Elegi Perbatasan
Kita tak pernah benar-benar pergi
melangkah, tangan-tangan tengadah
berdiam, suara riuh memanggil dari jauh
gaung pesona, jari-jari getir bergemuruh
langit setia mengirimkan pecahan pelangi
rintih-rintih hujan, di tanah menjadi luka
darahnya disesap akar-akar pohon
tumbuh untuk nafas kita
Di perbatasan pula
daun-daun itu tanggal
menyimpan keringat kita
dikirim tulus ke lubuk sungai
mengalir jauh dari negeri ke negeri
kenapa tak kita hanyutkan tubuh ini
melintasi lumut dan ludah di ujung muara
bukankah di laut kita akan berjumpa?
Kita tak pernah benar-benar pergi
palung takdir sembunyi di hati kita
matamu basah oleh peluh tiang-tiang barak
angin liar tergenang pada wajah bocah-bocah
tanganmu melambai, mereka melangkah
bibirmu gemetar, mereka berlari
ataukah sembunyi?
Elegi abadi
di perbatasan
ladang ladam meriam
[Turki, 2013-2016]
Â
Cermin Jiwa
        —Jalaluddin Rumi
Setelah baca!
dengarkan! bisikmu
Baca
dengarkan
baca dengarkan
langit akan terbuka
malam-malam siaga
menyingkap rahasia
Baca
dengarkan
baca dengarkan
lahir samudera diam
Di antara ramai pasar
buih-buih samudera
jerit seruling pesta
di tubuh kita
[Konya, 2016]
Note:
Baca, kata pertama dalam kitab Alquran;
Dengarkan, kata pembuka dalam kitab Masnawi karya Jalaluddin Rumi.
Dergah
Pada sebuah dergah, kita punya satu rumah
hati dan malam yang luas, langit terbuka embun lunas
kepada doa-doa mengalir, bibir basah berlumur zikir
kita saling merangkul diri, kembali di kedalaman ruhani
mencecap madu-madu kesunyian, jalan cinta di taman
di ujung sana Dia menunggu, kita menari biru syahdu
mengepakkan sayap-sayap putih, membisikkan kasih
dari seorang Nabi, namanya kita sebut melampaui kali
mengalir dalam darah, menyemai ke pucuk nafas istirah
Pada sebuah dergah, kita punya satu rumah
aku sebentar singgah, engkau jauh menujah
[Konya, Desember 2016]
Note:
Dergah, tempat zikir untuk kelompok tarikat
Salik
Â
Wahai…
di manakah engkau
malam-malam musim dingin
saat angin menyilet nyeri kulitku?
Aku tinggal bersama Shemsi Tebriz, bisikmu
Makam berlumur misteri, di sebuah masjid
tasbih melingkar, zikir tak henti mengalir
menjadi sungai anggur
pada kesunyian
pada candumu
Ke Shemsi Tabriz, aku menziarahimu
engkau yang telah pergi, mengalir jauh
ke taman-taman mawar, meniti tali-tali tasbih
yang samar di mataku
Â
Wahai…
bagimu, rumah adalah penjara
Â
 [Konya, 2016]
Nomaden
Â
Adalah mampir
siapa tak hendak pulang?
(Konya, 2017)
Bernando J. Sujibto. Penyair alumni PP. Annuqayah, Sumenep dan Sosiologi UIN Sunan Kalijaga. Studi sosiologi dan sastra di Turki. Silahkan ditunggu buku antologi puisi perjalanannya berjudul Rumbalara Perjalanan (April, 2017).
Ilustrasi:Â https://ae01.alicdn.com