Home - AMDAL Manipulatif dalam Proyek Waduk Pidekso

AMDAL Manipulatif dalam Proyek Waduk Pidekso

by lpm_arena

Oleh: Maman Suratman*

Hampir tiada proses pembangunan tanpa penindasan. Tujuan pembangunan bisa jadi apik di pandang mata. Namun, landasan realisasinya, tak jarang menipu kita, hingga akhirnya larut dalam buaiannya. Itulah yang banyak terjadi di negeri kita.

Rencana pembangunan Waduk Pidekso Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, boleh kiranya kita sebut sebagai rencana yang ambisius. Bagaimana tidak, terlalu banyak kejanggalan yang nampak di berbagai dan beragam prosesnya. Salah satu yang sangat jelas terlihat adalah hasil penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari pembangunan Waduk Pidekso ini.

Secara teoritis, AMDAL adalah hasil studi dari telaahan secara cermat dan mendalam mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup. Hal ini dibutuhkan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan. Adapun perumusannya menjadi suatu analisis mengenai dampak lingkungan dari suatu proyek yang meliputi pekerjaan evaluasi dan pendugaan dampak proyek dari bangunannya, prosesnya, maupun sistem dari proyek terhadap lingkungan yang berlanjut ke lingkungan hidup manusia (F. Gunarwan Suratmo, 1991). Pengartian ini terang menjadi dasar bagi kita untuk merumuskan dan menyusun AMDAL untuk tujuan apapun, seperti proyek pembangunan tertentu.

Berkaca pada pandangan di atas, tentu tak keliru jika saya menyebut bahwa proses penyusunan AMDAL Waduk Pidekso sama sekali tak memenuhi syarat alias manipulatif. Bagaimana mungkin kita bisa benarkan bahwa proses perumusan dan penyusunan AMDAL telah memenuhi syarat, jika isinya sendiri sebagian besar sama sekali tidak sesuai realitas di lapangan? Gila!

Dalam AMDAL tersebut, rencana pembangunan Waduk Pidekso digambarkan memiliki empat tujuan. Ini kemudian dianggap pemerintah sebagai asas kemanfaatan dari pembangunan Waduk Pidekso. Di antara tujuan itu adalah pengendalian banjir, konservasi, dan pariwisata. Selain itu, keberadaan waduk juga dijadikan sebagai wadah penyedia air irigasi untuk lahan seluas 1500 Ha. Di mana hal ini memungkinkan untuk meningkatkan intensitas tanam dari 133% (2000 Ha) menjadi 240% (3600 Ha). Belum lagi, waduk akan dapat lebih menyejahterakan rakyat karena akan tersedianya air baku sebanyak 300 lt/detik. Luar biasa, bukan?

Sayangnya, keempat tujuan/manfaat di atas, tak satupun bisa kita amini sebagai asas kemanfaatan dari pembangunan Waduk Pidekso. Mengapa? Seperti yang saya sebutkan di awal, semua hal itu sama sekali tak berlandas. Misalnya, dalam hasil diskusi dengan sejumlah tokoh masyarakat di tiga desa terdampak (Pidekso, Tukulrejo, dan Sendangsari) pada 1 Oktober 2015 lalu, keberadaan waduk sebagai pengendali banjir, tiga desa terdampak tak pernah mengalami bencana alam yang demikian. Lalu, untuk apa alasan semacam itu?

Adapun alasan lain, seperti waduk sebagai penyedia air irigasi untuk lahan seluas 1500 Ha, pun patut dipertanyakan. Secara logika, sumber air hanya dibutuhkan bagi daerah yang memang benar-benar tidak memiliki persediaan air, baik untuk air baku, atau pun untuk irigasi pertanian. Dalam hal ini, ketiga daerah terdampak tersebut terbilang memiliki persediaan air yang cukup. Dan jika dianggap dapat menaikkan intensitas tanam, tidakkah di daerah ini juga sudah tergolong makmur dan dapat menghidupi masyarakatnya? Bahwa warga petani di daerah ini sudah mampu menuai hasil panen sebanyak tiga kali dalam setahun (dua kali panen untuk tanaman padi, sekali untuk tanaman jangka pendek).

Dengan demikian, apa yang penulis telah uraikan di atas, paling tidak sedikit memberi keterangan bahwa berbagai alasan yang tertuang dalam AMDAL pembangunan Waduk Pidekso Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, ternyata hanya sebagai dalih. Tujuannya? Jelas bukan kepentingan warga/rakyat itu sendiri. Apalagi, bisa kita buktikan bahwa kebanyakan proyek infrastruktur dari pemerintah, acapkali dibangun untuk tujuan yang lebih besar, dalam hal ini akumulasi kapital. Yang diuntungkan? Jelas mereka yang punya kapital alias para pemodal besar dengan over kapitalismenya.

Tanpa berpretensi pada kepentingan individu atau golongan tertentu, tulisan ini semata-mata hendak menunjukkan bahwa negeri kita yang katanya adil-makmur untuk semua golongan, nyatanya hanya ilusi belaka. Rakyat kecil melulu diusik, dihilangkan hak-hak kemanusiaannya tanpa alasan yang jelas. Lihatlah Salim Kancil yang dikorbankan hanya demi kepentingan golongan tertentu. Dan tentu masih banyak lagi yang lainnya, seperti yang dapat kita temui dalam kasus rencana pembangunan Waduk Pidekso di Kabupaten Wononogiri, Jawa Tengah.

Sebagai kaum intelektual, patut kiranya kita menyadari bahwa dalih kesejahteraan apapun jika soalnya berujung pada perusakan dan penghancuran lingkungan hidup. Apalagi sampai memisahkan manusia dari ruang hidupnya, tentu harus kita tolak dan lawan. Tidakkah kita pernah dan tak henti-hentinya diajarkan bahwa membela mereka yang tertindas serta melawan mereka yang menindas adalah satu kewajiban besar sebagai kaum intelektual? Dan bahwa segala bentuk diam tentu adalah dosa, bahkan tanpa pengampunan secuil pun.

Hematnya, pembangunan Waduk Pidekso dengan dalih kesejahteraan umum tersebut, hanya akan berujung pada pemisahan manusia dari ruang hidupnya. Dan karena hal ini yang akan terjadi, maka sewajibnya-lah bagi kita untuk menolak dan melawannya. Seperti kata Pram, siapa yang tahu tapi tidak melakukan adalah munafik. Maka munafiklah kita yang berdiam diri. []

*Penulis mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri Yogyakarta.