Home BERITAKABAR KAMPUSBilik Kampus RUU Pendidikan Tinggi Tidak Manusiawi

RUU Pendidikan Tinggi Tidak Manusiawi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) adalah rancangan yang sifatnya praktis, tanpa didasari nilai budaya, dan tidak sesuai dengan budaya negara Indonesia.

Begitulah pendapat salah satu pembicara Muryadi, ketua Dewan Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh jajaran DEMA UIN Sunan Kalijaga, Rabu (02/4) bertempat di Teatrikal Perpustakaan. Diskusi diselenggarakan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional sekaligus kelahiran Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan tema RUU Pendidikan Tinggi, Solusi atau Polusi?

Muryadi menyatakan tidak cukup berbangga dengan konsep pendidikan nasional yang diajukan pemerintah sekarang dan RUU PT adalah salah satunya. Mengutip salah satu perkataan Ki Hajar bahwa tujuan pendidikan yakni mendidik warga negara Indonesia menjadi warga negara sejati.

Hal itu berkebalikan dengan keadaan sekarang-pendidikan menciptakan sifat individualistik lewat sistem dan kompetisi-kompetisi yang diajarkannya. Sehingga, melupakan tugas utamanya yakni turut bersinggungan langsung dengan masyarakat dan berpartisipasi untuk mensejahterakan mereka.

“Kalau ingin bergaul dengan dunia internasional, jadikanlah negara kita berbudaya dan berperadaban sendiri terlebih dahulu. Jangan mengibarkan bendera internasional sebelum bendera Indonesia dikibarkan,” tambahnya yang sebagian kalimat dikutip dari isi pidato Ki Hajar Dewantara.

Sekarang, tingkat pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah, bahkan Perguruan tinggi berlomba-lomba untuk menstandarkan secara internasional tanpa mengerti apakah “dia” (baca: para murid) merasa orang Indonesia atau tidak Karena disadari atau tidak perlahan sistem ini akan mengikis kepribadian dan budaya orisinil bangsa.

Ki Hajar pernah menyampaikan proses belajar dimulai dengan cara nontoni (observing atau mengamati), kemudian ilmu tersebut dititeni (dimengerti), lalu nirokke (mencontoh), hasil mencontoh adalah sesuatu yang hanya dimiliki oleh orang itu, dan yang terakhir adalah nambahi (seuatu bersifat kreatif hasil modifikasi suatu ilmu). Dan itu tidak sesuai dengan kajian RUU PT yang lebih menekankan pada nilai-nilai material dari pada nilai moral individu yang dididik.

Pembicara kedua Eko Prasetyo, Direktur PUSHAM UII sekaligus Aktivis dan Pembela Pendidikan Gratis menjelaskan prosesi pendidikan tinggi yakni tidak manusiawi dengan diletakkannya sebagai sektor jasa dalam tata aturan World Trade Organization (WTO) yang dapat diperdagangkan dan diperjuabelikan.

Menjadikan Indonesia membuka pasar pendidikan selebar-lebarnya yang nantinya merujuk pada liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan. Hal ini sesuai isi pasal 114 RUU PT tentang kebolehan negara asing membuka pendidikan di Indonesia.

Pasal 80 mengembangkan wewenang untuk menjalankan usaha yang berorientasi pada perolehan laba. Akibatnya, mahasiswa kian kesulitan menggunakan infrastruktur kampus. Eko Menyebutkan pula pasal 90 terciptanya hubungan antara Pendidikan Tinggi dengan sektor perbankan.

Jika seorang mahasiswa tidak mampu membayar kuliah, maka bisa mendapatkan pinjaman tanpa bunga dari bank, kemudian harus dikembalikan setelah lulus dan mendapat pekerjaan. Maka asumsinya berarti biaya pendidikan mahal ini menempatkan mahasiswa sebagai kreditur, bukan sebagai pelajar, “Salah satu ciri negara yang buruk adalah negara yang banyak Undang-Undangnya.” ujar Eko Prasetyo mengutip perkataan seorang filsuf, Plato.

Sebagai solusi untuk menggagalkan RUU PT, Muryadi berpendapat salah satunya dengan melalui kekuatan-kekuatan yang mengatur di DPR, seperti lewat sebuah partai dimana ada orang-orang yang andil dalam penggaggalannya. Karena menurutnya aksi demo kurang efektif dan tidak cukup mempengaruhi keputusan yang digawangi lembaga tersebut.

Sedangkan Eko Prasetyo menuturkan adanya RUU PT adalah cara warga Indonesia, khususnya mahasiswa dan masyarakat untuk bangkit kembali dan melawan sebuah kesewenang-wenangan. Berbeda dengan Muryadi, menurutnya lewat jalur politik atau jaringan politik adalah salah satu bentuk solusi menggagalkan Rancangan Undang-Undang tersebut. [Iis Ernawati]