Home - Pemilwa: Waspadai Oligarki Politik Orba

Pemilwa: Waspadai Oligarki Politik Orba

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: M Faksi Fahlevi*

“Sekarang sebuah perkumpulan yang tidak berdiri melawan kapitalisme berarti wajar pasti didukung oleh kapital.” (Haji Misbach)

“Pemilwa merupakan budaya politik kampus yang selalu ada dan merupakan bentuk pendidikan demokrasi sejak dini.” (Soekarno dalam Kuliah Umum di Universitas Padjajaran Bandung). Alangkah tidak menariknya apa yang dikatakan Soekarno di atas, jika Pemilwa hanya sebagai proses pembelajaran politik. Di situasi gerakan mahasiswa yang sempit makna akan realitas dan sempitnya memahami sejarah, tidak ada proses dalam politik. Karena politisi partai yang ikut dalam Pemilwa kampus UIN Sunan Kalijaga hari ini adalah bagian dari oligarki politik rezim Orde Baru yang notabenenya juga politik praktis nasional.

Mungkin teman-teman masiswa yang masih awam akan sejarah pergerakan masiswa nasional, bisa cari tahu siapa saja gerakan mahasiwa yang berafiliasi dengan rezim Orde Baru. Atau jika belum bisa menemukan, saya beri satu kata kunci “GERAKAN CIPAYUNGAN” yang dapat diakses langsung di google pasti banyak bermunculan. Setelah Anda buka saya harap Anda cepat sadar dan kembali ke jalan yang benar. Karena Allah maha pengampun, yang tidak pengampun hanya manusianya sendiri.

Saya tidak sepakat jika politik kampus dijadikan proses pembelajaran politik, karena hal ini akan mengabaikan tanggung jawab. Seolah-olah ketika ada persoalan dalam hal politik, peserta penyelewengan anggaran, hal itu dianggap biasa dengan dalih: ”Kita masih mahasiswa dan ini proses pembelajaran politik”. Saya kira tidak ada kewajaran ketika memakan uang rakyat yang diperoleh dari pajak negara.

Inikah proses pendidikan politik yang anda maksud dari Soekarno? Saya kira proses demokrasi kampus perlu dikaji ulang oleh oleh para politisi partai hari ini, sebagaimana dimaksud oleh Soekarno di atas. Di satu sisi Soekarno sebagai Marhaenis yang punya semboyan “Nasional Progresif” menolak imperialisme dan menghapus status kelas.

Tapi bagaimana bisa status kelas bisa dijadikan sebuah tujuan yang perlu diperjuangkan oleh salah satu partai, sebagaimana termaktub dalam “Lima Perjuangan Partai.” Dalam poin pertama: menjadikan kelas sebagai ruang dialektika kritis-transformatif. Mungkin yang dimaksud adalah dialektika partai yang ikut dalam Pemilwa. Sedangkan mahasiswa yang tidak terlibat di dalamnya adalah obyek dari kelas oligarki politik. Tidak ada dilektika kritis bagi mahasiswa biasa.

Ini adalah prinsip demokrasi liberal, bukan demokrasi “dari rakyat, untuk rakyat” sebagaimana kita harapkan. Tidak dipungkiri lagi orang-orang di dalamnya hanya melibatkan elite partai, demi satu kepentingan jabatan dan kedudukan. Saya kira Soekarno tidak mengajarkan politik sebagai tujuan untuk merubah nasib indivdu atau segelintir golongan semata.

Percaturan elite politik kampus hari ini sebagaimana dikatakan teman saya Muhlis dalam obrolan politik, di Gendong Kaffe, bahwasanya adek-adek partai memang harus menjadi tirani bagi partai yang lain, supaya menjadi kuat ketika duduk di parlemen pemerintahan negara. Artinya tradisi politik mahasiswa tidak jauh berbeda dengan tradisi politik nasional, yaitu tradisi politik urakan, main fisik dan kata-kata kolot yang tidak berbobot.

Kita generasi baru dituntut untuk lebih maju dibandingkan generasi tua. Karena kita tidak lagi berpolitik di rezim Orde Baru yang penuh dengan tindak represif militer, kecuali kita memang bagian dari mereka. Hari ini kita butuh konsepsi dalam proses perubahan yang besar, bukan ribut-ribut dalam persolan atribut, apalagi sampai bentrok karena tidak tahan kritik,dan mengkritik karena terlalu subjektif untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Perlu disadari, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal politik Orde Baru, struktur kekuasaan, jaringan elite, peserta ideologi dan mentalitas. Gerakan mahasiswa hanya bisa menurunkan Soeharto dari jabatanya sebagai presiden. Tapi tidak untuk dua hal, yakni jaringan elitenya dan ideologinya. Cukup dipelajari saja, bukan dihafal.

Pendidikan kampus sebagai contoh kasus. jaringan politiknya masih menjadi hantu bagi saya sebagai mahasiswa biasa, kurikulumnya sangat Orbais, membenci prisitiwa 65 yang korbannya, dianggap tidak pancasilais dan ateis. Bentuk lain lahirnya NKK/BKK, yang merupakan upaya menjadikan partai politik kampus sebagai ruang politik praktis, untuk menjaga stabilitas kapitalis, yaitu “ Pesta Demokrasi” sama halnya dengan “ Pesta Borjuasi.” Saya berani bertaruh apakah tiga partai yang ada hari ini, siap membela korban 65, yang hari ini termarginalisasi secara tidak manusiawi.

Sebenarnya saya malu bicara ini bahwa kegiatan politik kampus (kata Habermas) hanya berhenti pada kesadaran istumental, bukan pada tindakan konsensus praktis. Kemiskinan hanya dijadikan sebagai wacana seminar, tidak tahu cara mengubahnya, sepenting anggaran turun dan menghabiskan anggaran.

Betapa kakunya politik kita jika dipegang oleh kalangan konservatif. Saya khawatir mereka tidak paham tujuan IMF, WTO, World Bank, serta Bretton Woods tentang liberalism – neoliberlisme. Atau bahkan tidak pernah buka indoprogress rubrik logika. Hingga mereka tidak bisa berlogika dan membantah.

Lantas apa yang mereka pahami tentang politik demokrasi dengan jargon “ Pesta Demokrasi“? upaya yang rasional atau merasionalisasi? Mungkin politisi kita perlu banyak referensi biar berpolitik dengan rapi, biar tidak hanya sekedar mengutip kata-kata motivasi Bang Mario Teguh. Minimal baca buku “Dielektika Pencerahan“ karya Adorno dan Horkheimer, supaya rakyat benar-benar “Merdeka” dan mendapatkan “ Pencerahan.”

*Penulis anggota Lembaga Kajian Filsafat Sosial (LeKFiS) yang kebetulan dilahirkan di pulau garam, Madura.