Home - Merespon Arus Globalisasi dalam Pameran “Paling Timur”

Merespon Arus Globalisasi dalam Pameran “Paling Timur”

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com,  Perupa sekaligus imam Masjid UIN Sunan Kalijaga, Robert Nasrullah menyuarakan  keprihatinanya tentang eksistensi budaya Timur di tengah  arus globalisasi  dalam pameran tunggal seni rupa bertajuk Paling Timur. Pameran  yang berlangsung dari 6-26 Juni 2016 tersebut digelar di selasar masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Gaung globalisasi yang sudah mulai terasa sejak abad ke-20, membuat eksistensi budaya daerah terdistorsi oleh budaya barat. Fenomena ini menyebabkan berbagai  budaya daerah,  khususnya Indonesia  sedikit demi sedikit mengalami pengikisan.

Tidur Panjang

Tidur Panjang

“Ada beberapa karya, yang sengaja saya ciptakan untuk menyentil kesadaran pengunjung akan kondisi bangsa Indonesia, salah satunya adalah karya saya yang berjudul: Kita Tidur Panjang,” papar Robert sembari menunjuk pada dua bilah guling  berbalut kain kafan yang disusun memanjang dari atas ke bawah dengan ukuran panjang  11 meter. “Sengaja saya beri space yang banyak untuk karya saya yang  ini, sebanyak hasil kekayaan nusantara yang telah diangkut oleh para imperialis, dan kita masih tinggal diam,” lanjutnya.

Perempuan Timur

Perempuan Timur

Selain itu, juga ada karya lukis yang menggambarkan seorang perempuan memakai hijab berwarna hijau dengan garis-garis simetris putih yang sedikit menutupi wajahnya. Lukisan ini berjudul Perempuan Timur. Menurut Robert, sosok Perempuan Timur merupakan sosok yang sangat berperan dalam menentukan kemajuan bangsa-bangsa timur, khususnya Indonesia. Melihat kondisi arus konsumerisme yang mana sasaran produknya paling banyak ditujukan kepada kaum perempuan. Ia menegaskaskan bahwa, pada hakikatnya manusia adalah subjek yang mencipta, Perempuan Timur tidak sekedar konsumtif, tetapi juga mencipta.

Jpeg

Mencari Cahaya

Lebih jauh, Robert juga melahirkan karya berjudul Mencari Cahaya untuk menanggapi keadaan sosial budaya timur di tengah dinamika budaya global yang ada. “Judulnya memang mencari cahaya, tapi sebenarnya cahaya tidak perlu dicari, karena cahaya paling setia dengan kita. Hanya saja kita terhalang dalam melihat cahaya karena ditutupi oleh kerakusan,”paparnya.

Bertalitan dengan hal itu, ia menawarkan alternatif dengan sebuah optimisasi bahwa kebudayaan timur adalah kebudayaan yang harmonis dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Kemudian, kebudayaan timur juga bisa menglobal, karena pada akhirnya akan ada titik di mana masyarakat dunia bosan dengan kebudayaan yang hedonis.

Reporter: Afin Nur Fariha

Redaktur: Isma Swastiningrum