Home - Pameran “Mahameru”, Simbol Dahsyatnya Bencana Maha Pralaya

Pameran “Mahameru”, Simbol Dahsyatnya Bencana Maha Pralaya

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email
Seorang pengunjung tengah memperhatikan foto dalam pameran "Mahameru" (sumber foto: jalanjogja.com).

Seorang pengunjung tengah memperhatikan foto dalam pameran “Mahameru” (sumber foto: jalanjogja.com).

Lpmarena.com, Pada zaman Mataram Hindu sekitar tahun 1006 terjadi peristiwa sejarah, yaitu letusan dahsyat Gunung Merapi yang dinamakan kejadian Maha Pralaya. Korban yang ditimbulkan sangat banyak, tidak hanya manusia tetapi juga hewan ternak, rumah, bangunan suci, candi, dan lainnya.

Dalam rangka mengenang Maha Pralaya, Bentara Budaya Yogyakarta yang terletak di Jl. Suroto 2 Kotabaru dari tanggal 19-30 Mei 2015 mengadakan pameran foto “Mahameru” yang memamerkan foto-foto letusan gunung berapi, artefak candi yang terkubur oleh lava Gunung Merapi, juga foto kuno tentang penemuan situs candi.

Mahameru dalam pameran foto ini tidak dikhususkan pada salah satu gunung tertentu saja (Gunung Semeru), mahameru sendiri memiliki arti gunung yang agung yaitu salah satu dari banyak nama untuk menghormati gunung api yang masih aktif. Di zaman Mataram Hindu, mahameru merupakan kahyangan tempat Dewa tinggal dan rakyat di sekitarnya mempersembahkan sesaji sebagai simbol penghormatan.

“Pameran ini untuk mengingatkan orang-orang bahwa dari dulu gunung api banyak dan setiap orang berbeda pendapat memaknai gunung berapi. Ada yang bilang gunung itu bencana, ada yang bilang gunung itu justru menyuburkan,” kata Endah Pertiwi, panitia dari Bentara Budaya Yogyakarta saat diwawancarai ARENA di tempat pameran pada Senin (25/5) malam.

Ren Hart salah satu pengunjung mengaku sebagai orang awam bingung dengan judul pameran Mahameru. ”Overall, kalau ini tadinya Mahameru rada bingung kok malah merapinya? Mahameru identik dengan Semeru,” kata Ren.

Penikmat pameran lain bernama Sabrina mengatakan acara menarik untuk menambah pengetahuan. “Saya merasa ini bagus, kayak bentuk kawah-kawah beda-beda. Nambah ilmu gunung itu kayak gini,” ujarnya. Sabrina hanya menyayangkan pendeskripsiannya alurnya kurang. “Mungkin sebagai penjelasan awal, harusnya ada prolog, mungkin ada ceritanya,” tambah mahasiswi lulusan arsitektur UGM ini.

Lebih lanjut, sebagai pengiring pameran ini pengunjung juga diharapkan untuk melakukan MERTI GUNUNG yang intinya mendoakan para korban Maha Pralaya. (Isma Swastiningrum)