Home BERITA PP 78/2015 Lemahkan Buruh

PP 78/2015 Lemahkan Buruh

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com, Aliansi buruh Yogyakarta (ABY) bersama dengan segenap massa yang tergabung   dalam aksi peringatan hari buruh internasional menuntut pencabutan PP 78/2015 karena peraturan tersebut dinilai merugikan buruh pada minggu pagi (01/05).

Tuntutantersebut disampaikan dalam  perayaan hari buruh internasional atau May Day dengan melakukan aksi damai: massa berkonvoi dari Tugu Yogyakarta sampai Jln. Abu Bakar Ali kemudian dilanjutkan  orasi dengan berjalan kaki melewati Jln. Malioboro sampai titik 0 KM Yogyakarta.

Irsyad Adi Irawan, sekretaris ABY menyatakan bahwa PP 78 tersebut bertentangan dengan konstitusi repubik Indonesia. Salah satunya adalah UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan.  PP 78 tersebut langsung menentukan kenaikan upah buruh sebesar 10 %. Sementara penentuan upah dalam UU No. 13/2003 berlandaskan pada survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

“Kalau kita menggunakan PP 78 itu tidak mencerminkan kebutuhan buruh. Oleh karena itu dia harus dibatalkan,”  jelasnya.

Di samping itu, adanya PP tersebut  yang menyatakan bahwa upah minimum ditetapkan oleh gubernur berdasarkan rekomendasi dari dewan pengupahan atau bupati/walikota  tersebut juga telah merugikan karena telah merampas hak berunding serikat buruh melaui mekanisme Dewan Pengupahan.

PP 78 2015dinilai menggembosi kekuatan buruh dikarenakan  dalam PP tersebutterdapat larangan buruh berserikat atau melakukan aktivitas organisasi tanpa adanya izin dari pimpinan perusahaan. Hal ini disampaikan oleh Sugiarto, salah satu pembela umum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakartakepada ARENA di sela-sela aksi. Padahal dalam peraturan yang lama (UU No. 13/2003) buruh mendapatkan hak untuk berserikat tanpa perlu adanya izin dari pimpinan.

Menurutnya pula, Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Yogyakarta yang sekitar 1,3 sampai 1,4 juta (tiap kabupaten berbeda) masih jauh dari yang diharapkan untuk kesejahteraan.  Dengan anak yang berjumlah tiga jumlah tersebut tidak mencukupi.  Ukuran tersebut masih belum mencukupi kualifikasi hidup layak.

Sementara baik hak demokrasi maupun hak berserikat kerja untuk mendapatkan kesejahteraan dilemahkan oleh peraturan. “Maka piilihannya adaalah kaum buruh ini harus selalu menyuarakan aspirasi dan perlawanan teradap ketidakadilan di kaum buruh itu sendiri,” jelasnya.

Tergabung pula dalam massa terdebut sejumlah aktivis dari kalangan mahasiswa seperti Forum Mahasiswa Yogyakarta (FMY), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), dan Dema fakultas Hukum UGM.

Menurut wahyu, orator dari FMY, memang mahasiswa lah yang seharusnya mempelopori dan yang menjelaskan masalah ilmiah kepada buruh adalah mahasiswa. Dalam artian, mahasiswa menjadi pendorong untuk menjelaskan tentang hak-hak normatif atas buruh.

Namun wahyu mengakui, pihaknya kesulitan menyatukan organisasi-organisasi mahasiswa untuk ikut turun kemasyarakat. “Maka hari ini akhirnya FMY mencoba mempelopori , mengajak kawan-kawan, entah itu mahasiswa atau pemuda untuk berbicara tentang permasalahan  masyarakat hari ini.”

Reporter: Syakirun Ni’am

Redaktur: Lugas Subarkah