Oleh: Dhedhe Lotus
Aku menyukai sebuah perjalanan. Entah karena apa. Tapi, tak banyak tempat yang telah aku kunjungi, sebab bukan dari berapa banyak, tapi lebih dari bagaimana sebuah tempat menyimpan kenangan untuk kemudian kuulangi, meski entah kapan. Rasanya seperti membuka diary yang telah usang dan mendapati diri dengan sesungging senyuman, seperti itulah yang selalu terjadi di ujung perjalanan. Seperti kembali ke diri kita. Mungkin lebih tepatnya, aku mencintai perjalanan itu sendiri, dengan kelalahan dan hayalan yang kadang sedikit nakal atau pertemuan-pertemuan dengan orang-orang tak dikenal.
Pada awalnya orang-orang selalu mengkhawatirkan setiap perjalananku yang nekat, tapi tak satupun mampu mencegah kaki yang ingin melangkah. Itulah hebatnya aku. Lama-kelamaan mereka paham, atau mungkin lebih memilih menyelamatkan harga diri daripada merasa tak dianggap sama sekali. Dan aku selalu memiliki jalan untuk pergi dan kembali lagi. Mereka hanya tak pernah tahu, si bungsu ini telah belajar menantang maut sejak masa kanak.
Saat aku masih di sekolah dasar, aku dan temanku sering bersepeda jauh hingga ujung kecamatan dan bermain ke sungai buntu dekat pantai. Ada sampan di sana, juga si tukang dayung, dan kami sering ikut menaiki sampan dengan cuma-cuma. “Kalian sungguh anak-anak pemberani,” katanya suatu kali. Di samping sungai, ada sebuah terowongan gelap menuju kebun jeruk, aku pikir pemilik kebun itu memang sengaja menyembunyikan kebunnya yang ranum agar sulit dijangkau penduduk asing seperti kami. Tapi aku suka sekali main ke sana, terlebih saat melewati terowongan gelap yang menurun, juga aksi mencuri jeruk-jeruk yang telah menguning. Bagi kami petualangan itu sangat menyenangkan.
Aku mencintai segala jenis perjalanan. Orang-orang mungkin lebih menyukai perjalanan dengan beberapa teman atau pasangan, tapi aku lebih menyukai perjalanan tanpa siapapun, seorang diri. Seperti bermain tebak-tebakkan, kita tak akan pernah tahu orang macam apa yang akan duduk di kursi sebelah atau lelucon konyol apa yang dilakukan para pedagang untuk merayu penumpang.
Sesekali aku duduk dengan pencopet, dan asiknya, dia gagal mencuri laptop di tasku lantas kemudian terusir dari bus yang kami tumpangi. Tengah malam, di terminal Solo. Dan aku tak pernah merasakan takut sedikit pun, apalagi trauma, alih-alih aku ingin mengulanginya lagi, seperti bermain kucing-kucingan dan permainan itu selalu aku menangkan. Sisa perjalananku waktu itu kuhabiskan ngobrol dengan pak kernet. Bukan obrolan politik dan akademik, melainkan obrolan ngalor-ngidul tak penting. Tapi aku suka. Terkadang aku berpikir bahwa aku ini adalah makhluk lain dari benda yang bernama perekam, sebab perjalananku selalu memiliki kisahnya sendiri untuk kemudian kukisahkan kembali.
Sebenarnya aku lebih asyik menaiki kereta, tak pernah macet dan derunya membuatku membayangkan sebuah percakapan mesra seorang ibu dan anaknya, antara kereta dengan alam. Tapi baru-baru ini, aku enggan pergi dengan kereta, pemerintah melarang pedagang asongan berjualan sehingga tak bisa lagi kunikmati tahu sumedang di tengah perjalanan, tak ada pula pengamen yang mengiringi hayalan liarku. Perjalanan menjadi begitu senyap dan elit. Ah aku tak suka sesuatu yang berbau elit. Terlalu angkuh dan arogan.
Terkadang pun, aku pergi tanpa tujuan, seorang diri, sekadar jalan-jalan, sekadar ingin tahu percakapan-percakapan di perjalanan atau hanya sekadar cuci mata. Orang-orang datang dan pergi silih berganti, mungkin ada beberapa yang pernah aku kenal, bertemu, ngobrol, dan berpisah kembali. Dan nampaknya seperti itulah hidup. Orang-orang datang dan pergi silih berganti. Ada yang berkenan di hati, ada yang pergi dengan caci. Meski begitu, aku tak hidup di perjalanan, aku memiliki rumah, untuk aku ziarahi, untuk kukembali dan lantas kutinggalkan lagi untuk kesekian kali.
***
Sampai sekarang aku masih sering melakukan perjalanan, meski hanya sekadar menziarahi kampung halaman. Entah kenapa aku selalu sakit ketika keinginan untuk pulang itu aku matikan. Entah logika mana yang harus aku pakai, seolah selalu ada pola yang terus berulang ketika sudah waktunya untuk pulang dan aku tak pula menyegerakan. Sesuatu yang natural dan tak mampu aku ganggu gugat, seperti mau buang hajat yang tak mau tahu alasan apapun. Pada akhirnya aku harus pulang meski hanya sebentar.
Kepulangan itu selalu memberiku energi baru, seperti tiba-tiba mendapatkan kekuatan dari langit. Bukan karena keberadaan keluarga aku rasa, di sana tak ada siapapun. Kampung halamanku telah lama hanya tinggal rumah sebatang kara, keluargaku telah lama pindah kehidupan, karenanya aku lebih menyukai kata ziarah daripada mengunjungi. Tapi, ada sesuatu yang hilang dalam perjalananku dan keasyikan membaca kenangan itu kemudian tak lagi hadir. Aku menjadi resah tiap kali harus melakukan perjalanan itu hingga kemudian aku mengurangi intensitasku melakukannya, bahkan sama sekali tidak melakukan hal itu selain pulang berziarah. Dan hidup begitu terasa membosankan tanpa melakukan perjalanan.
****
Aku begitu tergesa, jam tanganku sudah menunjukkan pukul lima sore sedangkan kereta berangkat satu jam yang akan datang. Ingin sekali mempercepat laju bus yang aku tumpangi, tapi aku bukan sopir dan jalanan ini bukan jalanan nenek moyangku. Jadi kubiarkan saja gelisah mengganggu kenikmatanku.
Di dalam bus, aku duduk tepat di belakang pak sopir dan di samping dua orang lelaki yang hanya melirikku saat aku meminta izin untuk duduk di sampingnya. Tak lama kemudian Hp ku berbunyi, dari bibi rupanya –satu-satunya keluarga yang masih tinggal di kampung. “Botol minuman yayu ketinggalan, sudah naik bus apa belum?” katanya sembari cemas, “aku sudah naik bus, tidak apa-apa, lain kali aku masih pulang lagi,” jawabku sedikit pelan. Lelaki di sampingku itu melirik kembali, mungkin merasa terganggu.
Tiga puluh menit kemudian aku turun dari bus dan masih harus berjalan menuju ke stasiun, mungkin sekitar 5 menit. Sesampainya di stasiun, kuhampiri langsung petugas loket dan memintanya untuk memberiku tiket kereta. “Maaf mba kereta jurusan Kutoarjo-Jogja sudah berangkat sepuluh menit yang lalu, mulai awal bulan ini jadwal keberangkatan diganti,” kata petugas loket itu menjelaskan.
“Mba mau ke Jogja?” kata lelaki berjaket hitam tiba-tiba mengagetkanku. “ouh iya, tapi kereta sudah berangkat. Ada pergantian jadwal.” jawabku cuek. “Bagaimana kalau kita tanya lagi, mungkin sriwedari belum berangkat”. “Sriwedari? Ouh iya, okelah kalau begitu, mas mau ke mana? ke Jogja juga?” tanyaku mengalihkan pembicaraan dengan sedikit malas. “Aku mau ke Solo mba, kereta pramek kan juga sampai Solo”. Kami kemudian beriringan jalan menuju loket dan untuk kedua kalinya harus menelan kekecewaan bersama.
Lalu tanpa kesepakatan, kami seolah paham bahwa hal selanjutnya yang akan kami lakukan adalah menunggu bus. Obrolan pun dimulai, dari sekadar basa-basi perkenalan hingga kemudian aku disadarkan dengan hal konyol. Bagaimana bisa aku baru menyadari bahwa lelaki itu adalah lelaki yang sama dengan lelaki yang duduk di sebelahku di bus tadi? Sesalku dalam hati. Sejak itulah, mataku tak bisa menghindar dari arahnya. Ah, selalu saja lelaki.
Lalu untuk kedua kalinya, kita duduk bersebelahan di bus yang sama, tapi tidak lagi dengan saling melirik, tapi dengan saling tatap yang lebih dan aku merasa obrolan kian menarik. Angin malam yang masuk lewat jendela kaca membuatku dingin hingga aku sedikit merapat ke tubuhnya, dengan diselingi obrolan yang berloncatan entah ke mana.
Seperti kebanyakan bus malam, lampu pun dimatikan. Bus dipenuhi dengan penumpang yang terlelap, entah lelah, entah sebab gelap hingga suasana sedikit senyap. Suara bising jalanan masuk lewat celah jendela dan satu dua bayi yang merengek minta tetek. Nampaknya kami terlalu asyik bercerita hingga tak tahu telah sampai mana. Tawa lepas kami membuat beberapa penumpang melirik dengan wajah sedikit kesal merasa terganggu. Setelahnya kami diam dan membiarkan hening merambati, lalu mulai percakapan lagi dan lagi-lagi tertawa lepas kendali, begitulah kemudian hal itu terjadi berulang kali. Tiba-tiba aku diingatkan dengan pencurian jeruk-jeruk di masa kanakku, nampaknya seperti itulah kepuasan yang kami dapat saat mata para penumpang melirik seolah menghardik.
Tapi kemudian giliran kami yang dibuat kesal, bus berhenti dan orang-orang bergegas membawa barang mereka. Ah, rupanya kami telah sampai di terminal. Percakapan berhenti dan ia pun bergegas mendahului. Lalu aku, aku disibukkan dengan ketidakrelaan dan sedikit ketergesaan saat mengemasi barang-barang, jadilah aku penumpang terakhir yang turun dari bus.
Mataku ke sana ke mari, tapi tak juga kutemukan apa yang aku cari. Ia telah pergi, mungkin langsung naik bus untuk meneruskan perjalanan yang belum usai. Tapi, tak bisakah ia menungguku barang sejenak untuk sekadar memberi salam perpisahan dan bertukar nomor? Ah ya, bahkan obrolan panjang itu membuat kami lupa untuk bertukar nama. Selepas itu, aku masih berdiam di tempat, berharap ia kembali. Sepuluh menit berlalu dan ia tak kembali menemui. Dan aku pun pergi.
****
Semenjak itu, perjalanan tak lagi menyenangkan. Sebab tiap nyanyian yang didendangkan para pengamen terasa begitu sumbang, juga ketika lamunan mulai sedikit nakal, seperti memaksa ingatan kepada hasrat yang tak sempat terlampiaskan.
Yogyakarta, Desember 2014