Home - Sisi Kemanusiaan Papua Lewat “Remahili”

Sisi Kemanusiaan Papua Lewat “Remahili”

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

remahili2Lpmarena.com, Dalam Bahasa Sentani, Remahili berarti ratapan. Remahili mewakili keadaan duka cita yang dimiliki oleh setiap manusia, semisal saat ada keluarga yang meninggal, orang Sentani akan menumpahkan ratapan dan kesedihannya dengan cara menyanyi, menari, dan bersenandung. Mengambil semangat yang sama,  dua perupa asal Papua, Albertho Wanma dan Ignasius Dicky Takndare mengadakan pameran lukisan bertajuk Remahili.

Berbeda dengan pameran-pameran seni rupa lainnya yang sering terjadi di Bentara Budaya Yogyakarta, menurut  Sindhunata, Remahili memiliki ciri khusus yang sangat terasa Papuanya. Dari nada, irama, dan corak yang ditawarkan memiliki warna yang lain yang tak terbayangkan di Jogja. “Rasa dan kedalamannya lain. Kita bisa mendengar bagaimana anak Papua menciptakan kisahnya. Bukan ratapan politik, tapi seni,” ucap pria yang kerap dipanggil Romo Sindhu ini dalam pembukaan pameran, Sabtu (15/10).

Andre selaku kurator pameran Remahili mengungkapkan, pameran ini banyak bercerita tentang latar historis Bertho dan Dicky sebagai orang Papua. “Papua tidak diidentikkan dengan politik, tapi kita bicara tentang manusia. Relasi manusia,” tuturnya. Andre memfokuskan kuratorialnya pada kemanusiaan.

Kemanusiaan ini pun turut didukung dengan pernyataan Andrew Lumban Gaol dari Anti-Tank. Bagi Andrew Orang Papua saat ini sangat tertutup dari media, sebagai imbas dari kebijakan Jokowi lewat militer-militernya. Apa yang dilakukan Bertho dan Dicky menjadi alternatif yang menyuarakan kondisi Papua secara jujur, tapi tak cenderung cerewet—berbeda dengan orang non Papua yang sangat cerewet. “Baru kali ini ada pameran orang Papua. Karyanya powerful. Berbicara sangat jujur. Banyak hal yang menjadi dosa kolektif atas orang Papua,” kata Andrew.

Lebih jauh, Romo Sindhu berpesan Remahili diapresiasi sebagai bentuk kebudayaan. Ada kedekatan yang sangat manusiawi yang bisa merefleksikan lebih jauh mengenai kondisi di Papua. Tentang solidaritas dan keprihatinan yang rakyat Papua rasakan dan orang dari wilayah lain tak mengetahuinya. “Kita akan melihat tangis, jeritan, dan harapan mereka,” katanya.

Pesan dari Romo Sindhu ini selaras dengan apa yang diceritakan Dicky. Pameran ini mengingatkan kita bahwa tiap orang punya waktu, kesempatan Remahili. Bukan tentang bagaimana orang meratapi keterpurukannya, tapi bagaimana orang tersebut bangkit.

“Satu hal yang ingin saya sampaikan, ketika ada orang bilang ‘kae lho ada wong Papua berantem’, saya ingin orang lain bilang ‘kae lho nonton orang Papua pameran’,” kata Dicky menceritakan stigma orang Jogja atas Papua saat ngangkring di kawasan Bantul.

Agendanya pula pameran ini akan diselenggarakan dari tanggal tanggal 15-23 Oktober 2016 . Jam buka 13.00-21.00 WIB, di ruang pameran Bentara Budaya Yogyakarta.

Reporter dan Redaktur: Isma Swastiningrum