Home LIPUTAN KHUSUS Kendeng Menjemput Keadilan

Kendeng Menjemput Keadilan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Ratusan masyarakat kendeng melakukan long march dari Pati samapai Semarang. Aksi ini dilakukan untuk intervensi moral putusan PTUN yang menjadi harapan masyarakat untuk melihat daerah kendeng tetap lestari setelah beberapa tahun ini diancam akan dibangun pabrik semen.

lpmarena.com, Selasa (17/11), Waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan pagi. Jalan di sekitar Bundaran Kali Banteng Semarang sudah mulai padat dilalui oleh kendaraan bermotor. Tepat di jalur menuju jalan Abdul Rahman Saleh, terdapat Museum Ronggowarsito. Gedung itu tidak begitu luas, di sampingnya terdapat sebuah pendopo, dan di depannya terdapat pelataran yang cukup luas sebagai parkiran pengunjung.

Museum ini merupakan tempat yang akan digunakan berkumpulnya masyarakat pegunungan Kendeng untuk menuntut keadilan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Mereka tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dari Pati, Rembang, Blora dan Grobogan. Para warga ini menolak pembanguan pabrik semen yang rencananya akan dibangun di daerah Tambakromo dan sekitarnya oleh PT. Sahabat Mulia Sakti (SMS). Penolakan ini bedasarkan pada surat izin lingkungan Bupati Pati Nomor 660.1/4767/2014 yang terbit 8 Desember 2014 tentang izin lingkungan pembangunan pabrik semen. Izin ini menurut masyarakat tidak berlandaskan pada kepentingan masyarakat dan lingkungan alam sekitar pegunungan Kendeng.

Dibawah pohon bringin terlihat beberapa orang yang sedang melepas lelah sembari membaringkan kaki. Mereka adalah massa aksi yang telah melakukan Long March. Menurut pengakuan Gun Retno, selaku kordinator aksi, mereka berjalan kaki mulai hari minggu malam (15/11) dari desa Sukolilo, Pati, sampai Semarang selasa pagi jam 01.00 WIB. Warga yang ikut aksi tersebut sekitar 200 orang. “Dalam perjalanan apresiasi masyrakat yang melihat aksi kami sangat luar biasa, mereka ada yang ngasih minum makan disepanjang jalan.”

Ngarti adalah salah satu peserta aksi. Keriput di wajah menunjukkan usianya telah melebihi setengah abad. Dalam perjalanan ini beberapa kali tubuhnya diangkut dengan sepeda motor karena kaki yang sudah tidak kuat untuk berjalan jauh. “saya habis banyak balsem untuk mengurut kaki biar kuat dibuat jalan,” ucap Ngarti dengan wajah lelahnya. Aksi ini didominasi oleh bapak-bapak dan ibu-ibu yang telah berusia lebih dari 35 tahun. 122 kilometer perjalanan yang ditempuh dari Pati sampai Museum Ronggowarsito memang tidak mudah bagi orang yang sudah tak lagi muda, tapi tidak pula menghentikan langkah kaki-kaki baja mereka.

Ngarti juga menceritakan, untuk mendanai aksi kali ini beberapa masyarakat rela menjual hutan yang dimilikinya, “untuk berangkat kesini aja kami iuran sebesar lima belas ribu rupiah, dan ini bukan sekali selama ini kita aksi slalu iuran.”

09.30 WIB, muncul puluhan kendaraan bermotor memasuki pelataran museum. Rombongan ini terdiri dari truk, bus, hingga kendaraan pribadi. Kendaraan tersebut membawa ribuan massa aksi yang akan turut serta bergabung dalm aksi di PTUN Semarang. Mereka berasal dari daerah Rembang, Pati, Blora, serta Grobogan.

Kusrini adalah salah satu dari rombongan ini, Ia berasal dari Kayen, Pati. Ia beserta massa aksi lainnya datang ke Semarang dengan menggunakan kendaran bermotor. Kusrini dan massa aksi lainnya menenteng sebuah kantong kresek. Ketika ditanya soal isi yang di dalamanya, Ia menjawab itu adalah bekal makanan yang di bawa dari rumah. “ini ada bungkusan nasi, masih utuh ini belum dimakan. Apa masnya kalau mau silahkan dimakan” tutur Kusrini yang malah menyodorkan bekal makanannya.

Di punggung para warga terdapat tas buatan sendiri. Bahan yang digunakan adalah karung bekas ukuran kecil dengan sedikit tambahan bambu di bagian atas. Terdapat tambahan dua potongan bambu kecil sedikit memanjang ke atas. Di bambu itu sendiri berkibar dua bendera, JM-PPK dan Merah Putih. “Iya, tasnya itu buatan sendiri mas, pada buat sendiri” ungkap Kursini. Menurutnya, tas itu membuktikan rasa cinta Kursini dan warga yang lain terhadap tanah air kelahirannya.

Kusrini juga bermata pencaharian sebagai seorang petani. Waktu yang biasanya membawa tubuhnya untuk berada di sawah, sekarang membawanya ke PTUN Semarang. Dia dan juga warga lainnya rela meningglkan sawah mereka untuk menjemput keadilan, menggugat Bupati Pati dan PT. SMS.

Di sela obrolan, Kursini bercerita awal mula hadirnya pabrik semen di daerahnya. Ketika pertamakali pihak pengembang semen masuk, mereka beralasaan mencari sumber minyak bumi. Akan tetapi, ternyata mereka sebetulnya sedang mencanangkan pembangunan pabrik semen. “Katanya itu nyari sumber minyak, tetapi malah bohongi. Untung ada mantan pegawai dari semen yang menikah dengan tetangga saya. Jadi dia yang ngasih tahu kalau itu sedang suvey buat pendirian pabrik semen.”

Dalam aksi ini, ada juga massa aksi dari luar kawasan Kendeng. Salah satunya Amal, seorang ibu yang berasal dari Banten. Ia turut hadir dalam aksi tersebut atas rasa keprihatinan terhadap pendirian pabrik semen. Ia menceritakan mengenai banyaknya pabrik yang didirikan disekitar tempat tinggalnya. Seprti pabrik kertas, sepatu dan lain sebagainya. Pendirian pabrik itu sendiri berdampak pada berkuragnya jumlah air dari sumber-sumber air milik para warga, “Pabrik kertas, sepatu aja bisa mengakibatkan kekuranggan air, apalagi ini semen, tentu akan habis airya.”

Terik matahari semakin memanas, jam telah menunjuk angka setengah sebelas. Massa aksi bersiap-siap untuk menuju PTUN dengan jalan kaki yang jaraknya kurang lebih 3 kilometer. Sebelum menuju tempat persidangan warga menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dipimpin Gufron dan diiringi dengan irama musik dari saksofon.

Gus Ubaid dan Romo Budi, tokoh agama yang turut serta dalam aksi memberikan wejangan sebelum massa aksi berangkat ke pengadilan. Gus Ubaid berpesan, agama yang digunakan untuk kepentingan sekelompok kecil atau kapitalis agama itu adalah pembohong. “Tanah Indonesia bukanlah tanah warisan yang sakenaknya dapat dijual, tanah kalo dijual dua tahun tiga tahun uang sudah habis, bumi adalah milik Allah maka jangan dijual sama para pemodal.” tegas Gus Ubaid yang juga mengasuh ponpes Darul Ullum Pamutang Rembang.

Kendeng sumber penghidupan

Kendeng adalah sebuah pegunugan yag terletak di sepanjang perbatasan kota Pati, Grobogan, Blora serta Rembang. Tanah dari pegunungan ini terlihat tandus. Apalagi disaat musim kemarau, seperti tanah yang tak bisa dijadikan lahan pertanian. Ini dikarenakan lapisan bebatuan dari pegunungan ini sebagian besar terdiri dari batuan karst. Gamping dan Lempung menjadi lapisan pembentuk pegunungan ini. Dan memang jika terik matahari sedang panas-panasnya, lahan pun seraasa mau terbakar.

Di lereng pegunungan Kendeng terdapat hamparan lahan pertanian yang subur. Padi, kedelai, kacang, jagung dan lain sebagainya tumbuh dilahan ini. Seperti ungkap Suparti, warga lereng Kendeng daerah Brati, Kecamatan Kayen, Pati. Berton-ton hasil panen bisa dia dapat dari hasil pertaniannya. Penjualan dari hasil pertanian tersebut dapat digunakannya untuk keperluan sehari-hari, “Di sana (lereng Kendeng) pertaniannya ganti-ganti. Kadang jagung, padi kedelai, dan kemarin pas panen kedelai bisa panen berton-ton. Di jual bisa jutaan.”

Suparti mengatakan air untuk pertanian berasal dari sumber mata air di sekitaran pegunungan Kendeng. Di derahnya sendiri, Kecamatan Kayen, terdapat lima mata air, Goboyo, Kali Cilek, Dandang, Kali Gede dan Beser. Kelima mata iar tersebut berada di dua desa, Grasak dan Ngrukuk. “kelima mata air itu tepuk (menjadi satu) aliran airnya. Dan alirannya melewati daerah sekitaran warga.”

Besar, salah seorang warga lereng Kendeng yang ikut serta dalam aksi ini mengatakan bahwa di tempatnya tidak pernah kekeringan. Air tetap mengalir deras dari sumber-sumber yang keluar dari pegunungan Kendeng, “Sumber air tidak pernah berhenti mengalir, tidak pernah habis.”

Menunggu putusan hakim

 

13.26 WIB, jalan Abdul Rahman Saleh disesaki lautan manusia. Orasi, pembacaan puisi, lantunan tembang penyuaraan aspirasi akyat, serta aksi teatrikal dilakukan massa aksi. Sementara di pelataran PTUN, para polisi siap siaga lengkap dengan pelindung badan. Tidak ketinggalan mobil Water Canon dan penembak gas air mata.

Di dalam gedung PTUN, sidang masih terus berlanjut. Adi Budi Sulistiyo menjadi hakim ketua yang memimpin sidang. Di sampingnya ada Eri Elfi Ritonga serta Ardoyo Wardhana yang menjadi hakim anggota. Ditambah dengan seorang Panitera yang bernama Legiman.

Sidang ini memakan waktu tidak kurang dari tujuh jam. Tepat pada pukul 17.47 WIB, ketua hakim akhirnya membacakan hasil putusan, bahwa gugatan Jasmo dkk kepada kepada Bupati Pati dikabulkan, Menurut hakim, amdal yang dilakukan PT. SMS bermasalah karena tidak melibatkan warga secara menyeluruh. Yang kedua, pabrik semen diindikasi tidak memberi dampak positif untuk warga sekitar.

“Demikian siding perkara No. 015/G/2015/PTUN.SMG, berakhir dengan pembacaan putusan. Apabila ada pihak yang tidak sependapat dengan putusan, dapat mengajukan banding. Demikian sidang kami tutup.” Pungkas Hakim Ketua mengakhiri sidang.

Mengutip dari tempo.com, pengacara pihak tergugat, Siti Rubiati akan melakukan banding terhadap putusan yang telah ditetapkan oleh hakim PTUN Semarang. Putusan itu menurutnya telah menyalahi aturan. Florianus Sangsun, selaku kuasa hukum PT SMS juga senada dengan Siti Rubiati, akan mengupayakan banding. “Hakim tidak mempertimbangkan alat bukti, baik tertulis maupun saksi mata dan keterangan ahli.” kata Florianus.

Menanggapi tindakan banding yang akan dilakukan oleh pihak tergugat, Gun Retno saat dihubungi Arena melalui telefon seluler menegaskan, semua itu tidak perlu dikhawatirkan. Menurutnya masyarakat bicara apa adanya karena memang seperti itu keadaan alam Kendeng. “Biarkan mereka melakukan tindakan hukum banding, hal itu memang hak mereka. Tetapi yang harus digarisbawahi, seharusnya mereka dapat memegang ucapan mereka sendiri, pasalnya pada saat kami demo di Semarang, terdapat masa yang pro semen menggelar demo di depan kabupaten Pati yang intinya untuk mematuhi semua putusan hakim yang telah diputuskan.”

Reporter: Muhammad Abdul Rouf, Abdul Rohim, dan Ahmad Najib

Redaktur: Lugas Subarkah