Home - Santri Progresif: Bela Tanah – Air

Santri Progresif: Bela Tanah – Air

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Muhammad Faksi Fahlevi*

Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain atau wajib bagi setiap individu.. (K.H. Hasyim Asy’ari)

Terlepas dari konteks sejarah, yang menjadi penyebab disahkanya Hari Santri Nasional pada tanggal 22 Oktober 2015 melalui Keppres Nomor 22 tahun 2015, saya mencoba merefleksikan pengertian membela “tanah-air” yang menjadi poin penting resolusi jihad oleh Mbah Hasyim Asy’ari.

Kenapa harus membela tanah-air? kenapa tidak membela bangsa dan negara? Pertama, pengertian tanah-air adalah sebuah lokus, di mana budaya bisa dibangun, kekuatan bangsa dan negara bisa tegak. Kedua, selain sebagai lokus kesadaran pengetahuan, juga menjadi kekuatan ekonomi dan kekuatan keseimbangan ekologi. Sebab tanah dan air adalah sebagai jiwa yang menghidupi yang tidak bisa dipisahkan dari pendisiplinan setiap tubuh masyaratnya. Ini sungguh sangat menarik jika kita jeli menerjemahkan kerangka epistimologi resolusi jihad K. H. Hasyim Asy’ari.

Artinya, peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh pada tanggl 22 Oktober ini tidak hanya sebatas pengakuan, bahwa kalangan santri ikut terlibat dalam proses kemerdekaan bangsa ini. Namun yang lebih penting adalah bagaimana kerangka epistimologi itu terus menyejarah, bahwa kedaualatan tanah dan air adalah harga mati manusia. K.H Hasyim Asy’ari tak pernah punya cita-cita 22 Okober sebagi hari yang perlu dikenang, selain semata-mata semangat membelah tanah dan airnya. “pengabdian kepada tanah dan air” sama dengan mengabdi kepada tuhan dan manusia.

Seperti halnya lead yang saya kutip dari K.H Hasyim, ada kata kunci menarik yaitu “penjajah” sebagai antitesa dari membela tanah-air. Kalimat tersebut kerap muncul kali atau bahkan wajib setiap pembahasan kedaulatan tanah dan air sebagai topik pembahasan yang aktual ke permukaan. Ia sebagai ancaman kehendak eksploitasi untuk menguasai. Ancaman itu, Noer Fauzi Rahman, menyebutnya  “kapitalisme adalah sebab, agraria adalah akibat”, mungkin pengertian mudahnya seperti itu.

Kehadirannya selalu tak terduga, karena itu santri harus waspada, tidak boleh terjebak atau terlena oleh godaan jabatan dan pemberian duduk di pemerintahan, serta pengakuan yang menyebabkan kita jauh dari prinsip kemanusian. Menjadi santri progresif harus kritis pada keadaan, bukan terus terkurung di penjara kesucian teologi. Sebagai pewaris para nabi ia harus selalu menjadi garda terdepan pertahanan kedaulatan tanah dan air dari korporasi (penjajah gaya baru).

Ada yang menarik dari pernyataan sejarawan Perancis pemimpin dari aliran Annales (Annales school) dalam ilmu sejarah, dalam karya klasiknya Civilizition and Kapitalism menyatakan: manakala kapitalisme diusir keluar dari pintu, ia akan masuk jendela. Mereka selalu ada celah untuk memisahkan petani dari dua unsur tersebut. Yang menjadi kewaspadaan dari kita sebagai santri.

Pemisahan tersebut merupakan upaya paksa agar supaya petani jauh dari tanahnya dan menjadi tenaga kerja/buruh upahan. Tanah dan kekayaan alam kemudian masuk kedalam modal perusahaan-perusahan borjuis kapitalistik.

Proses demikian dipahami oleh Adam Smith sebagai “Invisible Hands” yang bekerja dalam mengatur bagimana pasar pekerja. Dijelaskan dalam buku The Wealth of Nations bahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi lebih dahulu sebelum pembagian kerja.” Belajar dari kenyataan dan keniscayaan ini, Karl Marx mengembangkan teori the so-called primitive accumulation, yang mendudukkan proses perampasan tanah ini sebagai sisi dari mata uang dan kemudian memasangkanya dengan sisi lainnya, yakni penciptaan tenaga kerja bebas (Marx, Das Kapital).

Konteks penindasan dan peniadaan kebebasan adalah menjadi tugas santri hari ini. Menjadi penyambung lidah patahan sejarah, dan kuasa rakyat akan tanahnya. Ironisnya, akhir-akhir ini santri lebih cenderung sebangai icon politik dari kiainya. Dan kiai jarang sekali menjadi pemimpin massa rakyat, ketika hak tanah rakyat di ambil alih oleh negara, maupun penjajah baru. Lantas di mana tanggung jawab mereka ahli kitab (Al-Qura’an) akan pertanggungjawabannya terhadap kerusakan alam (ekologi)?  Sekali lagi tak penting merayakan Hari Santri begitu berlebihan oleh para kiai, maupun ulama seperti MUI, jika ia masih menjual produk halalnya untuk korporasi (penjajah baru). Jika penindasan bisa diatasi oleh do’a para ulama dan kiai hingga ia tidak terlibat dalam proses dialektis sosial, saya yakin Indonesia akan menjadi negara paling maju dan terdepan dengan ribuan pesantrennya, tapi nyatanya?

Justru mereka menjadi jubir dari kapitalisme itu sendiri, dengan menjual fatwa dan produk halal, yang hal itu hanya bisa di kompromi oleh pemilik modal, dan tidak buat rakyat kecil. Dan ini sungguh jauh dari cita-cita nasionalisme dan pengertian melawan penjajahan sebagaimana diajarkan oleh Al-Quran. Bahwasannya produk penjajahan adalah haram hukumnya, sebab ia wajah baru dari penjajahan modern, yang mengambil hak-hak kemanusian termasuk tanah dan air. Sertifikat halal bukan disandarkan pada rasional modern, sebab ia layak dimakan.

Hari ini santri nasional  seharusnya sudah mulai mengambil langkah lain yang lebih kontesktual, membangun kekuatan politik air dan politik tanah untuk hajat bersama. Siapa lagi jika bukan kita (santri) yang lebih dekat dengan petani desa, dan menjaga ekosistem air sebagai keputuhan pokok yang tak kalah pentingnya. Kita, saya,  memang orang konservatif, tapi punya nyali untuk hidup.

Tak menjadi persoalan menjadi konservativisme yang kerap kali disandangkan kepada kita, oleh orang modern dengan pradaban rasionalnya. Akan tetapi tidak menjalankan rasional kemanusiannya. Sebab kita juga sadar diri bahwa kita adalah nafas rakyat dan terus selamnya menjadi kekuatan politik rakyat tanah dan tanah-airnya untuk mempertahankan kearifan lokal.[]

*Penulis adalah santri Pondok Pesantren Annuqah, Guluk-Guluk, Sumenep Madura.