Home SASTRACERPEN Secangkir Kopi dan Masa Kecil

Secangkir Kopi dan Masa Kecil

by lpm_arena

Oleh: Khaerul Muawan (Awan)*

Kuanggap malam ini biasa saja. Aku bukan seorang penyair yang selalu menjelaskan malam dengan sajak-sajaknya. Kata-kata indah penuh pesona. Terkadang syair-syair itu hanya untuk bersenang-senang, terkadang juga untuk seseorang.

Aku duduk bersama kawan-kawanku: Ilo, Ucok, dan Fikri. Kukecup bibir cangkir kopi sembari menghirup aromanya. Tiba-tiba, sepotong memori dari masa kecil berselancar di kepalaku.

***

Aku tumbuh di keluarga yang taat agama, juga  lingkungan yang selalu mendukung untuk beribadah, sebab masjid adalah salah satu tetanggaku yang selalu setia mengundang tetangga lain untuk mencicipi hidangan iman dan saweran pahala. Setiap malam ayahku duduk di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan sebungkus rokok yang sama persis dengan rokok yang kuselipkan di jariku saat ini. Terkadang aku iseng mencicipi kopinya ketika ia sedang asik berbincang dengan temannya. Terkadang juga aku iseng menjilati bekas puntung rokoknya, sekedar penasaran dengan rasanya. Setiap kali kucicipi selalu saja terasa manis. Pikirku, barangkali rokok itu terbuat dari gula. Sekarang aku tidak iseng-iseng lagi mencicipi keduanya. Aku telah menjadi ayahku yang dulu.

Sempat teringat juga ketika aku meminta kopi yang sama dengan ayahku. Ibuku melarang, karena menurutnya kopi adalah minuman orang dewasa. Anak-anak yang mencicipinya akan sakit perut.

“Tidak boleh anak-anak minum kopi. Nanti sakit perutnya,” ucap ibuku di masa itu.

Sebagai gantinya, ibuku membuatkan segelas susu. Aku duduk dengan ayahku, mencoba mengikuti gayanya. Jika sudah bosan, aku duduk dipangkuannya sembari menarik-narik jenggotnya. Jika sudah bosan, aku berbaring dipangkuannya hingga terlelap. Lalu ketika aku membuka mata, tiba-tiba saja mentari menyapa.

“Mendaki gunung lewati lembah” adalah sepenggal lagu dari film Ninja Hatori yang tenar di masa itu. Aku tidak hanya menikmati gunung dan lembah lewat lagu, melainkan merasakannya langsung ketika berkunjung ke rumah orangtua ayahku. Kuda merupakan kendaraan utama menuju kebun yang terletak di atas gunung. Biasanya, aku ikut bersama ayahku kala ia hendak memetik buah dan sayuran. Ketika sudah tiba di lokasi ayahku pergi menyelesaikan misinya, sedangkan aku duduk menunggu di atas kuda. Jika ia hilang dari pandangan, segera aku berteriak memanggilnya. Cukup lambaian tangan dan balasan suaranya menjadi penenang sesaat. Jika sudah bosan, aku segera berteriak ingin pulang. Hal itu juga yang membuatnya malas mengajakku ke kebun.

Selain menikmati kenyataan dari sepenggal lagu itu, sungai yang airnya begitu jernih juga merupakan salah satu destinasi liburan yang menyenangkan. Lokasinya tidak jauh dari rumah. Biasanya, aku ke sana bersama sepupu dan teman-teman yang tinggal di wilayah itu. Hampir sepanjang hari kami menghabiskan waktu di sungai. Bahkan pernah kami menelusuri sepanjang sungai. Sempat kami temukan tempat yang paling menyenangkan untuk berenang. Batang pohon tua yang sudah terseret arus kami jadikan sebagai perahu. Jika sudah terbawa jauh, kami tarik kembali, lalu menaikinya lagi.

Kami baru pulang ketika senja mulai menyatakan dirinya pada para penyair. Maklum, orangtua sering bercerita pada anak-anaknya tentang hantu agar mereka tidak berlebihan dan mengingat waktu saat bermain. Kami segera berlari pulang sebelum gelap menjelang.

Petang berganti malam. Para penyair sudah memulai menulis sajaknya. Ibu dan tante-tanteku masih sibuk membereskan dapur selepas makan. Tidak ada yang bisa dikerjakan oleh para suami selain duduk di teras rumah dengan kopi dan rokok sembari bercerita tentang kebun, harga sayuran dan buah-buahan, hingga peristiwa yang dialami, baik di kebun maupun di pasar. Anak kecil tentu tidak boleh ikut campur urusan orang tua karena dianggap belum paham. Sebenarnya, aku mempertanyakan itu dari dulu. Kenapa anak kecil tidak boleh ikut campur pembicaraan orang tua? Apakah benar karena anak kecil belum bisa paham atau karena saat itu para orang tua tidak ingin memperlihatkan keburukan mereka dalam bercerita, baik perihal tuturnya yang sering dianggap sebagai bahasa kotor maupun isi ceritanya dianggap sebagai rencana jahat? Atau bisa juga kesenangan mereka tidak ingin diganggu oleh anak kecil. Anak kecil tidak tahu toleransi jika keinginannya tidak terpenuhi. Seorang ayah juga kadang bosan dengan tingkah anak kecil yang seperti itu, lalu menyuruh istrinya untuk mengambil alih.

“Bu! Ala i ana’mu e. Mappakkali-ali bawang.” (Bu! Ambil anakmu. Mengganggu saja.)

Kurang lebih seperti itu kalimat yang sering kudengar di masa kecil.  Anak seolah menjadi bola yang dioper sana-sini. Belum lagi kalimat “ambil anakmu” yang menandakan bahwa seolah-olah yang dioper itu bukan anaknya. Ini bukan sebuah kesalahan mutlak orangtua. Bisa jadi anak kecil benar-benar mengacaukan kesenangan orangtua sehingga ia berucap dengan emosi.

Selain kalimat yang kuanggap kasar itu, ada juga kalimat yang baik dari mereka ketika melakukan proses pengambil-alihan anak.

“Pergi meki’ sama ibu dulu, nak. Mau ke kebun dulu bapak,” kurang lebih seperti itu yang pernah kudengar dari bibir ayahku.

Jika aku tetap bersikeras ingin ikut, maka akan terucap kalimat-kalimat ‘hantu’ setelah kalimat itu.

“Tidak boleh ikut. Banyak ular sekarang di kebun,”

Kalimat hantu itu hanya sepenggal saja. Belum lagi kalimat “ada kemarin orang digigit ular” agar anak kecil bisa percaya, lalu mengurungkan niatnya. Jika terjadi pertentangan antara keinginan dengan ketakutan, maka terkadang anak kecil akan menampakkan wajah cemberut. Biasanya, ayahku mengeluarkan kata-kata janji. Semakin besar janjinya, semakin besar pula tingkat keberhasilan membujuk anaknya. Tapi di sisi lain, semakin besar janjinya, semakin sering pula anak menagih janjinya.

Menjadi orangtua tidaklah semudah penyair yang membuat sajak. Kesulitan yang dialami seorang ibu tidak hanya ketika ia mengandung anaknya selama sembilan bulan, melainkan yang paling sulit adalah memanusiakan anaknya. Sekalipun terkadang sepasang orangtua itu bekerjasama, belum tentu hasilnya akan sama. Bahkan parahnya, para orangtua kurang menyadari untuk memanusiakan anaknya. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa tugas itu adalah tugas para guru. Yang beranggapan demikian kurang menyadari bahwa pendidikan yang paling dasar dan akan terus dikenang hingga usia usai adalah pendidikan dari orangtua.

Menjadi orangtua juga merupakan seni, yang mana seorang seniman tidaklah berarti tanpa sebuah karya seni. Karya seni bukan hanya dibuat dari proses yang terjadi di kasur yang juga merupakan hal yang disenangi manusia, bahkan itu hanya proses awal, melainkan ketika seorang anak sudah terlahir hingga anak itu pandai melahirkan anak. Hebatnya, ada juga sebagian anak yang terus meminta nasihat dari orangtuanya, sekalipun anak itu juga seorang penasihat. Jika kita temukan anak seperti itu, maka orangtuanya adalah guru yang paling berhasil menjalankan amanah dan bisa jadi Laporan Pertanggung Jawabannya sebagai orangtua akan diterima oleh Tuhan.

Selain itu, menjadi orangtua juga merupakan latihan berinteraksi dan mengolah emosi. Tidak semua orang dewasa akan berpikiran dewasa. Orang yang seperti itu terkadang harus dihadapi seperti dengan cara menghadapi seorang anak, tapi tidak dengan cara kekanak-kanakan. Misalnya, membujuk, dan ini juga merupakan seni berbicara. Ketika menghadapi orang yang keras kepala tentu emosi yang akan bermain. Wajar saja, hal ini adalah manusiawi. Tapi, apakah kita akan dipermainkan oleh emosi atau kita yang memainkan (mengendalikan) emosi. Seperti pemain musik yang mengatur nada hingga terdengar indah dan mempesona. Siapa yang tidak terpesona jika suara berirama sudah menjadi nyanyian penyejuk jiwa?

Kurasa semua itu tidaklah semudah yang terucap. Aku belum menjadi orangtua, hanya seperti orangtua. Setiap aku pulang ke rumah berjumpa dengan kedua orangtua, kubuat mereka tertawa dengan kata maupun ekspresi wajah. Terkadang ada tingkahku yang membuat mereka marah, tapi tidak sampai menjadi benci, apalagi dendam. Bahkan mungkin sekalipun Gedung Putih kuledakkan mereka tidak akan menghapus namaku dari Kartu Keluarga. Pria yang berjenggot dan sering memakai jubah itu adalah ayahku sekaligus temanku. Kutempatkan posisiku sebagai seorang anak ketika ia menempatkan diri sebagai orangtua. Aku menjadi temannya ketika kami berdiskusi sembari menikmati  kopi dan kepulan asap. Ada yang iri karena mereka belum bisa duduk berdampingan dengan ayahnya sembari menikmati rokok bersama. Ada juga yang mencela karena menganggap itu melenceng dari tata krama.

Sekarang aku bahagia memiliki, guru, dosen, bahkan keduanya kuanggap profesor yang berhasil mendidik dengan caranya yang unik. Satu per satu memori itu kuingat, lalu kuabadikan sebagai tuntunan ketika giliranku menjadi mereka. Meski ada kesalahan, tapi tidak kupersalahkan. Bahkan kujadikan sebagai perbaikan sebelum yang kuimpikan menjadi kenyataan.

 

Yogyakarta, 17 Februari 2017

 

*Penulis adalah mahasiswa yang berani pakai baju SMA ke kampus.

Ilustrasi:www.idseducation.com