Lpmarena.com, “Jika Malari 1974 itu menentang ekspansi modal Jepang terhadap Indonesia dan reformasi 1998 berhasil meruntuhkan rezim otoriter Soeharto. Kini, mau dibawa kemana gerakan mahaiswa?” terang Eko Prasetyo dalam acara Refleksi Malapetaka Limabelas Januari (Malari) yang diselenggarakan Cakrawala Mahasiswa Yogyakarta di warung kopi Bjong pada Senin malam (18/1).
Eko memaparkan, kondisi saat malari berlangsung dengan kondisi mahasiswa sekarang memang berbeda. Sayangnya, kesadaran akan kondisi tersebut tidak benar-benar dimanfaatkan dengan baik oleh beberapa gerakan mahasiswa itu sendiri. “Di satu sisi, salah satu faktornya, represifitas kampus melalui sistem pendidikan mahasiswa yang semakin akut.”
Marwan Manaki, panitia acara, mengutip Berthol Brecht mengatakan, menjadi mahasiswa adalah sarana untuk mencari dan menentukan tujuan belajar untuk berkemanusiaan. Namun kenyataannya, tujuan tersebut tidak serta merta dapat diperoleh di bangku kuliah. Sistem pendidikan neoliberal yang dijalankan saat ini bukan bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial dan kemerdekaan pikiran, melainkan sekedar mencetak tenaga kerja berupah murah dan menanggalkan cita-cita besar. “Lihat saja kurikulum pendidikan sekarang, sudah tidak bertujuan kemanusiaan, melainkan komersil dan profit.”
Hal tersebut menurut Marwan berdampak pada prilaku mahasiswa karena dengan sistem tersebut menjauhkan kehidupan kampus dari realitas persoalan kemasyarakatan. Ia juga berpendapat bahwa tugas gerakan mahasiswa kedepan adalah bagaimana mempersatukan kesenjangan antara mahasiswa dan masyarakat. Selain itu, gerakan mahasiswa juga harus mengeksplorasi metode yang lebih kontekstual dan fleksibel.
“Semisal kita mesti tahu hubungan antara persoalan petani, buruh dan lainnya dengan mahaiswa. Kemudian merumuskan metodenya. Artinya di sana kita mencari titik temu bahwa musuh kita sebenarnya satu. Para Kapitalis,” tutupnya.
Reporter: Andy R
Redaktur: Lugas Subarkah