Lpmarena.com, Dalam dunia pewayangan, ada salah satu tokoh wayang bernama Badranaya. Tokoh ini merupakan pengasuh para ksatria di lakon Mahabarata dan Ramayanana. Secara etimologis, badra berarti bulan dan naya berarti watak. Jika diartikan, badranaya adalah manifestasi dari watak bulan. Tokoh ini dijadikan sumber inspirasi Ical Yulianto dalam menuliskan puisinya berjudul sama, Badrayana.
Secara lebih khusus, watak bulan terejawentahkan dalam sosok manusia bernama ibu. “Ibu adalah khalifah, seperti halnya bulan yang meminjam cahaya dari matahari. Ibu pun demikian, meski ia kekurangan, tapi dengan kekurangan itu dia mencari kekuatan. Lalu menyatu dengan kita dan mengurangi kekurangan kita,” kata Ical saat ditemui ARENA usai acara malam grand final lomba puisi dan baca puisi radio pro II RRI Yogyakarta.
Acara yang digelar di Plaza Ambarukmo, Sabtu (22/11) ini, Ical berhasil mendapatkan juara pertama setelah meyakinkan tiga dewan juri, para penyair, yaitu: Bernadette, Indrianto Koto, dan Ginandjar Wilujeng.
Ginandjar selaku dewan juri mengatakan, puisi merupakan ungkapan hati, pikiran, kritik sosial. Untuk itu kriteria juara dipilih berdasarkan isi teks dan pembawaan di atas panggung. “Yang menjadi pertimbangan adalah kekuatan teks, teknik, dan pembawaan di panggung. Tadi keseluruhan teknik sudah kuat, tapi pembawaan belum keluar,” ucap penyair yang mengidolakan Pramodeya Ananta Toer ini.
Lebih lanjut Badranaya sendiri merupakan manifestasi bahwasannya orang hidup di dunia bisa seperti Badranaya yang mempunyai sifat seperti air dan api. “Air bisa beradaptasi di lingkungan mana saja. Yang akhirnya dilepaskan ke samudera. Api pun demikian, memberi penerangan,” kata Ical.
Kidung dan Gerimis
Puisi bagi Ical adalah penjabaran rasa. Dimana kita menjabarkan apa yang orang lain rasakan, yang diri sendiri rasakan. Ia memulai latar belakang sastrawanya melalui sastra tradisi. “Sastra tradisi, pendalangan, sastra Jawa. Dulu kita mengenal penyair-penyair seperti Chairil Anwar sebagai tokoh pembaharuan. Padahal sebelum itu ada sastra wayang dan permainan Jawa,” ucap mahasiswa yang juga duduk di jurusan Seni Tari semester III UNY ini.
“Kidungnya dambaan malam” merupakan kalimat yang disuka oleh Ical dalam larik puisi miliknya. Ia menjabarkan larik tersebut sebagai kritik sosial terhadap orang tua sekarang. Kidung yang bermakna nyanyian-yanyian, syair, dan puisi ini besinonim dengan kata Jawa, kudang yang berarti megudang (mendoakan) anak.
“Orang tua jaman dulu itu tiap malam sebelum tidur selalu mengkidungkan doa terhadap anaknya, tapi sekarang tradisi itu sudah tidak pernah. Padahal apapun yang orang tua katakan ke kita, itu akan meresap ke hati, dan itu sebagai pembuka rahmat Tuhan,” cerita Ical.
Selain Ical, rona bahagia lain juga terpancar di raut wajah Amin Sahri. Puisinya berjudul Gerimis berhasil medapatkan juara II. “Senang, nggak nyangka. Mulanya nggak ingin dapat macam-macam,” tutur Amin
Puisi Amin berkisah tentang pengalaman asmara Amin terhadap gadis yang ia sebut sebagai gadis berparas embun. “Terinspirasi dari kisah nyata. Aku teringat akan perempuan itu. Ada rasa rindu, ada rasa pilu, ada rasa suka sama dia, tapi orangnya biasa saja,” celoteh Amin saat menceritakan tentang isi puisinya.
Bagi Amin sendiri, puisi adalah sebagai medium berbuat baik, puisi adalah doa, bahasa hati, bahasa perasaan, dan bahasa imajinasi. “Puisi itu doa, kalau orang dengar dia akan mengamini doa kita,” ucap Amin sembari tersenyum. (Isma Swastiningrum)