Oleh: Doel Rohim*
Semua anak bangsa Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan pendidkan yang layak dan murah, hal tersebut sudah diatur dengan jelas dikonstitusi kita. Tetapi prateknya kita bisa ketahui bersama, bagaimana kondisi di lapangan bahwa masih banyaknya anak bangsa ini yang belum dapat sekolah karna jeratan kemiskinan. Mahalnya biaya pendidikan menjadi motif utama kenapa pendidikan tidak berpihak kepada masyrakat pinggiran. Hal inilah yang sedang terjadi pada kampus yang dengan sombong mengatakan kampus rakyat, UIN Suka.
Hal ini dibuktikan dengan pembritaan Lpmarena.com (06/22), yang dengan jelas memberitakan bahwa ada sebagian calon mahasiswa yang mengurungkan niatnya untuk melanjutkan cita-citanya untuk kuliah setelah mengtahui biaya yang terapkan untuk dirinya tidak sesuai dengan pendapatan orang tuanya atau terlalu mahal. Terlepas dari sistem yang dibuat seperti apa, tetapi hal ini sangat memilukan bagi calon mahasiswa tersebut dengan kondisi yang memang benar seperti begitu keadaanya, yang serba tidak berpihak kepada kepentingannya yaitu ingin mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kondisinya yaitu kaum pinggiran.
Kita bisa bayangkan bersama ketika posisi tersebut seandainya menimpa kita. Apa yang bisa kita perbuat dengan segala kekurangan yang ada, mungkin tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh calon mahasiswa diatas. Yaitu mundur pelan dengan rasa yang menganjal tersimpan dalam dada menggerogoti nasib yang belum berpihak pada dirinya. Begitulah gambaran kekecewaan anak zaman yang terus digilas kuasa pengetahuan yang sering menjadi dalih untuk mengenyampingkan orang pingiran.
Logika bahwa kampus ini sudah sangat murah dibandingkan kampus yang lain yang menetapkan biayanya selangit sering menjadi alat atas kuasa pengetahuan dari birokrat untuk melegitimasi kebijakan yang dibuatnya. Sialnya hal ini juga diamini masyarakat kampus. Hal ini bisa kita lihat dari respon sebagian besar mahasiswa kampus ini ketika menanggapi mahasiswa yang lain untuk menolak biaya kuliah yang mahal melalui demo UKT kemrin. Sering kali mereka mengatakan “lha mbok nyadar, biaya kampus udah murah masih aja demo” hal ini bukan sekali dua kali keluar dari pembicaraan dari mahasiswa kampus ini, tetapi sering kali ini dijadikan untuk menghujat kawan-kawan yang sedang menggugat biaya kampus yang tidak tepat.
Saya ingin katakan bukan seperti itu bung, jeng akar persoalanya. Bukan masalah murah atau mahal biaya ditetapkan untuk mahasiswa, tetapi lebih jauh kita berfikir bahwa sudah sesuai tidak biaya yang ditetapkan untuk masyarakat kelas menengah kebawah seperti kebanyakan kita ini. Oke kita bisa beranggapan bahwa biaya 400 sampai satujutaan itu murah bagi kantong kelurga kita, saya juga sepakat kalo dibandingkan dengan kampus yang lain bahwa biaya kampus kita paling murah bahkan murahnya sedunia akhirat. Hal tersebut tidak bisa pungkiri, tetapi yang perlu kita fikirkan adalah bagaimana dengan kondisi saudara-saudara kita yang berpenghasilan rendah. Kita ambil contoh orang tua yang bekerja sebagai buruh tani yang mempunyai penghasilan 600 ribu per bulan dengan beban kelarga dua anak, saumpama mahasiswa ini mendapatkan golongan UKT di sistem yang berlaku sekarang paling rendah yaitu 400. Kita itung-itungan saja, dengan penghasilan 600 itu apa yang bisa diperbuat orang tua mahsiswa ini, kalo uangnya tidak digunakan apa-apa masih utuh bisa jadi uang kuliyah semester masih aman, terus gimana kalo anak kedua minta bayar kebutuhan sekolah saumpama 200, belum ditambah lagi dengan kebutuhan dapur yang dituntut terus mengepul selama sebulan kita ambil contoh 200, kemudian biaya oprasional keluarga 100, masih tinggal 100 masih bisa nyimpen seratus untuk bayar kuliyah, itu belum termasuk biaya oprasional mahasiswa itu kuliah yang biasanya dia bekerja untuk meringankan orang tunaya. Tapi hidup tidak bisa ditebak bung, jeng, bagaimana kalsu ada yang sakit, gagal panen, kebutuhan pokok mahal, njuk piye jal?
Bisa dipastikan pembayaran biaya semesteran yang 400 bakal tersendat, itu yang 400 gimana yang biayanya sampai 1 juta bahkan lebih. Sudah barang tentu akan memusingkan kepala ayah dari mahsiswa tersebut. Hal ini hanya gambaran kasar dari kompleksitas permasalahn pembiyaan kuliah yang seperti itu. Bisa jadi gambarannya lebih ruwet dari apa yang saya gambarkan di atas. Salahnya kampus ini dengan sombong mengatakan bahwa kampus ini adalah kampus rakyat, bagaimanapun kata rakyat konotasinya dengan masyarakat pingiran, jadi wajar ketika banyak dari masyarakat pingiran berpenghasilan rendah mempunyai harapan lebih terhadap kampus ini. Tetapi harapan itu hanya tinggal harapan, karna prateknya kata rakyat bukan reperesentasi dari apa yang dimaksud masyarakat pingiran tetapi kata rakyat mempunyai makna tersendiri yang diartikan birokrasi kampus dengan masyarakat menengah keatas yang dapat membayar dan menyepakati biaya yang ditetapkan.
Terus gimana nasib anak masyarakat pingiran yang sudah memiliki harapan besar dengan kampus ini, apa kita biayarkan begitu saja dengan mengecewakan harapan mereka. Saya rasa masyarakat kampus ini sudah mengerti apa yang saya maksudkan. Bukan berarti kita tidak memikirkan sirkulasi keuangan yang dibutuhkan kampus saat ini, yang tentunya membutuhkan biaya yang cukup banyak untuk mendorong kampus ini lebih berkembang. Tetapi relakah kita mengecewakan harapan anak bangsa kita yang ingin merasakan giroh intlektual dikampus yang mempunyai sejarah panjang terhadap perubahan peradaban manusia Indonesia ini. Sekarang biarkan hati kecil kita yang bicara.
*Mahasiswa sejarah yang hobi jalan-jalan sore di sekitar kampus UIN