Minyak menelan rumah kami, lebih hangus dari api, abunya mengental jadi noda hitam, membesar dan melebar, estuari sunyi dalam remang mahakelam, angin menarikan asap di rawa hitam, perdu kian liar di langit panjang, merimbuni kaki kami, lambung beradu batu…
Lpmarena.com,Ini adalah cuplikan puisi berjudul “Estuari” karya F. Aziz Manna yang dibacakan penulisnya di acara Diskusi Sastra PKKH UGM #EdisiKhusus (13/8). Acara yang digelar di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM ini menghadirkan tiga penyair dan pembaca puisi Joko Pinurbo (Yogyakarta), Ahmad Yulden Erwin (Lampung), dan F. Aziz Manna (Sidoarjo) juga Retno Darsi Iswandari, kritikus sastra dan pembahas.
Ahmad Yulden membacakan karya puisinya berjudul Hantu-hantu Halaman Rumah dan Perawi. Lalu disusul Joko Pinurbo (Jokpin) yang membacakan seri puisi suratnya: Surat Cukur, Surat Batu, Surat Kopi, Surat Kau, dan Surat Pulang. Terakhir, Aziz Manna selaku penyair paling muda membawakan tiga puisinya: Angin Berhembus, Salju Hitam, dan Estuari.
Diskusi dimulai oleh Retno yang memilih membahas karya Jokpin terlebih dahulu. Retno mengatakan seri puisi surat Jokpin ini memiliki kecerendungan untuk saling memasuki, misalnya antara fiktif dan faktual. Juga repetisi yang sering muncul. Misal, ada bagian-bagian tertentu dalam Surat Batu yang muncul di cerpen Jalan Asu yang dimuat di Kompas Minggu (10/8), dan itu terjadi di puisi dan karya Jokpin yang lain.
Dimas Indiana Senja, peserta diskusi berkomentar meski repetisi tapi tidak membuat pembaca bosan. “Ada repetisi itu biasanya membosankan, tapi di Jokpin tidak. Ini membuat pembaca puisi Jokpin untuk membaca puisi-puisinya yang lain, seperti dalam judul Surat Kau,” tuturnya.
Dalam karya Ahmad Yulden Erwin, Retno membahas jika Perawi adalah orang yang menceritakan atau menyampaikan, seperti pada hadis-hadis Bukhori; Muslim. “Puisi Pak Yulden ini menggambarkan citra peradaban. Kelihaian memindai objek dan metafor tidak sembarang dipilih,” ucap Retno. Puisi-puisi Yulden bertemakan sejarah yang belum usai, seperti dalam puisi berjudul Hantu-hantu Halaman Rumah yang coba menggali ingatan kita tentang mayat-mayat PKI.
Berbeda dengan dua penyair di atas, Aziz Manna mencoba menggambarkan luka yang ditelanjangi dengan detail dalam puisinya. “Kita melihat arsitektur luka yang begitu menyakitkan. Khusunya tentang tema lumpur Lapindo yang nggak selesai-selesai,” tukas Retno.
Berbicara sastra, tidak bisa lepas dari sejarah. Sastra mengganggu ingatan agar kita tidak lupa. Sastra itu menyentuh hati. “Sastrawan membuat jarak menjadi dekat. Teknik bisa bermacam-macam, tapi substansi (menyentuh) itu yang perlu diraih. Merampas jantung Anda. Merebut hati Anda hingga Anda bergetar,” kata Ahmad Yulden Erwin. (Isma Swastiningrum)
Editor : Ulfatul Fikriyah