Oleh: Jamaludin A.
Bagi sebagian pihak Pemilwa telah usai. Tinggal merapikan beberapa hal teknis. Paling penting adalah serah terima jabatan, tapi karena pejabat terdahulu entah kemana, pasangan terpilih tinggal menduduki saja kursi jabatannya. Habis itu membubarkan PPUM, badan yang telah bersusah payah menggelar Pemilwa dengan persiapan cuma sebulan. Dan lagi, jika bu WR III berkenan, tim ad-hoc sekalian.
Itu untuk penyelenggara. Bagi sebagian lain nampaknya belum rela dikatakan usai begitu saja. Setidaknya bagi oposisi, yang kemarin anggotanya digebuki oleh massa lawan ketika kampanye dialogis. Ada wacana hendak memidanakan. Tapi tampaknya hanya gertak sambal, buktinya hingga ini hari tak ada lagi kabar lanjutan.
Kekerasan fisik dalam Pemilwa sebenarnya fenomena “bagus”. Hal ini bisa menjadi dokumen nyata adanya ketakberesan dalam demokrasi kita. Saya bilang “bagus” karena selama ini seolah mahasiswa terlampau bebal untuk melihat masalah dalam sistem demokrasi kita. Terutama yang bersifat struktural seperti; aturan yang menguntungkan pihak tertentu hingga komposisi panitia penyelenggara yang dipenuhi orang “utusan”.
Mendapati kenyataan yang begitu sulit diterima nalar para minoritas, Pemilwa akhirnya hanya menyisakan kasak-kusuk. Gunjingan di sekretariat, meja kantin, dan media sosial. Namun, percayalah, hal tersebut tak akan lama. Setelahnya masing-masing akan kembali pada kebiasaan lama dan membatin; terserah kalian yang terpilih mau apa, saya tak ada urusan!
Selain politikus, ternyata ada yang masih mengganjal dari Pemilwa. Seminggu lalu ada video Aksi Pers yang diunggah oleh Suka TV. Isinya kurang lebih menggugat penyelenggaraan Pemilwa yang tertutup bagi kuli pena sekaligus publik. Informasi yang dipotong dan akses yang dibatasi.
Menilik yang sudah-sudah, kondisi yang digugat oleh saudara-saudari perwarta bukanlah hal baru. Itu persoalan lama yang dianggap baru karena lupa. Kejadian wartawan dilarang masuk ke lokasi pemungutan suara (yang katanya terbuka) telah juga dilakukan kakak-kakak panitia terdahulu. Atau kalau mau berusaha sedikit mengingat, memajang penjaga berambut gondrong dan celana robek adalah trik Orde Lama. Pendek kata, Pemilwa 2015 cuma namanya saja yang baru, lain itu lama-yang seharusnya kadaluarsa.
Baru-baru ini saya dengar juga akan ada tuntutan para awak pers terhadap PPUM dan rektorat. Ini menarik. Mereka menuntut keterbukaan informasi dan aturan yang jelas dalam peliputan. Meskipun telat, karena Pemilwa telah selesai, dari sini kita bisa sedikit berharap. Ya, setidaknya menjadi jalan masuk untuk mengganti perilaku Pemilwa yang kadaluarsa itu.
Pers yang konon jadi elemen penyempurna demokrasi, berpotensi menjawab masalah “informasi (untuk sebagian) publik” yang telah lama dan terus dijaga ini. Dengannya orang-orang macam saya ini setidaknya bisa berharap dapat informasi yang minimal menjadikan tertarik nonton Pemilwa.
Contoh konkritnya ya seperti pasangan pres dan wapres terpilih. Terus terang saya tidak tahu namanya, alih-alih track record dan prestasinya. Paling banter cuma bisa menebak partai dan organisasinya saja. Suudzon saya yang tahu data lengkap tersebut, di luar partai pengusung, cuma panitia. Ini salah satu contoh saja. Silakan dilipatgandakan kalau ada.
Berbeda halnya jika Pers yang telah punya punya transmisi publik dan pembaca luas disertakan. Informasi penting yang berguna bagi kesuksesan Pemilwa untuk mahasiswa sibuk kuliah macam saya bisa ngakses sambil onlen. Ini akan sangat membantu untuk menentukan sikap politik dan pilihan calon ketika Pemilwa.
Hal ini juga akan mendorong partisipasi lebih luas. Meski bukan jaminan ikut nyoblos. Di satu sisi panitia tidak perlu repot melulu sosialisasi, meskipun itu kewajibannya, dan yang terpenting informasi menyebar ke publik. Demokrasi macam apa sih yang dari -oleh- dan untuk sejumput rakyat saja.
Kita tentu masih mengaharapkan pers sebagai elemen keempat penyangga dan penjaga demokrasi. Ketika perpolitikan sudah seperti ini pers mesti jadi kontrol sosial, terutama penguasa. Bila mengacu yang lalu dan terutama berkaca pada sekarang, kita seolah dilarang berharap banyak pada politikus ajaran itu.
Pada akhirnya, Pemilwa hanyalah satu contoh. Darinya kita bisa mengambil qiyas lagi atas sistem yang serba tertutup di kampus ini. Seperti dana UKT, dana Bidik Misi, dan dana-dana lainnya. []