Puisi Nurul Ilmi El-Banna*
Yogya Musim Hujan
Nyaris tak ada debu beterbangan karena ditindas pasukan hujan
Jari-jari polusi terkapar diinjak titik gerimis di tengah jalan
Kendaraan berebut tempat untuk cepat melaju sebab gumpalan awan telah datang dari belakang
Siap melampiaskan kesal pada atmosfer
Yogya musim hujan,
Turis asing hampir tak jadi berkegiatan, anak jalanan girang dapat uang tambahan
Kami yang berjalan ingin sekali memindah tujuan ke hadapan
Yogya musim hujan,
Tahukah kita kemana airnya berpulang?
Aspal amat kokoh membalut jalan
Selokan sempit meluap ke permukaan
Sampah plastik menghadang perjalanan
Kemana air-air pulang?
“Tanah tempat kami berjalan telah ditutup tangan manusia, tanah lapang tempat kami pulang sudah jadi perumahan, akar-akar pohon hilang ditebang”
Yogya musim hujan,
Adalah kebingungan air mencari resapan untuk pulang ke laut selatan
Yogyakarta, 17 Maret 2013
Hanya bayangan
Kita tahu, burung-burung tak pernah berdistorsi. Cuma mengerti kewajiban berkicau dengan intuisi yang berkecambah di hati. Kita senantiasa berucap menyesatkan serapah ke tong sampah. Padahal, meski tangan takdir berbeda tapi peta jalan selalu sama. Lurus dan menikung, merayap ke pelosok sempit.
Matahari tak pernah tenggelam di rumbai kelambu, lalu merabunkan terang matanya. Hanya bumi yang terus berotasi mengaburkan batas pandang.
Bayangkan bagaimana jika seluruh tubuh tiba-tiba berdemokrasi. Semua berdiri sendiri-sendiri dengan stempel otonomi. Antek-antek negeri dipaksa merapal ikrar Zionisme. Kita melongo jadi tontonan.
Rakyat hanya bayangan dari tongkat penguasa yang tertancap di bawah terik matahari. Kita pun tak lagi bebas menulis puisi.
Yogyakarta, 10 Maret 2013
Vodka dan Air Mata
Baru terasa Le Fleurs du Mal selesai kupotret dengan lensa mata. Lembar terakhir yang usang hendak kuterbangkan ke bulu matamu. Biar barisannya makin rimbun.
Udara telah mengutuk embun sampai kering, aku tersadar pagi merambat di belakang kamar. Sedang di sini, barang-barang elektronik terus menorehkan luka di layar maya.
Siangnya, kau cecap mimpi matahari yang mengkristal oleh air mata dan Vodka. Sampai batang tubuhmu bisu, runtuh dan berhamburan di antara partikel polusi udara.
Konon engkau telah mencapai orgasme di segelas anggur menghitam. Lalu mulutmu seperti tersihir mengucapkan rayuan syair. “Ingin ku peluk Tuhan”. Mabuuuuuk…
Malamnya akan kuajak engkau ke hotel bintang lima. Menghadiri undangan pesta botol-botol Vodka. Sudah ku persiapkan segelas air mata.
Yogyakarta, 24 Februari 2013
Penulis kelahiran Sumenep, Madura. Kini menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puisinya dimuat di beberapa media seperti Radar Surabaya, Minggu Pagi, Radar Madura, Kompas.com, Buletin Jejak FSB dll. Karyanya terkumpul di Antologi Bersama Sebab Cinta “Lomba Penulisan Puisi Jogja II” (2013), 7 Dalam Memoribilia (2011) dan Simfoni Rindu (2012). Email: nurul.ilmi21@gmail.com
Puisi Makin Santosa*
Jejak Kata dalam Tinta
Masih terdengar jelas
Ketika serdadu-serdadu itu diluncurkan
Masih terngiang jelas
Ketika saudaraku terkapar tak berdaya
Masih terbayang jelas
Ketika peristiwa sengketa tanah berujung darah
Semua bertarung untuk eksistensi
Semua berjuang untuk makan
Semua bertahan untuk hidup
Semua dirundingkan
Semua dimunculkan
Tanpa unsur kejelasan
Keadilan terus jadi obrolan
Tapi tidak bisa dimanifestasikan
Hukum terus jadi yang terdepan
Tapi yang miskin selalu jadi korban
Kekuasaan terus jadi andalan
Tapi hanya untuk alat siapa yang melawan
Sungguh tragis nasib Indonesia kini
Yang menang selalu yang dipemerintahan
Dan kitalah yang selalu termarginalkan
Dan tanggung jawab mereka harus kita pertanyakan
Untuk Indonesia dimasa depan
Untuk seluruh rakyat tanpa penindasan.
Kebumen, 22 Maret 2011
Asaku
Renung jiwa saat malam berganti siang
Angin bertiup iringi awan biru dilangit
Burungpun ingin terbang bebas mengarungi samudera
Pasir juga tak mau terpisahkan oleh pantai
Semua ingin menatap hari esok
Menyambut pagi yang cerah
Apakah semua itu akan tercapai …
Dengan pengorbanan dan ketulusan hati
Suara riuh gundah sepanjang hari
Akan segera sirna …
Tahun yang lalu adalah guruku
Dan tahun yang akan datang adalah asaku
*Makin Santosa
Aktif dalam Forum Teater Bumi Yogyakarta