Lpmarena.com, Sebuah panggung aneh coba dihadirkan oleh Teater Eska UIN Suka dalam pementasannya yang berjudul “Issue” di acara Apresiasi Seni Internal dan Apresiasi Seni Eksternal XVI Sanggar 28 Terkam, IST Akprind Yogyakarta, Sabtu (14/2) malam. Pentas yang seharusnya dilakukan di atas panggung utama, gangster dari Teater Eska memilih untuk memakai lesehan dari penonton sebagai panggung. Tempat penonton dikosongkan dan penonton membentuk lingkaran.
Lampu blackout (padam), seorang pria berambut gondrong muncul membawa lampu neon putih di sebelah utara dan selatan panggung. Lalu muncul secara berurutan pria berambut gondrong memakai baju kodok biru, ber-make up wajah putih datang membawa meja setrikaan dan sound kecil. Lalu pria itu pergi, dan datang kembali membawa kecapi dan memainkannya.
Di sisi lain, dua orang pria memakai helm diikat perutnya dengan satu tali, mereka saling berjalan saling berlawanan dan memukul-mukul sebuah kursi. Lalu juga seorang pria lain berpakaian gamis garis warna coklat, berwajah putih, memakai kupluk warna senada baju tampak merespon lampu warna-warni yang datang, memasangnya dan mencoba berkomunikasi dengan dua pria berhelm.
Pria gamis itu lalu menyuruh penonton untuk mengeluarkan ponselnya masing-masing. Pria itu menyuruh penonton untuk menyalakan ring tone, “silahkan berfoto—kalau perlu menggunakan blitz,” perintahnya. Auditorium Akprind menjadi sangat semarak dan berisik, suara tawa bergema dari penonton. Dan suara musik kecapi terdengar dari permainan pria berpakaian kodok.
Dari keempat sisi panggung, muncullah satu per satu para fotografer yang memotret pentas absurd tersebut. muncul juga seorang badut dengan banyak balon dalam tubuhnya, dan seorang badut lagi yang berambut seperti api terlihat ceria, tertawa, tapi juga menderita dan nyaris gila. Sebuah eksperimen pementasan telah terjadi dalam Issue.
Issue merupakan suatu percobaan, penjelajahan atas ide percobaan. “Basis penciptaan kita isu-isu yang berkembang di kita. Setiap isu kita diskusikan secara matang. Kita basisnya juga riset. Kemungkinan-kemungkinan atas semua ini kemudian kita gali dengan teori-teori,” ucap Shohifur Ridho Illahi selaku director Issue.
Ghoz TE yang juga salah satu aktor Issue menceritakan jika pementasan kali ini berdasarkan pada teks teman-teman sendiri. Teman-temannya membuat teks dari pelajaran proses yang di dalamnya ada negosiasi-negosiasi. “Sebelum ke pertunjukkan negosiasi-negosiasi itu kita coba obrolkan kemungkinan yang terjadi, tentunya kerelaan artistik yang jadi pertimbangan utama,” kata Ghoz.
Wahid selaku penonton memandang bahwa apa yang ditampilkan Teater Eska merupakan respon akan dunia sekarang. “Ada ruang-ruang yang memang untuk menanggapi masa yang sekarang,” ujar aktor yang juga menjadi anggota di Kebelet Teater ini.
Pentas Issue yang mengkritik tentang isu-isu modern sekarang ini tampak bertolak belakang dengan konsep pementasan lain yang tradisional. Pementasan ini berjudul “Sintren”. Para pelakunya adalah siswa-siswa dari SMA NU Seni Rupa Indramayu.
Menggunakan seperangkat gamelan dan pakaian tradisional, Sintren merupakan seni pertunjukan yang berasal dari daerah pantura yang bersifat tontonan sekaligus tuntunan. Berkisah tentang seorang Sintren yang diikat kemudian jasadnya hilang, lalu keluar lagi dari dalam kurungan. Ia menari-nari bersama para penari, tapi ketika ada orang yang menyawernya ia pingsan lagi. Sudarman, pembimbing pentas Sintren mengungkapkan bahwa ikatan itu menunjukkan bahwa sejak lahir kita terikat, dan kurungan yang dijadikan tempat sembunyinya Sintren melambangkan simbol jasmani kita. “Sintren yang menari, yang keluar dari kurungan adalah roh kita. Dimana ketika meninggalkan unsur keduniawian yang memberatkan ia bergerak,” tuturnya. Sudarman juga menjelaskan bahwa manusia itu belajar dan soal kematian yang dikubur hanyalah jasadnya. (Isma Swastiningrum)