Oleh: M. Arief Hakim*
Lpmarena.com- Saya ‘terdampar’ di UIN (dulu IAIN) Jogja 1987. Sejenak merasakan gairah sebagai mahasiswa baru. Lalu, terpesona dengan Arena tahun 1988. Saat itu, kantor Majalah Arena kecil dan tidak menarik. Namun, energinya terasa besar dan berlimpah. Saya bergabung dengan Arena di awal 1989. Sejak itu, saya full ‘kuliah’ di Arena dan menikmati hidup sebagai petualang yang (merasa) bebas dan merdeka. Bebas menjelajahi literasi, menulis di Arena, menulis di media massa, dan tentu saja menikmati hidup sebagai demonstran.
Menjadi pendemo bagiku serasa eksotis dan ngeri-ngeri sedap. Melawan rezim penguasa yang otoriter, korup, dan menindas adalah keniscayaan. Arena membawaku pada dua dunia aktivis yang menggairahkan: menulis dan demo. Ada saatnya menulis dan menikmati honorarium dari media massa, ada saatnya demo di jalanan yang meminjam lirik lagu Iwan Fals, “Robohkan setan yang berdiri mengangkang”.
Penabuh Lonceng Gerakan Mahasiswa
Arena ternyata tak sekadar “Kancah Pemikiran Alternatif” yang cerdas, lugas, dan tajam; namun, juga penabuh lonceng gerakan mahasiswa yang telah lama berhenti. Sebagai pers mahasiswa, tulisan-tulisan di Arena membuat rezim penguasa gusar dan marah. Arena pun beberapa kali dibredel serta beberapa tulisannya disensor dan diberangus.
Sejak era 1980-an, rezim Orde Baru merepresi dan menjinakkan mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang sering dipelopori Dewan Mahasiswa (Dema) yang selama ini berwibawa dan menjadi pendobrak rezim otoriter pun lenyap. Mahasiswa tak lagi jadi kekuatan sosial-politik yang progresif. Padahal berkaca dari sejarah, mahasiswa adalah kaum muda idealis yang memperjuangkan keadilan dan kebenaran serta terbebas dari motif-motif politik sesaat yang dangkal dan pragmatis. Mahasiswa Indonesia telah lama tiarap dan sekadar menjadi primadona atau macan diskusi. Sementara itu pada sisi lain, media massa tak berani menampilkan tulisan yang mengkritik penguasa dan mempermasalahkan ketimpangan sosial-politik: otoritarianisme, korupsi, ketidakadilan, penindasan, dan kezaliman. Jika berani mengkritik rezim Orde Baru, khususnya yang menyinggung pribadi Presiden Soeharto, media massa bisa diberangus dan dibredel.
Dalam kondisi seperti itu, bersama pers mahasiswa lainnya di Jogja, Salatiga, dan Jakarta, Arena pun menampilkan tulisan-tulisan “alternatif” yang tak mungkin ditampilkan media massa umum. Juga bersama para aktivis (pers) mahasiswa dari Jogja, Salatiga, dan Jakarta, Arena turut menabuh lonceng gerakan mahasiswa yang telah lama tak terdengar.
Untuk membangkitkan kembali gerakan mahasiswa, maka muncullah Poros Jogja-Jakarta. Di Jogja pusat gerakannya di UGM, IAIN (sekarang UIN), UII, dan ISI; sementara di Jakarta berada di Universitas Nasional (Unas). Ada juga di Salatiga yang berpusat di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
Di Jogja ada tiga pers mahasiswa yang tajam dan berani: Arena (UIN), Balairung (UGM), dan Himmah (UII). Arena-Balairung-Himmah menjadi tiga serangkai penting yang mempelopori munculnya kembali gerakan mahasiswa. Para aktivis pers mahasiswa dari Arena, Balairung, dan Himmah ditambah aktivis mahasiswa dari ISI, Universitas Janabadra, dan beberapa kampus lainnya menabuh kembali genderang gerakan mahasiswa, terutama berawal dari Jogja. Kemudian muncul juga di Salatiga dan Jakarta. Demikianlah, gerakan mahasiswa kemudian meluas ke kota-kota lainnya di Pulau Jawa.
Otoritarianisme, Ketidakadilan, dan Penindasan
Saya turut merasakan bangkitnya kembali gerakan mahasiswa di tahun 1989. Difasilitasi oleh Arena, di UIN sering terjadi pertemuan antar para aktivis (pers) mahasiswa dari berbagai kota di Jawa. Suasana begitu dinamis, menarik, dan menggairahkan. Bertemu, berdialog, dan berkomunikasi dengan para aktivis (pers) mahasiswa yang cerdas, berani, dan idealis bagiku merupakan pengalaman batin yang indah dan luar biasa. Mereka adalah bagian kecil atau minoritas dari mahasiswa yang berani dan idealis di tengah mayoritas mahasiswa yang tertidur lelap atau sengaja memilih posisi aman dalam cengkeraman rezim Orde Baru yang bengis, represif, dan otoriter. Melawan rezim Orde Baru yang masih sangat berkuasa, hegemonik, dan digdaya, tentu penuh resiko dan berbahaya. Hanya sosok-sosok bernyali yang berani melakukannya.
Saya takjub dan tersulut, lalu bergabung menjadi bagian dari gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa pun bangkit kembali untuk mendobrak ketimpangan sosial-politik: otoritarianisme, korupsi, ketidakadilan, penindasan, dan kezaliman. Mahasiswa menggelar demonstrasi dan turun ke jalan. Mulai dari persoalan di dalam kampus, di kota, hingga jauh ke wilayah masyarakat luas. Mahasiswa pun menggugat ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat akibat pembangunan yang kapitalistik. Misalnya di Kedungombo, Cimacan, dan wilayah-wilayah lainnya. Atas nama ‘pembangunan’, rakyat diusir dari tanah leluhurnya, digusur paksa dan ditindas.
Gerakan mahasiswa lalu berwatak populis. Para aktivis (pers) mahasiswa masuk ke wilayah-wilayah konflik di berbagai penjuru tanah air, khususnya di Jawa, mereka bergabung dengan rakyat melawan penindasan dan kezaliman rezim Orde Baru. Yang dimaksud wilayah konflik di situ adalah suatu wilayah penduduk yang terancam penggusuran paksa. Beberapa aktivis Majalah Arena menjadi bagian dari gerakan populis itu. Berhadapan dengan situasi yang gawat dan berbahaya, ternyata memunculkan kenikmatan tersendiri. Batas antara hidup dan mati kadang terasa tipis. Adrenalin terpacu.
Gerakan mahasiswa, terutama yang masuk ke wilayah-wilayah konflik yang menimpa rakyat, benar-benar merupakan gerakan bawah tanah. Agar tetap eksis dan selamat, para aktivis (pers) mahasiswa harus mampu menyiasati para intel dan aparat keamanan yang licik, paranoid, kejam, dan bengis. Para intel dan aparat keamanan saat itu adalah alat rezim Orde Baru yang kejam dan tak berhati. Meskipun sudah sangat berhati-hati, di beberapa tempat dan momen, para aktivis gerakan mahasiswa tetap tak bisa menghindar dari serangan dan kejaran aparat. Ada teror, represi, dan kekerasan. Beberapa mahasiswa ditangkap, diinterogasi, disiksa, diadili, dan dibui.
Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi
Di UIN, sekitar tahun 1989, Arena juga menggagas dan mempelopori munculnya gerakan Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD). Beberapa aktivis Majalah Arena adalah para perintis awal KMPD. KMPD adalah wadah aktivis pro demokrasi UIN Jogja. KMPD berisi para aktivis gerakan mahasiswa yang peduli terhadap ketimpangan sosial-politik. Sejak 1989, sudah sangat banyak mahasiswa yang bergabung di KMPD. Hingga kini, Januari 2025, KMPD masih eksis dan solid. Alumninya dari berbagai angkatan menyebar ke segala penjuru tanah air dengan beragam peran dan profesi. Mereka adalah sosok-sosok yang hebat, cerdas, dan berintegritas.
Awalnya, di tahun 1989, KMPD cuma berisi sekitar tujuh mahasiswa. Sebagian besar di antaranya adalah aktivis Majalah Arena. Menambah anggota KMPD bukan pekerjaan yang mudah. Sekitar tujuh mahasiswa pendiri KMPD bagai para pejuang yang kesepian. Depolitisasi kampus yang dilakukan rezim Orde Baru ternyata sangat mujarab dan tahan lama. Alih-alih bergabung dengan KMPD yang (dianggap) riskan dan penuh resiko, mayoritas mahasiswa UIN Jogja lebih memilih diam dan jadi penonton yang baik saat KMPD menggelar demo. Banyak juga di antaranya yang curiga dan sinis kepada KMPD. Namun, ada juga yang bersorak dan memberi aplaus, meski tetap tak berani bergabung secara resmi dengan KMPD.
Jika di UKSW ada tiga dosen luar biasa yang simpati dan mendukung gerakan mahasiswa. Maka, di UIN Jogja tak ada sama sekali. Beberapa dosen malah curiga dan memusuhi KMPD. Tiga dosen UKSW luar biasa dimaksud adalah Arief Budiman, Ariel Heryanto, dan George Aditjondro. Ketiganya adalah sosok yang berani, cerdas, dan berintegritas.
Singgah di UIN Jogja, ternyata Majalah Arena menjadi kampus saya yang sebenarnya. ‘kuliah’ di Arena bagiku merupakan “Eksotisme yang Penuh Warna”. Dunia aktivis yang saya geluti dari Arena begitu indah dan menggairahkan. Membaca beragam buku, menulis, dan demonstrasi adalah aktivitas mengasyikkan, menggairahkan, dan tentu saja ngeri-ngeri sedap.
*Aktivis Arena angkatan 1989 | Foto Arsip Arena