Oleh: Seto Permada*
“Benarkah sawah-sawah itu dahulu dikitari seribu kunang-kunang terbang di gelap malam?” Kiran bertanya pada ibunya dengan menyembulkan wajah dari balik selimut.
“Benar sekali, Sayang. Bahkan lebih. Dahulu, setiap malam Minggu ada seribu malaikat diperintahkan Tuhan turun dari surga. Mereka melayang-layang seraya menabur kunang-kunang di atas sawah.”
“Seperti apakah malaikat itu?”
“Yang pasti, mereka tak memiliki sayap seperti di buku-buku dongeng, Kiran. Mereka memiliki mata yang jernih. Putih, seperti mutiara yang baru dibersihkan dari lumpur. Wajah mereka sangat menawan, siapa pun yang melihat, tak akan menemukan salah satunya mirip atau bahkan sama dengan manusia. Dusun kita seratus tahun yang lalu, sangat terang walau listrik belum masuk.”
Kiran membayangkan, betapa terangnya Dusun Singojoyo pada waktu itu. Berbeda sekali dengan sekarang. Kunang-kunang hanya ada di dalam buku. Kunang-kunang telah menjadi sejarah yang diceritakan ulang oleh para pendongeng. Kadangkala cerita itu dilebih-lebihkan, atau dikurangi. Ketika Kiran ingin melihat kunang-kunang, ia hanya bisa melihat dengan menyetel VCD. Atau merengek kepada ibunya untuk ke museum menatap lama kunang-kunang yang telah dibekukan. Perlahan air matanya mengalir. Ia amat menyukai kunang-kunang, daripada binatang apa pun di dunia ini. Setiap hal yang berhubungan dengan kunang-kunang, ia selalu memerhatikan dengan saksama. Dari cerita, film, atau kibulan orang-orang dusun yang menakut-nakuti anak kecil supaya tidak berkeliaran di malam hari. Kalau tidak dituruti, akan ada kunang-kunang yang memakannya. Kunang-kunang diceritakan sebagai binatang terlahir dari kuku lelaki yang telah mati.
Walau sudah berkali-kali ibunya menceritakan sejarah kunang-kunang, Kiran tak pernah bosan. Belum bisa tidur jika belum mendengar cerita tentang kunang-kunang. Ia ingin sekali melihat seribu malaikat ketika menabur kunang-kunang.
Ibu Kiran sendiri hidup di zaman modern. Zaman yang serba instan. Lampu-lampu telah berpendaran menghiasi dusun. Kisah seribu malaikat menabur kunang-kunang adalah warisan kisah dari ibunya. Mungkin kisah itu dialami oleh nenek moyangnya. Ia belum pernah melihat secara langsung, kecuali kunang-kunang yang—bisa dikatakan—sudah punah.
Ibu Kiran membuka tirai jendela. Di luar, kegelapan menguasai malam. Kiran mengikuti arah pandang ibunya. Petak-petak sawah yang ketika siang nampak begitu hijau dan anggun digoyang angin, pada malam harinya beku seperti lantai es yang hitam dan suram.
“Di sawah-sawah itu, Kiran, dahulu adalah rumah kunang-kunang. Mereka menempel di antara batang-batang padi sejak baru musim tanam, sampai menjelang panen. Dan musim panen, ketika padi telah terpangkas seluruhnya, kunang-kunang itu menempel di dinding-dinding rumah. Sehingga rumah-rumah tak lagi memerlukan teplok atau obor, karena sudah terang benderang oleh cahaya kunang-kunang.”
Setiap malam, ribuan kunang-kunang itu lepas-landas ke udara. Begitu banyak, yang tentu tak mungkin bisa dihitung dengan ruas jari. Mereka terbang bersahut-sahutan seperti menari-nari disenandungkan angin malam. Mereka terbang mengitari sawah. Berkeliling dari rumah ke rumah. Kadang, di antara mereka memasuki rumah melewati celah-celah jendela. Setiap kunang-kunang keluar sarang, anak-anak kecil kerapkali turut keluar rumah untuk menyaksikan kunang-kunang. Sesekali kunang-kunang itu ditangkap dan kemudian dilepas terbang kembali. Anak-anak seumuran Kiran dulunya begitu riang. Walau saat itu belum ada lampu, televisi, maupun video games seperti sekarang.
Kiran menatap sawah terbentang di bingkai jendela yang tertutup sambil mendengarkan penuturan ibunya. Betapa kini, sawah itu menjadi kelam sempurna. Begitu hitam dan mengerikan. Tak ada tanda-tanda cahaya, kecuali pada malam bulan purnama di musim kemarau. Rumah Kiran memang berada di tengah-tengah sawah, jauh dari perkumpulan rumah dusun.
Bukankah sawah adalah rumah kunang-kunang? Seharusnya kini ia melihat ribuan kunang-kunang terbang. Bukan sawah yang seolah tercipta dari kegelapan hati manusia.
Ibu Kiran membiarkan tirai itu tetap tersingkap. Ia rebah di sisi tubuh Kiran. Mata Kiran masih belum mau lepas dari bingkai jendela.
“Siapa yang pernah melihat seribu malaikat itu, Ibu?”
“Tentu saja seluruh orang dusun bisa melihat. Malaikat itu melayang di atas hamparan sawah. Pakaian mereka kuning keemasan memancarkan cahaya seperti kunang-kunang. Tangan mereka yang lentur mengeluarkan masing-masing seekor kunang-kunang dari sela-sela rambut mereka, kemudian ditaburkan bersamaan.
“Orang-orang dusun begitu terkesima. Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, dan yang telah lanjut usia menatap keindahan itu seperti halnya seremonial agung yang sering ditonton di televisi. Tanpa mengusik seribu malaikat, mereka telah mendapat kemuliaan setiap malam akhir pekan. Kunang-kunang yang bertaburan di petak-petak sawah, tak pernah diganggu oleh siapa pun. Orang-orang dusun begitu menghormati kehadiran kunang-kunang. Mereka merawat seperti halnya alam yang telah menghidupi setiap nyawa khalifah bumi. Ketika di antara mereka ingin bepergian jauh, kunang-kunang itu dipakai sebagai penerang. Mereka tak risau dengan kegelapan beserta macam ancamannya, karena seiring jalan ditemani cahaya kunang-kunang.”
“Lalu mengapa sekarang tidak ada lagi kunang-kunang, Bu?”
Ibu Kiran melekatkan dadanya ke wajah Kiran. Mendekap erat.
“Setiap hal memiliki risiko, Kiran. Tumbuhan yang alami sangat disukai binatang. Begitu pula dengan padi. Bukan hanya sebagai rumah kunang-kunang. Ada belalang, walang sangit, mrutu, wereng, juga tikus-tikus ikut mendiami petak-petak sawah. Orang-orang dusun lambat laun, seiring pergantian generasi, tidak lagi mempedulikan keramatnya kunang-kunang. Di dalam pikiran mereka, apabila padi dibiarkan habis oleh wereng, tentu lama kelamaan akan habis. Persediaan bahan pangan pokok menipis. Lalu mereka mendatangkan dari kota, berbagai macam insektisida untuk mengurangi atau menumpas serangga-serangga itu. Racun itu setiap musim padi digunakan orang-orang untuk menjaga padi dari serangan serangga-serangga itu, Kiran. Andai ada cara lain selain membunuh….”
Kiran bergidik. Betapa menderitanya kunang-kunang dan teman-temannya di sawah. Ketika mereka tengah damai tidur di batang padi, tiba-tiba datang sebuah ancaman kematian. Mereka menghirup racun, lalu jatuh, menggelepar, kejang-kejang, dan mati.
Kiran menyembunyikan wajah di antara dada ibunya. Mendesak, dan menyusut lebih keras.
“Kiran, ada apa?”
“Kiran takut, Bu.”
“Tenang kiran, setidaknya sejarah kunang-kunang di dusun kita masih terjaga di keluarga kita.”
Meskipun begitu, Kiran tetap masih merasa takut. Bayangan kematian kunang-kunang, berkali-kali melintas dipikirannya. Malam itu, berbeda dengan malam sebelumnya. Baru pertama, Kiran diberi jawaban mengapa kunang-kunang tidak terlihat lagi. Biasanya ibunya hanya diam dan mengucap, “Sudah malam, Kiran, waktunya tidur.”
“Sejak saat itu, jumlah kunang-kunang semakin sedikit. Dan lambat laun, tak ada seribu malaikat yang turun menabur kunang-kunang kembali,” lanjut ibunya.
Kiran merasa dadanya bergemuruh. Ada desakan ketakutan yang menyeruak dari dalam dadanya. Betapa binatang kesukaannya memiliki akhir nasib yang mengerikan. Andai saja tak ada racun. Andai saja orang-orang dusun membiarkan penghuni sawah tetap hidup, pasti sekarang ia bisa melihat seribu malaikat turun dari langit, melayang, pakaian keemasan memancarkan cahaya, dan masing-masing menabur kunang-kunang. Indahnya. Andai saja…. Harap Kiran.
“Malam sudah larut. Sudah waktunya tidur.”
Kiran didekap oleh ibunya lebih erat. Selimut yang sempat melorot dinaikkan sebatas leher mereka berdua.
Ketika ibu Kiran telah tertidur, mata gadis kecil itu belum lepas dari jendela yang tirainya masih tersingkap. Kisah-kisah yang dituturkan ibunya melebihi dongeng-dongeng yang sering ia baca di sekolah. Cerita itu begitu nyata.
Ketika wajah kiran beralih dari menatap sawah menjadi menatap langit-langit, ia menemukan keajaiban lain selain kisah seribu malaikat yang menabur kunang-kunang. Dari arah kiri, ia melihat seekor kunang-kunang menyelusup melalui celah atas jendela yang berongga.
Kiran terpaku. Segala kesedihan yang mengalir sebelumnya, berubah menjadi kesenangan yang meluap-luap di dadanya. Berguncang tubuhnya oleh perasaan riang tertahan. Kunang-kunang itu terbang mengitari ruang kamar yang lampunya telah dipadamkan. Kunang-kunang itu berkali-kali mengedipkan cahayanya.
Kiran ingin membangunkan ibunya, namun ia juga tak ingin mengganggu.
Mata Kiran beralih kembali ke hamparan sawah beku. Ia mencari-cari barangkali ada malaikat yang melayang-layang dengan pakaian memancarkan cahaya. Namun di luar masih hening, beku, dan suram. Apakah ada sesosok malaikat yang turun malam ini? Kiran berharap ada.
Seekor kunang-kunang itu berhenti terbang dan melekat pada dinding kamar. Cahaya itu terus berkedip di kegelapan begitu lama hingga Kiran tertidur pulas.
Purworejo, 2015
*Penulis lahir tanggal 12 Oktober 1994 di Purworejo. Sehari-harinya ia bekerja sebagai wiraswasta. Ia juga aktif menulis dan membaca cerpen.