Home - Dalang Malari, Lalu Luka Setelahnya

Dalang Malari, Lalu Luka Setelahnya

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

MALARI atau sering disebut malapetaka lima belas Januari adalah salah satu peristiwa yang meliputi Orde Barunya Soeharto. Aksi besar-besaran mahasiswa pada tahun 1974 tersebut sebagai koreksi atas ketidakpuasan rakyat Indonesia, sebagai protes atas kebijakan-kebijakan pemerintah waktu itu. Masyarakat menilai bahwa pemerintah saat itu mengalami kebobrokan dalam birokrasi, seperti melakukan tindakan otoriter, monopoli kekuasaan, dan banyaknya kasus-kasus korupsi menjadi salah satu alasan terjadinya peristiwa 15 Januari 1974.

Pahlawan selalu muncul dalam keadaan yang tanpa terduga-duga, setelah rakyat Indonesia dibuat putus asa atas kecarut-marutan perekonomian pada masa akhir pemerintahan Soekarno, Soeharto muncul sebagai pahlawan yang seolah-olah menjanjikan yang lebih baik. Soeharto berpendapat bahwa langka pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki stabilitas ekonomi paska pergantian Orde Lama ke Orde Baru, baik secara nasional maupun regional. “Soeharto berprinsip bahwa pembangunan ekonomi memerlukan stabilitas keamanan” maka tidak diherankan Soeharto lebih berfokus pada faktor politik dan militer pemerintahan. Kemudian langkah pertama Soeharto adalah memperbaiki hubungan antara Indonesia dengan Malaysia yang retak di masa Soekarno. Saat itu muncul pula nama Ali Murtopo yang pada era Soekarno menjadi tokoh perang gerilya antara Indonesia dan Malaysia (Soeharto menggunakan kontak damai).

Menurut Soeharto perekonomian dalam negeri membutuhkan keamanan dan hubungan baik dengan politik luar negeri, maka Soeharto bergabung kembali dengan PBB dan menyeponsori berdirinya ASEAN. Kemudian langkah Soeharto selanjutnya adalah membersihkan pemerintahan, seperti foto-foto Soekarno dan para Soekarnois dibersihkan dalam tataran keperintahan; membentuk jaringan militer dan teknokrat-teknokrat; membuat lingkaran tak resmi Kopkamtip, Aspri, dan Opsus yang notabenenya mengangkat orang-orang yang loyal pada Soeharto. Orang loyal Soeharto ini nantinya memunculkan perseteruan atau saling sikut antara Sumitro dan Ali Murtopo. Yang tidak kalah pentingnya Soeharto juga menyeting kemenangan di Pemilu 1971 yang aktor utamanya adalah Ali Murtopo dengan Opsus.

Bagi Soeharto pula prekonomian negara harus segera diperbaiki maka menurut Soeharto Indonesia harus cepat mendapatkan bantuan dari luar negri. Utang-utang negara pun mulai bertambah banyak, karena pada waktu itu Soeharto tergolong gampang dalam berhutang setelah keberhasilanya membrantas komunis di Indonesia. Kemudahan berhutang tersebutlah yang membuat Soeharto terbuai dan tergantung pada luar negeri, maka muncullah hutang-hutang baru dan itu berdampak pada perekonomian Indonesia yang didominasi oleh orang-orang luar negri yang menanamkan modal di Indonesia.

Korupsi semakin menjadi-jadi cukong dan kroninya merajalela, seperti kasus korupsi Soeharto dan proyek TMII senilai 10,5 miliyar atas usulan Bu Tien, istri Soeharto yang dirinya sendiri menjadi ketua yayasan yang akan merealisasikan pembangunan TMII yang harus selesai pada tahun 1975. Para jenderal-jenderal pun yang memiliki bisnis ganda, yang sebenarnya dijalankan oleh pebisnis-pebisnis China, tapi kalangan militer mengambil keuntungan dengan menyediakan fasilitas-fsilitas yang menyamankan.

Selain itu di kubu pemerintahan Soeharto dan golongan orang yang dekat dengan Soeharto yakni Ali Murtopo dengan Sumitro terjadi rivalitas antara keduanya. Sumitro yang tidak suka akan manuver-manuver Ali Murtopo kadang-kadang mendahului langkah-langkah lembaga-lembaga resmi pemerintah serta tudingan akan menjegal Soeharto dan menjadi presiden.

Ali Murtopo yang jabatanya saat itu adalah sebagai Opsus dan Aspri, serta Sumitro sebagai Kopkamtim di mana Opsus dan Aspri bisa dikatakan sebagi bukan lembaga resmi dan Kopkamtip adalah lembaga resmi yang keduanya terkadang dalam tindakanya kontras, maka dari itu Sumitro mengusulkan pada Soeharto Opsus dan Aspri dibubarkan dan Ali Murtopo diusulkan menjadi mentri penerangan, akan tetapi Ali Murtopo menolak.

Pada tanggal 15 Januari terjadilah pristiwa demonstran besar-besaran yang disebut MALARI, demontrasi mahasiswa berubah menjadi kerusuhan massa. Kendaraan-kendaraan buatan Jepang dibakar, gedung-gedung yang berbau Jepang tak luput jadi sasaran. Massa menjarahi pertokoan yang ada di Pasar Senin dan tentara yang pada awalnya bersikap lembut mulai melakukan perlawanan, peluru-peluru mulai dimuntahkan.

Sumitro pada saat itu sedang memimpin rapat dewan wanjarki bersama Jenderal Pangabean dan Sudomo selaku tangan kanan Sumitro mengabarkan bahwa keadaan Jakarta sangat genting. Kemudian Sumitro segera bergegas, namun Jenderal Pangabean menghalanginya dan menunggu rapat sampai selesai. Maka kerusuhan yang semakin parah pun tak dapat dihentikan.

Setelah kejadian itu Hariman Siregar selaku ketua DEMA UI, dan DMUI ditangkap karena dianggap sebagai provokator atas peristiwa itu. Atas kejadian tersebut sekurangnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, dan 775 orang ditahan. Juga sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak, 144 bangunan terbakar, dan 160 kg emas di toko-toko perhiasan dirampok. Peristiwa ini menjadi salah satu catatan kelam Orde Baru yang nyaris saja meruntuhkan kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Sebuah protes masyarakat akan kekecewaan dan ketidakpuasan pada pemerintah.

Kesaksian Hariman Siregar setelah terjadinya pristiwa tersebut dianggap sebagai penggerak demonstrasi mahasiswa. Hariman diadili di pengadilan, Hariaman berpendapat bahwa: “Pemerintah tidak memprihatinkan rakyat, membiarkan harga melonjak, dan memanfaatkan kekuasaan hanya untuk kroni-kroni terdekat mereka. Oleh karena itu pemerintah harus dikoreksi”.

Selain itu Hariman juga harus berhadapan dengan kelompok 10 bentukan Ali mMurtopo. Sepuluh anggota DMUI yang telah mendeklarasikan ketidakpercayaan terhadap Hariman Siregar (kelompok tersebut dibuat karena Hariman berusaha melepaskan diri dari Ali Murtopo) dari kelompok ini pengadilan mendapatkan keterangan-keterangan yang memberatkan Hariman di pengadilan dan menyebabkan Hariman dipenjara enam tahun dan menjadi DMUI tersingkat yakni selama 6 bulan.

Setelah kejadian tersebut Soeharto pun bertindak dan mulai berhati-hati dengan tindakannya. Pertama-tama Soeharto menendang orang-orang yang menurutnya dianggap bahaya. Jendral-jendral yang kuat dan berbahaya nantinya akan mengancam posisinya satu per satu disingkirkan. Sumitro dipindah tugaskan menjadi duta besar di Washington, tetapi Sumitro menolak, dan Ali Murtopo sebagai Menteri Penerangan, dan selang beberapa waktu Ali Murtopo semakin dipinggirkan dengan menerima tempat baru sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang pada masa Orde Baru dikenal sebagai tempat pembuangan. Hal semacam itu juga terjadi pada orang-orang yang mengancam posisi Soeharto, dipindah tugaskan dan terkesan dijauhkan dari pemerintah, ditempatkan di luar negeri dalam bertugas.

Bagi Soeharto Malari menjadi sebuah tonggak yang penting dalam mengubah gaya kepemimpinannya. Di masa selanjutnya, Soeharto hanya memilih orang orang yang loyal untuk menjadi pembantu dekatnya. Para jenderal dibuat begantung padanya, Soeharto menjadi pusat komando militer. Orang-orang terdekatnya hidup sejahtera. Mereka yang menunjukkan sedikit saja tanda-tanda membangkang akan disapu besih.memberangus parpol yang dianggap mengganggu kedikdayaan Golkar. Para pegawai negeri sipil dipaksa untuk menjadi anggota Golkar. Pemerintah Orde Baru juga membuat undang-undang yang mengatur Pemilu 1977 yang hanya diikuti tiga partai saja. Tak cukup sampai di situ masyarakat juga diwajibkan mengikuti penataran P4 yang tak lain menjadi sarana pemerintah untuk melatih kepatuhan Rakyat.

Judul Buku: Dalang 15 Januari 1974 (MALARI) │ Penulis: A. Yogaswara │ Penerbit: Media Pressindo │ Tahun Terbit: 2009 │ Ukuran: 14.5 X 21 cm │ Tebal: 128 Hal. │ ISBN: (10) 979-788-085-0 │ Peresensi: Ajid Fuad Muzaki