Lpmarena.com, Berawal dari dinamika teater di Sumatera Barat khususnya Minangkabau, Dede Pramoyoza, dosen Seni Teater ISI Padang mengawali pembicaraannya dalam diskusi bertajuk Minangkabau Dalam Dua Gaya Teater: Wisran Hadi dan Yusril Katil. Acara diselenggarakan oleh portal www.tarbijahislamijah.com bekerja sama dengan Surau Institute Yogyakarta, Teater Eska, dan Ikatan Mahasiswa Minang Yogyakarta, di Gelanggang Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Selasa (17/5).
Dede Pramoyoza menilai, tuduhan pemerintah pusat atas tuntutan otonomi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat tahun 1958 sebagai gerakan pemberontakan, tidak mampu menghentikan sikap kritis dan perlawanan masyarakat. Masyarakat, menurutnya, tidak menganggap gerakan tersebut sebagai pemberontakan, tetapi murni tuntutan yang wajar. Tuntutan seperti ini beralih bentuk dan berlanjut di atas panggung-panggung teater karya pegiat teater Minangkabau dan menawarkan gaya alternatif dalam seni teater.
Wayang Padang (2006) karya Wisran Hadi menampilkan orang-orangan sawah berkepala balon sebagai lakon yang digerakkan oleh dalang. Panggung teater dilengkapi batang-batang pisang, ditata seumpama petak-petak sawah.
Satu per satu orang-orangan sawah bersuara, lantas berdialog ke sesama penghuni petak-petak sawah. Mereka membincang posisi masing-masing, mempertanyakan adanya kemungkinan, “Apa mungkin kita membuat gerakan sendiri tanpa digerakkan oleh dalang?” tanya salah satu dari orang-orang sawah tersebut.
Lama-kelamaan petak-petak sawah berkembang menjadi imaji tentang kondisi kampuang, negeri, dan bangsa. “Wisran memunculkan metafora-metafora dari dialog orang-orang sawah,” kata Dede Pramoyoza. Bagi Dede, Wayang Padang menggulirkan berbagai isu lewat dialog metaforis, mewakili beragam wacana tentang carut-marut dunia politik, otonomi daerah, undang-undang, partai, dunia hukum, dan kesengsaraan rakyat kecil. Ungkapan “kita sedang didangi” menjadi perbincangan politik yang konkret tentang politik seperti apa yang aktor (orang-orang sawah) bicarakan.
Nuansa kritik seperti ini juga dapat dijumpai dalam Tangga (2016) karya-sutradara Yusril Katil, generasi teater Sumatera Barat pasca-Wisran. Sebagaimana judulnya, tangga tampak sebagai pemandangan selama pertunjukan berlangsung.
“Sepanjang pertunjukan posisi tangga berubah. Melalui tangga, Yusril membangun imaji jalan, rel kereta, radio serta menggambarkan pembangunan menara di atas kesakitan orang lain,”kata Dede.
Meskipun berbeda dalam gaya dan zaman, menurut Dede, Wisran Hadi dan Yusril katil memiliki kesamaan, kedua-duanya senang menggunakan perumpaan, senang memakai metafora.
Reporter: Khairul Amri
Redaktur: Isma Swastiningrum