Gempa Bumi
Dipersembahkan; Pidie Jaya Aceh
Pagi itu pelupuk langit menangis.
Terbawa angin naik ke gunung.
Para tangan-tangan penuh dosa menengadah di atas bau jasad yang bersimbah darah.
Berkata-kata tanpa daya, apalah arti seorang manusia.
Hujan yang menyambangi pelupuk langit pagi itu semakin menggoreskan duka di balik dada.
Tidak dibayangkan sebelumnya oleh angan manusia yang serba dangkal.
Aku menangis dengan basah yang menyiksaku.
Melihat puing-puing yang bergelimpangan.
Perih.
Masih dapat kurasakan celoteh hari-hari yang sudah lepas.
Tentang tanah kita yang penuh bahagia.
Dengan siluet keindahan yang ada.
Di atas puing penderitaan, bersyukurlah kami yang masih dapat menyajikan puisi untuk diri kami sendiri.
Walaupun dengan darah yang terus mengalir air mata.
Walaupun perih dan air mata terus menyambangi.
Banguntapan, 2016
Menggunduli Hutan
Aku mendengar burung yang sangat cerewet.
Menyampaikan pesan kepada penyair yang tidak pernah lelah menyampaikan doa.
Gajah-gajah besar berdatangan menembus gelapnya tempat yang sebenarnya sunyi.
Dengan kakinya menggilas bumi.
Gerombolan senyum-senyum sinis keluar dari kupingnya.
Membawa properti penuh ketajaman.
Membabat habis tanpa sisa begitu mudahnya.
Penyair, berilah pelajaran kepada mereka dengan puisimu yang konon laksana lebih runcing dari ujung jarum.
Tapi apa?
Petuah tidak cukup untuk mengenyahkan dari kehijauan ini.
Burung menangis, kepada siapa lagi ia akan mengadu.
Ia tidak mengerti dan pergi dengan kibasan tangisnya.
Banguntapan, 2016
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Sedang menimba ilmu di SMA N 2 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Pelajar yang suka membaca dan menulis cerpen. Alumni bengkel bahasa dan sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Salah satu murid penyair Jogja, Evi Idawati. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.
Ilustrasi: blog.binadarma.ac.id