Oleh: Imroatus Sa’adah*
Akhir-akhir ini tayangan televisi begitu memuakkan. Bagaimana tidak? Dari bangun tidur hingga tidur lagi, tayangan yang disajikan kurang berbobot, semacam sinetron Anak Jalanan, Anak Menteng, Katakan Putus, Dahsyat, Uttaran, dan macam lainnya. Saya tahu, tayangan tersebut memang tujuannya untuk menghibur penonton. Tapi masalahnya, akibat yang ditimbulkan itu lho, anak-anak kecil menjadi sok-sok’an saat naik sepeda, bergaya ala gank motornya Boy dan akhirnya terjadi kecelakaan. Anak remaja lebih takut diputus pacarnya daripada mendapat nilai jelek dan harus remidi, dan tak lupa ibu-ibu sering lalai memandikan anaknya serta menyapu rumah ketika sore demi mengikuti kisah Tapasha.
Meski tayangan-tayangan tersebut terlihat sepele, dampak yang ditimbulkan dapat merusak generasi bangsa. Mencetak muda-mudi yang bermental pecundang, tidak progresif!. Terlena oleh hiburan televisi. Yang menjadi pertanyaan: apakah pemerintah tidak sadar dengan dampak yang ditimbulkan oleh tayangan seperti itu? Jawabannya sudah jelas bahwa pemerintah sadar betul akan hal itu. Lalu, kenapa pemerintah tidak mencegah tayangan tak bermutu itu? Karena pemerintah mendukung tayangan tersebut demi mencapai tujuannya, yaitu membodohkan masyarakat. Membunuh mental. Kenapa demikian? Mari kita cermati.
Pada era Orde Baru, 1966-1998, rakyat sudah akrab dengan aksi demo karena pada saat itu negara dalam kondisi semrawut. Terjadi pelanggaran HAM, krisis ekonomi, dan korupsi. Tak heran jika pada saat itu sering menjumpai perlawanan dari rakyat demi mengembalikan hak yang dirampas, dan menggulingkan rezim yang otoriter. Terlihat jelas bahwa masyarakat pada era tersebut begitu antusias dan peka terhadap kondisi sosial, serta sadar akan penindasan yang dilakukan oleh negara. Berbeda dengan sekarang, di era berkembangnya teknologi, rakyat merasa adem ayem, padahal di luar sana telah terjadi perampasan HAM, penggusuran lahan dimana-mana, korupsi semakin merajalela. Dasar tidak Peka! Hanya itu sebutan yang patut untuk mereka yang sok disibukkan oleh urusan pribadi.
Hilangkan kepekaan rakyat di era sekarang tidak luput dari peran media. Fungsi utama media sebagai sumber informasi, kini telah bergeser menjadi sumber hiburan. Pergeseran tersebut bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan sudah diatur oleh pihak yang berkepentingan, tak lain adalah pemerintah.
Pemerintah memiliki berbagai cara untuk mengamankan negara dari perlawanan rakyatnya. Jika negara sudah aman tanpa perlawanan, pemerintah dengan mudah menjalankan kepentingannya sendiri yakni menimbun kekayaan, sedangkan rakyatnya menderita kelaparan. Menjadikan media (televisi) sebagai ladang hiburan adalah cara halus pemerintah melumpuhkan perlawanan rakyat. Kalau rakyat sudah terlena dengan hiburan yang disajikan televisi, mereka akan lupa kalau harga BBM sudah naik, penggusuran lahan pertanian semakin gencar, dan berbagai masalah sosial lainnya.
Sayangnya, hanya segelintir rakyat yang Sadar bahwa hiburan tersebut hanyalah lagu tidur yang selalu dinyanyikan pemerintah supaya rakyatnya tertidur. Sementara pemerintah dengan leluasa menjalankan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan rakyat. Kita, sebagai mahasiswa yang katanya agent of change, seharusnya bisa lebih sadar terhadap kondisi sosial. Sudah mahasiswa, tapi masih gemar menonton tayangan seperti itu? Aduh, malu sama kucing Bang!
*Penulis mahasiswa Ekonomi Syari’ah, FEBI UIN Sunan Kalijaga.