Oleh: Mas’udi*)
“…membela rakyat, rakyat sing endhi ?”
Sebuah potongan kalimat yang sempat saya dengar dari obrolan seorang bapak yang sudah berusia senja dengan salah seorang temannya. Di suatu pagi yang sudah agak terik itu, mereka berdua kelihatan asyik dengan pekerjaannya sebagai kuli bangunan. Ya, mereka berdua adalah seorang buruh dengan usia dan tenaganya yang sudah tidak sekokoh bangunan yang sedang mereka kerjakan. Terdengar menarik perbincangannya. Perhatiannya terhadap isu kekinian masih sekuat balok besi yang mereka jejali dengan tangannya. Perbincangannya masih seputar isu politik dan perebutan kekuasaan di kalangan para elit yang ada di “sana”. Tentang demo mahasiswa di pertigaan jalan UIN Sunan Kalijaga, yang katanya masuk tayangan TV di rumah mereka. Bahkan tentang Jokowi pun tak luput dari perhatian mereka. Salah satu perbincangannya seperti apa yang penulis kutip di atas.
Cukup menarik bukan? Bagaimana seorang buruh yang sibuk berjibaku dengan kerasnya pekerjaan, masih sempat mempunyai nalar kritis untuk membaca sebuah lakon tentang kontestasi perpolitikan yang ada di Negeri kita ini. Sebuah Negeri yang sudah lama menyatakan kedaulatannya, yang kini sedang dijadikan ladang permainan oleh para pemilik kepentingan. Mereka berdua saling bersahutan dalam perbincangannya. Sesekali kepulan asap rokok mereka keluarkan di antara derap suaranya yang sudah berat. Seberat tanggungan hidup yang semakin menunggangi pundak dan pikirannya. Ketika saya perhatikan dengan seksama, tidak ada tumpukan buku di depan mereka. Selembar koran pun tidak nampak di sekitarnya. Yang ada hanyalah pemandangan gundukan pasir yang menggunung dan tumpukan besi yang siap memeras tenaga mereka. Tidak terdengar pula pergulatan wacana yang dipolesi oleh beragam teori dalam analisisnya. Hanya sebatas obrolan santai, tetapi cukup menghujam. Dan itulah hasil pembacaannya. Sebuah tindakan kritis pada basis pemaknaan yang ada di sekitarnya, sebagaimana salah satu pandangan konstrusionis yang diwacanakan oleh John Paul Lederach.
Fenomena di atas merupakan sebuah realita sosial sebagai antitesa terhadap dinamika yang terjadi dalam dunia pendidiakan dewasa ini. Di mana kita tahu bahwa masih banyak pelbagai hal yang perlu dibaca ulang dan dikonstruksi kembali. Kalau kita kembali menyelami cerita di atas, bagaimana seorang buruh tua yang tidak sedang menggeluti dunia pendidikan, dengan eloknya mereka masih menaruh perhatian pada kondisi Negeri ini yang sudah mulai akut. Lantas bagaimana dengan kalangan terdidik yang kesehariannya selalu berjibaku dengan buku-buku, bergumam dalam forum-forum diskusi dengan diluberi teori-teori, dan tentunya dengan daya sensitifitas yang masih kuat untuk meng-cover suatu isu terkini? Akankah kalangan terdidik kalah cepat dan tanggap dalam mengawal isu yang ada di Negeri ini?
Suatu hal yang menjadi ketakutan tersendiri ketika melihat fenomena dunia pendidikan yang tak ubahnya sebuah kontestasi dalam memperjuangkan idealisme semu. Ketakutan yang berawal dari hilangnya nalar kritis mahasiswa. Bukan hanya nalar kritis, akan tetapi juga pelbagai hal yang terbilang sederhana dan menjadi kewajiban bagi mahasiswa yang berada dalam dunia pendidikan. Salah satu contoh misalnya tentang kualitas baca mahasiswa. Jika kita sekejap mengamati fenomena kampus ketika momen ujian, akan kita temukan pemandangan yang sangat berbeda dari hari-hari biasanya, di mana seakan kita menemukan suasana kampus yang mahasiswanya sangat rajin membaca. Semua pojokan bangunan kampus menjadi tempat mereka untuk menelanjangi buku-buku yang mereka baca. Bahkan, karena saking khusuknya kesadaran sosialnya mulai tergerus sedemikian rupa. Kesadarannya sudah terbawa dalam konstruksi bahasa yang hegemonik dalam buku bacaan, supaya bisa menjawab berbagai soal ujian dengan baik dan benar, demi mendapatkan nilai yang membuat dirinya merasa bangga.
Suatu katika kita akan tersenyum sendiri ketika melihat suasana kampus yang awalnya ramai dengan pergumulan mahasiswa, dengan mata memelototi buku di tangan, berubah menjadi tempat bualan dengan penuh canda tawa. Pojokan bangunan kampus akan menjadi tempat eksotis baginya untuk sekedar membahas hal-hal yang hanya membuat perut mereka lapar. Di sini lah kita akan banyak menemukan berbagai kesimpulan, di mana mentalitas mahasiswa untuk membaca, hanya terbatas pada kepentingan untuk menjawab soal ujian dengan benar. Suatu proyeksi bagi kita bahwa kesadaran mahasiswa dewasa ini mulai teralinasi dari kesadaran realistis filosofis, dan mereka terjebak dalam kepentingan semu (Latent Interes), yang akan semakin lama meninabobokan mereka dalam balutan hegemoni utopis.
Ada apa gerangan? Rupanya kontestasi dalam perebutan nilai tertinggi menjadi rasionalisasi bagi sebagian besar dari Mahasiswa. Ada konstruksi sejarah yang menggiring wacana publik, bahwa nilai yang tinggi adalah predikat paling ideal bagi seorang mahasiswa. Predikat cumlaude menjadi sebuah hegemoni kata yang terus menunggangi mahasiswa untuk mendapat predikat tersebut, supaya bisa menembus pasar global. Dan konstruksi bahasa tersebut cukup ampuh menenggelamkan mindset mahasiswa untuk “melawan”. Dan pada akhirnya “kita” semua akan benar-benar menjadi “budak terdidik”, pesanan dari organisasi perdagangan dunia, Wold Trade Organization (WTO). Generasi yang seperti itu yang selalu menjadi kekhawatiran bangsa ini. Di mana laju percepatan pasar global tidak bisa diimbangi oleh kemampuan para generasi untuk menggiring dan mengontrol, akan tetapi terus menjadi kacung bagi pemegang otoritas kekuasaan ekonomi dunia pertama.
Seharusnya, rasionalisasi untuk mengejar predikat tersebut bisa digunakan untuk menjadi hegemoni tandingan (counter hegemony) supaya bisa menghapus hirarkhi kekuasaan dalam pasar global, yang selama ini digenggam oleh para elit di dunia pertama. Akan tetapi faktanya, masih banyak mahasiswa yang terjebak dan malah mengamininya. Hal ini termanifestasikan dari fakta di lapangan, di mana kualitas bacaan hanya sebatas “keinginan”, bukan menjadi sebuah “kebutuhan”, yaitu keinginan untuk bisa menjawab soal ujian dengan kualitas hafalan, bukan kualitas pemahaman yang bisa digiring untuk membangun nalar kritis, sebagai pisau analisis terhadap suatu fenomena di lapangan.
Rasionalisasi ini yang sungguh menghawatirkan. Sebuah rasionalisasi praktis, di mana cara pandang hidup duniawi selalu dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan individual pragmatis dan egoistis belaka. Fenomena ini yang selalu dicurigai oleh Harbert Marcuse, salah satu tokoh dalam teori kritis. Dalam salah satu wacananya dia mengungkapkan, bahwa rasionalisasi yang menguasai masyarakat industri merupakan biang keladi segala bentuk alienasi, penindasan, dan ketidakkrititisan. Dan “penyakit” ini yang mungkin juga sudah menjangkit ke dalam tubuh sebagian mahasiswa dewasa ini, sehingga nalar kritisnya sudah mulai tumbang. Kalah kritis dari buruh bangunan dalam membaca isu kekinian. Dan rasio yang terbangun hanya sebatas menjadi mata-mata dalam upaya mendapatkan posisi aman dan nyaman dalam pemahaman mereka yang berbeda. Pemahaman yang mengkaburkan pandangan mahasiswa dalam keterasingan.
Selamat ber-ujian dan “berpacaran” dengan tumpukan buku-buku di kamar dan Perpustakaan..!
*)Anak rantau dari Pulau Garam.