruang gerak organisasi ekstra gerakan, maupun IKPMD di dalam kampus untuk melakukan open recruitment angota baru, menjadi pertanyaan besar bagi kader organisasi yang ada di kampus ini. Pasalnya surat edaran yang dikeluarkan oleh pihak DEMA diindikasikan ada unsur netralisasi kampus dari unsur gerakan mahasiswa oleh pihak birokrat. Sebab dari beberapa sumber yang menyatakan bahwa surat edaran tersebut merupakan turunan dari pihak birokrasi kampus yang berada di rektorat. Benar salahnya informasi tersebut, yang pasti surat edaran yang dikeluarkan menunjukan adanya itikat tidak baik untuk tumbuh kembangnya organisasi ekstra yang ada di kampus putih ini.
Bagaimanapun juga kampus UIN Suka telah lama menjadi basis organisasi, IKPMD, maupun gerakan yang ada di kota pelajar ini. Pernyataan ini sulit kita sangkal, sebagai buktinya adalah menjamurnya para kativis kampus yang tumbuh subur. Selain itu, organisasi maupun gerakan yang ada di Jogja yang paling eksis adalah massa dari kampus UIN Suka. Hal ini menjadi bukti konkrit bahwa kampus UIN Suka menjadi embrio organisasi dan gerakan yang ada di kota Jogjakarta.
Menelisik lebih jauh dari beberapa poin surat edaran tersebut, yang menurut hemat penulis tidak jelas untuk ditetapkan di dalam konteks kampus saat ini adalah adanya peraturan yang menyebutkan bahwa setiap organisasi ekstra wajib mengajukan surat izin kepada DEMA UIN Suka untuk melakukan pembukaan stand di wilayah UIN Suka. Belum cukup dengan itu pelampiran AD/ART dan struktur pengurusan organisasi menjadi salah satu poin dari ketidakjelasan surat edaran tersebut.
Menurut hemat penulis hal itu tidak jelas, beberapa alasan penulis bisa sebutkan: Pertama, peraturan tersebut mengindikasikan adanya pembatasan ruang gerak organisasi ekstra dalam dunia kampus. Pembatasan ini bisa dilihat dengan peraturan yang menyatakan bahwa organisasi ekstra hanya boleh membuka open recruitment dalam satu tahun hanya satu kali dengan waktu yang telah ditetapkan. Bisa saja hal ini untuk mendukung misi birokrasi kampus untuk menciptkan situasi kampus yang sesuai dengan kultur akademik yang mengikat mahasiswa untuk tidak terlibat dalam organisasi ekstra.
Selain itu, penyantuman AD/ART untuk dapat izin membuka stand juga bukti ketidakjelasan surat edaran tersebut. Karna yang penulis pahami terkait AD/ART adalah salah satu dokumen yang sifatnya privat untuk diketahui oleh khalayak umum. Namun dalam peraturan tersebut malah sebaliknya, bahwa AD/ART suatu organisasi ingin dicek oleh birokrat. Salah satu alasan kenapa pengecekan itu dilakukan adalah untuk mencegah organisasi yang menyebarkan paham radikalisme. Pertanyannya radikalisme seperti apa yang dimaksud oleh birokrat ini? Karena kalau kita memakai kata radikalisme akan berarti luas, dan juga akan menimbulkan multi tafsir terhadap kata tersebut, tergantung subjektifitas masing-masing penafsir. Dalam hal ini akan menjadi belunder ketika persyraatan penyantuman AD/ART itu dilakukan oleh suatu organisasi.
Dari beberapa penjelasan di atas ada salah satu simpul yang bisa kita tarik menjadi salah poin penting yaitu, birokrasi kampus mengiginkan mahasiswa tidak terlibat dalam dunia organisasi dan pergerakan yang ada di kampus ini. Dengan berdalihkan penertiban dan pensistematisan organisasi ekstra yang ada. Secara tidak langsung birokrasi kampus ingin mematikan ruang gerak organisasi ekstra di dalam kampus. Dan itulah tanda dari matinya organisasi ekstra yang ada di kampus perlawanan ini.
Kalau kita berkaca dari sejarah pola penertiban seperti ini pernah dilakukan pada zaman Orde Baru. Yaitu dengan adanya pendisiplinan mahasiswa dengan program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Pada saat itu kampus diseterilisasi dari berbagai gejolak yang anti dengan progam pemerintah. Dengan cara penangkapan terhadap para aktifis kampus dan hadirnya para intelejen untuk mengawasi ruang-ruang diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa.
Namun dalam konteks UIN Suka tentunya tidak se-ekstrim apa yang disebutkan di atas. Tetapi yang tidak bisa kita hindari adalah pada tataran subtansial hal tersebut terjadi pada surat edaran tersebut. Kalau kita mau mengkaji pada tataran teoritik permasalahan di atas ada salah satu teori yang menarik untuk kita kontekskan pada permasalahan ini, yaitu pendapat salah satu filsuf berkebangsaan Prancis yaitu Michel Foucault yang mengtakan bawa kepengaturan adalah konsep ataupun bisa kita sebut alat untuk mengiring niat, pembentukan kebiasaan, harapan, dan kepercayaan. Kemudian pendisiplinan atau pengaturan yang dilakukan dengan paksaan dan hukuman menurut Foucault lebih mengacu pada pengontrolan yang dilakukan oleh agen modern dengan tujuan untuk kemaslahatan orang banyak tetapi dalam pratiknya bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang saja.
Apapun itu, yang telah terjadi adalah surat edaran tersebut dikeluarkan oleh Dema UIN Suka yang notabenenya sebagai perwakilan mahasiswa untuk menyuarakan hak-hak mahasiswa, untuk dapat berorganisasi dengan bebas. Tetapi adanya surat tersebut perlu kita pertanyakan ulang keberpihakan Dema terhadap mahasiswa itu seperti apa? Terlepas dari itu semua pendisiplinan mahasiswa untuk tunduk pada struktur kampus semakin nyata dan proses hegemonisasi juga semakin jelas dilakukan oleh pihak kampus terhadap mahasiswa UIN Suka. Bisa jadi surat edaran tersebut salah satu langkah untuk mengarahkan mahasiswa pada pola pikir kapital untuk dapat diperburuh oleh pasar. Semoga salah.[]
*Penulis mahasiswa UIN Suka, jama’ah ARENA.