Oleh: A. Taufiq*
Melihat makro histori perjalanan kebangsaan kita dari sudut psikopolitik, setelah 70 tahun kemerdekaan diproklamirkan, rupanya bangsa kita belum mentas dari mentalitas bangsa jajahan. Hiruk-pikuk dalam Pemilwa UIN Sunan Kalijaga bisa dijadikan sebagai contoh yang sempurna.
Politik mahasiswa adalah cermin dari politik bangsa. Apalagi mahasiswa adalah kaum terdidik. Artinya, secara akal budi, tarafnya (harusnya) sudah melampaui mereka yang tak terdidik, dan karenanya mentalitas bangsa-terjajah sudah terminimalisir. Yaitu menjadi manusia merdeka, menjadi manusia beradab. Namun dalam Pemilwa UIN Suka yang kita temui adalah sesuatu yang sebaliknya.
Ciri utama mentalitas bangsa terjajah: Pertama, tidak percaya pada kekuatan diri sendiri alias minder. Contohnya adalah penguasa mahasiswa yang dalam hal ini adalah geng tiiiiiit… (sensor) dengan (bangga) menghalalkan segala cara melanggengkan kekuasaan golongannya. Buktinya? Akal yang sehat bisa berpikir kalau hasil perhitungan Pemilwa sangat tidak rasional. Perlu ditulis juga?
Padahal, andai kata bertarung secara sportif, tetap saja mereka menang. Karena Pemilwa kita menganut satu orang satu suara, sementara massa mereka mayoritas.
Keminderan yang kemudian mewujud dalam ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu di luar golongannya. Dalam ilmu jiwa, namanya paranoid. Paranoid adalah bagian dari gejala syaraf alias sakit jiwa. Keminderan itu adalah penyakit warisan nenek moyang, salah satunya akibat kolonialisme. Setelah ratusan tahun dirampas penjajah, hasrat politiknya dibonsai, maka yang timbul adalah rasa hina, rasa tidak pantas bahkan untuk bergaul. Orang kolonial Belanda menyebutnya minderwaardigheid complex. Bangsa inlander memang memantaskan diri untuk dijajah.
Namun di sisi lain (alter ego), mereka merasa (sebenarnya menghayal) menjadi penguasa dunia. Makanya ketika dapat kekuasaan, ya seperti dapat pelampiasan hasrat yang menggebu-gebu itu. Jangan sampai kekuasaan itu lepas dari tangan. Mahasiswa UIN Suka juga begitu. Ketika suatu geng mendapatkan kekuasaan (pelampiasan syahwat), mati-matian akan mempertahankannya. Tak peduli kalau harus menginjak-injak sesama mahasiswa.
Kedua, ketidakpercayaan atas kekuatan sendiri seperti di atas, berangkatnya dari kekalahan bangsa kita atas penetrasi barat (penjajah). Dalam sejarah kebangsaan, bisa ditelusuri akarnya adalah kekalahan Demak (sebagai konsolidator kekuatan maritim terakhir) ketika melawan Portugis. Itulah yang membuat kita jadi land locked. Kerajaan-kerajaan selanjutnya semakin masuk ke pedalaman (seperti Mataram). Dan itu menyebabkan kita semakin inward looking. Semakin masuk dalam tempurung.
Penjebolan atas inward looking dan keminderan itu sebenarnya sudah coba dilakukan, terutama dalam semangat zaman kemerdekaan. Kita lihat saja Pembukaan UUD 45, yang isinya “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Dalam khazanan kesusasteraan Angkatan 45, kita juga kenal Surat Kepercayaan Gelanggang, yaitu: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri….”
Itu semua, salah satunya adalah bagian dari penjebolan inward looking. Karena inward looking akan mengunci kita dalam tempurung alias lari dari kenyataan.
Ini tentu berbeda dengan sindrom para pemangku kebijakan kampus yang sedikit-sedikit hendak narsis dengan mencanangkan World Class University. Padahal intinya adalah mengekor dan membeo bangsa lain sebab gumunan alias mudah silau sehingga hendak meniru secara persis. Bukan dengan kreatif memunculkan sesuatu yang kemudian didorong untuk diakui dunia.
Artinya, itu semua juga hanya topeng, karena kita lari dari kenyataan yang menggilas ini, sementara kepercayaan diri untuk menghadapinya sudah runtuh. Maka satu-satunya cara memang lari dari kenyataan, dan berlindung dibalik khayalannya itu (sakit jiwa), atau cari aman dalam kelompoknya saja (inward looking). Dan ketika tahu khayalannya indah (dan laris) maka penipuan diri akan dilanjutkan. Sebagaimana ketika tahu kalau kelompoknya besar dan berkuasa atas kelompok-kelompok lain, maka alangkah nyamannya perlindungan itu. Dan alangkan enaknya menindas teman-teman sendiri dari kelompok lain.
Itulah yang kita lihat dari perpolitikan mahasiswa UIN Suka. Politik yang harusnya ruang publik, kemudian diprivatisasi. Cuma, privatisasinya mengajak konco alias gengnya. Pemerintahan mahasiswa kemudian jadi milik geng itu. Dan yang lain? Disingkirkan. Memang, power is sweet, dan menindas itu indah.
Ketiga, ciri selanjutnya dari mentalitas bangsa jajahan adalah selalu berpikir jangka pendek. Bangsa terjajah memang selalu disibukkan cari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Soalnya bagi cari nasi susah. Maklum, penjajah telah merampasnya. Ratusan tahun hanya disibukkan soal perut itulah yang kemudian mengendap dalam alam bawah sadar bangsa kita, sehingga tidak bisa berpikir jangka panjang. Tidak sempat berpikir membangun peradaban. Bukankah peradaban unggul yang kita warisi sampai saat ini adalah peradaban nenek moyang sebelum dijajah? Lihat saja candi Borobudur atau Prambanan.
Dalam hal Pemilwa, pikiran jangka pendek itu bentuknya yaitu pokoknya asal golongannya menang, hasrat kekuasaan sudah terlampiaskan, ya sudah. Nilai plusnya adalah akan bangga, atau minilal tidak malu ketika ditanya seniornya yang sudah lulus. Seperti, “bagaimana organisasi kita? Masih menguasai kampus kan?” kata senior. “Ya masihlah Bang,” sambil membusungkan dada. Ya hanya itu pikirannya.
Melihat mentalitas bangsa jajahan yang masih menyeruak itu, apa bisa diharapkan suatu perbaikan terhadap gerak-sejarah kebangsaan? Tidak usah bermimpi.
Akhirnya, sebenarnya saya masih ingin melanjutkan tulisan ini. Tapi makin lama, saya juga makin merasa prihatin. Jadi memang harus disudahi. Itu saja yang bisa saya jelaskan.
Mereka (kelompok mahasiswa) yang sekarang berkuasa itu, tak usah dihujat, tak usah dibenci. Buang-buang energi. Maafkan saja. Maklum, bangsa dengan mental terjajah memang begitu. Bijak-bijaklah menyikapinya.
Ambarrukmo, 11 Desember 2015
*Penulis aktif di KMPD.