KRISIS TOLERANSI
Konflik agama, kepercayaan, suku, gender, dan difable serasa tidak pernah berakhir di Indonesia. Peristiwa-peristiwa intoleran tersebut tidak akan terjadi jika kita memaknai hakikat manusia dan berhasil memaknai ajaran Bhineka Tunggal Ika, meski berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Manusia sejak awal memiliki potensi tak terbatas. Dari ketidak-terbatasan itu muncullah fenomena-fenomena beragam. Masyarakat bersinggungan dengan realitas yang berbeda-beda, interaksi dengan alam dan kondisi yang bervariasi pada akhirnya membentuk corak berpikir dan pola hidup yang mempunyai ciri khas.
Keragaman itu ternyata mampu memberi makna tersendiri bagi kehidupan manusia. Kehadirannya ikut andil memperkaya entri ‘kamus’ kita tentang kebenaran, kebaikan, keindahan, dan seterusnya melalui proses saling bejar satu sama lain. Sulit kiranya membayangkan bagaimana kondisi manusia yang seragam dalam segala hal. Alhasil, keragaman adalah keniscayaan dan akan selalu mewarnai kehidupan manusia sejak dulu, kini dan nanti.
Namun, yang sangat disesali, sebagian masyarakat kita masih memandang keragaman sebagai ancaman bagi kepentingan pribadinya. Pihak yang merasa kepentingannya terancam akan berusaha melindungi kepentingannya dengan cara-cara pintas (kekerasan) yang merugikan kelompok lain. Kekerasan tidak hanya dapat dipahami dalam bentuk kekerasan fisik berupa pengrusakan, pembakaran, pengusiran, tetapi pembuatan aturan-aturan yang merugikan kelompok lain serta stereotype negatif dapat juga dimaknai sebagai kekerasan meski sifatnya abstrak tapi dampaknya jelas dapat dirasakan.
Usaha untuk mencegah terjadinya konflik merupakan panggilan kemanusiaan yang perlu direspon bersama. Rentetan peristiwa pengrusakan rumah ibadah, diskriminasi etnis tertentu serta tanggapan miring terkait isu-isu kesetaraan gender sudah lebih dari cukup untuk dijadikan bahan pembelajaran masyarakat bahwa peristiwa semacam itu tidak perlu terulang kembali.
Bumi ini diperuntukkan untuk segenap manusia terlepas dari kalangan mana ia berasal. Yang kita butuhkan adalah menjalin komunikasi antar golongan dengan cara-cara cerdas dan menguntungkan semua pihak, bukan dengan jalan kekerasan.
***
KONSEP ACARA
Menempatkan panggung ditengah area pengunjung yang membentuk lingkaran.
Tiap pengisi acara menafsir atas tema “TOLERANSI” dengan sub tema “agama, kepercayaan, suku, gender, dan difable”. Diungkapkan dalam bentuk pertunjukkan, narasi, atau berbagi cerita, dan diakhiri dengan testimoni.
FASILITAS PANGGUNG
Stand mic dua buah; Mic empat buah; Kajon satu buah; gitar akustik elektrik satu buah; jimbe satu buah; tambourine satu buah
TEMPAT ACARA
Area parkir Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
WAKTU, TANGGAL DAN TAHUN
Pada hari Rabu, 23 Desember 2015, sejak pukul tujuh malam sampai dengan sepuluh lebih dua puluh menit waktu Indonesia bagian barat.
PEMANTIK ACARA
Rifai Asyhari
SUSUNAN ACARA
07:00 Persiapan acara
07:20 Pembukaan acara oleh Fai
07:30 Obrolan pengantar acara dari penyelanggara
07:40 Obrolan tentang TOLERANSI dari AMAN Indonesia
07:55 Repertoar dari DIFABLE UIN Sunan Kalijaga
08:15 Menggagas Toleransi dalam film Tuhan di atas Lift oleh Ridho Nugroho, Jamaah Cinema Mahasiswa (JCM)
08:35 Malam apresiasi peserta pameran foto bicara “TOLERANSI”
08:45 Metalisasi Puisi Thoba Husain & Egi Azwul Fikry
09:05 Seni pertunjukkan oleh Teater ESKA
09:30 Repertoar oleh Zacky Kryan (The SOAK)
09:50 Balada oleh Harik Giyarian
10:20 Menutup acara oleh Fai
10:30 Beres-beres oleh Miftahur Rahman selaku penyelenggara
*Diselenggarakan oleh LPM ARENA dan AMAN Indonesia, didukung oleh Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta