Oleh: Muhammad Abdul Qoni’ Akmaluddin*
Pengenalann Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) menjadi ajang pengenalan mahasiswa baru dengan budaya kampus. PBAK merupakan kebijakan yang baru disahkan oleh Kementerian Agama menggantikan Orientasi Pengenalan Akademik dan kemahasiswaan (OPAK). Sebagaimana orang baru yang diperkenalkan dengan lingkungannya supaya memudahkan mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan yang akan menjadi bagian dari hidupnya, demikian juga dengan PBAK yang diharapkan mampu menjadi sarana pengenalan mahasiswa supaya mudah beradaptasi dengan kampus yang akan menjadi bagian dari hidupnya mendalami pengetahuan dan mencari jati diri.
Spiritual Intelektual untuk Membangun Kreatifitas Mahasiswa, merupakan tema yang diangkat dalam PBAK tahun 2017. Tema tersebut diangkat kampus dalam upaya memfasilitasi mahasiswa baru agar lebih mudah mengenal dan beradaptasi dengan kampus tanpa mengurangin nilai spiritualitas. Upaya tersebut dapat terlihat dari rundown acara yang dibuat kampus untuk mahasiswanya. Seperti sholat dhuha berjamaah, yang tahun sebelumnya tidak ada. Begitu pula dengan agenda-agenda atau acara pendukung lainnya. Pihak kampus berharap bahwa mahasiswa baru dapat beriman dan memahami agama, dalam hal ini adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di sisi lain juga sukses dalam bidang akademik yang ingin mereka kembangkan. Karena untuk mencapai kesuksesan tidak hanya mengandalkan akal dan kemampuan tetapi ada faktor besar di luar itu yaitu spiritual.
Well, bukan berarti agenda PBAK tahun ini tidak luput dari permainan politik. Permainan politik yang sederhana diantaranya adalah proses perekrutan kepanitiaan. Proses perekrutan yang kurang transparan tersebut mengakibatkan hanya ‘kelompok tertentu’ yang tahu. Sehingga ‘kelompok tertentu’ tersebut mendominasi kepanitiaan. Hal ini pun berdampak pada properti tambahan ataupun seragam yang digunakan saat PBAK. Properti tambahan yang merujuk pada satu ‘kelompok tertentu’. Padahal properti atau seragam adalah salah satu media politik yang sederhana dalam memobilisasi masa, menumbuhkan chemistry yang sama walaupun prosesnya sangat sederhana. Ihwal yang sederhana ini menjadikan perdebatan ataupun kecurigaan dari kelompok lain. Bahkan hal tersebut menjadi bahan perdebatan setiap tahunnya. Ini membuktikan bahwasannya ruang demokrasi di kampus masih belum maksimal.
Salah satu bukti properti merujuk pada salah satu organisasi yang mendominasi dapat dilihat dari warna. Warna yang mencerminkan identitas kebanggaan kerap kali membikin risi. Dalam semiotika tanda atau simbol dapat mempengaruhi emosional seseorang untuk melakukan sebuah tindakan, artinya walaupun hal tersebut dianggap sangat sederhana tapi dapat menjadi media politik yang jitu untuk mematikan lawan. Itu artinya masih ada ruang-ruang yang belum demokratis dalam menentukan sebuah kebijakan. Termasuk kebijakan dalam mengunakan properti untuk membedakan antar fakultas ataupun yang lainnya.
Analisis Goffman terkait hal tersebut adalah kebiasaan seseorang berinteraksi dengan budaya dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam menentukan kebijakan. Dalam kasus ini sama halnya dengan properti yang akan menimbulkan sebuah emosional dalam diri manusia. Sehingga ikatan emosional tersebut dapat mempengaruhi tindakan seseorang dalam menentukan kebijakan. Ketika seseorang sudah mempunyai ikatan atau felling maka peluang seseorang utnuk membangun komunikasi lagi akan semakin besar. Dengan bahasa yang sederhana analisis Goffman dapat berbunyi tindakan sosial = interaksi=> emosi=> interaksi.
Sebaiknya kampus mulai membuka wacana baru terkait dengan proses perekrutan panitia. Permasalahannya, ketika tindakan seperti ini dibiarkan maka kelompok di luar kelompok dominasi merasa haknya tidak diberikan. Itu artinya masih terdapat ketidakadilan, dan dalam hal ini kampus membiarkan ketidakadilan tersebut.
Atau memang hal tersebut sudah menjadi ketetapan kampus. Suatu dominasi kelas masih menjadi umpan utama untuk menguasai sebuah kebijakan. Artinya semboyan-semboyan demokrasi dan kesetaraan yang diusung masih belum dapat dipraktikan. Hal itu terbukti dengan adanya dominasi kelas yang masih berperan banyak dalam memutuskan kebijakkan. Akibatnya keputusan yang diberikan tidak merujuk pada profesionalitas akan tetapi pada identitas. Baik itu kelompok yang sama ataupun yang mendominasi.
Meminjam istilah aristokrasi dari aristoteles, ketika kebijakan hanya ditentukan oleh elite politik atau dengan bahasa lain elite politik yang dominasi kelas, dan tidak membuka ruang profesionalitas dalam menetapkan kebijakan, maka kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang tidak akan pernah bersifat universal. Akibatnya, keadilan tidak akan biasa terwujud dan perpecahan ataupun rasa iri satu sama lain justru akan kekal.
Sejarah dunia juga menunjukan adanya peristiwa revolusi seperti yang terjadi di Rusia. Dominasi kelas yang mendiskriminalisasi kelompok minoritas adalah salah satu faktor penyebab revolusi tersebut. Sehingga ketika kelompok yang didiskriminasi menjadi dominan, mereka pun akan melakukan hal yang sama. So, harapan untuk menciptakan kesetaraan dan mewujudkan ruang demokrasi bagi mahasiswa barangkali hanya khayalan.[]
*Penulis adalah mahasiswa bingung yang sedang mencari kesibukan.