Lpmarena.com, Jumat malam (16/05), ratusan orang memadati booklovers festival, di Bale Black Box yang berlokasi di Belakang Perpustakaan Institut Seni Indonesia (ISI) Sewon Indah, Bantul, Yogyakarta. Malam itu adalah acara diskusi pemikiran marxis antara teori dan praktik sekaligus peluncuran jurnal pemikiran marxis Indoprogress. Seorang bernama Dede Mulyanto tengah duduk bersama Muhidin M. Dahlan (Juru Kliping Harian Jogja), Kus Sri Antoro (relawan forum komunikasi masyarakat agraris) dan Udin Choirudin di depan para peserta diskusi.
Dede Mulyanto (Editor jurnal Indoprogress) sebagai pembicara memulai pemaparannya dengan menyampaikan apa yang dimaksud dengan jurnal. “Jurnal itu kan catatan harian, jurnal itu mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan. Tapi persoalannya adalah kalau jurnal ngomongin diri sendiri daripada penindasan maka jurnal banyak mudharatnya,” paparnya.
Berbicara terkait pemikiran marxis antara teori dan praktik, Ia menyebutkan pada titik permasalahan di mana harus ada keseimbangan antara teori dan praktik. “Problemnya kalau kita banyak berputar pada teori maka banyak mudharatnya. Sebaliknya kalau kita praktek tanpa ada teori, maka kita gak ada landasan. Siapa aja dipukul. Marxis sesederhana apapun pasti ada teorinya,” ungkap Dede.
Pembahasan marxisme tidak jauh dari kapitalisme, neoliberalisme dan postmodernisme. Lebih lanjut Dede membahas tentang kapitalis. “Kapitalis nggak kelihatan, kapitalis itu struktur. Kapitalis dan ploretarian itu kan relasi struktural. bukan orang-orang yang bisa ditunjuk hidungnya. Jika kita mengeksploitasi perlawanan kita pada orang, maka kita sama saja melawan bayang-bayang dari struktur. Makanya penting pemetaan itu. Secara teoritis kita tegas, mana kawan dan mana lawan,” ungkapnya menjelaskan.
Sementara Kus Sri Arianto yang juga sebagai pembicara dalam diskusi itu menghubungkan kapitalisme dengan penindasan. Menurutnya, penindasan itu terjadi karena ada subjek. “Penindasan itu kan terjadi ketika ada penindas dan ada yang ditindas. Berarti kan ada subjek. Jika keduanya hilang maka gak ada penindasan. Itu kan semacam penyelesaian win win solution.”
Ia memperjelas konsep win win solution dengan mengaitkan antara ruang hidup. Dicontohkan tentang agraria. Agraria hidup dari lahan. Ketika lahan mereka dirampas maka mereka tidak punya ruang hidup. “Jadi kalau demo buruh itu jangan minta dinaikan gaji terus, tapi rebut pabriknya,” ungkapnya bersemangat.
Dede memperjelas konsep ruang hidup menurut Kus. Ia menjelaskan permasalahan yang terjadi di Kulonprogo. “Mereka (Baca: masyarakat Kulonprogo) sedang berjuang mempertahankan ruang hidupnya. Namun manufaktur industrial (baca: kapital) kan juga butuh ruang hidup, dan ruang hidup itu ada di Kulonprogo. Dalam perebuatan ruang hidup itu kapital punya kekuasaan lebih.”
Dede menambahi, “Dulu ketika 1830 waktu tanam paksa belum ada undang-undang tentang agraria. baru tahun 1870 agrarisme, sebelumnya kan kepemilikan tanah berdasarkan kerja. Jadi siapa yang menggarap, dia lah jadi pemilik tanah.”
Muhidin M Dahlan, sebagai pembicara dan juga juru kliping Harian Jogja tidak banyak membahas tentang marxis ataupun kapitalis, namun lebih pada jurnal yang malam itu diluncurkan. Jurnal Pemikiran Marxis Indoprogress menurutnya adalah jurnal satu-satunya setelah bintang merah yang mendeklarasikan sebagai jurnal marxis. Satu hal yang berbeda antara jurnal indoprogress dengan bintang merah hanya pada kepemilikannya atas partai. Bintang merah terbentuk atas kepentingan partai sementara Indoprogress tidak. (Ulfatul Fikriyah)