Home BERITA Sanggar Nuun Adaptasi Novel Putu Wijaya dengan Membawa Isu yang Variatif

Sanggar Nuun Adaptasi Novel Putu Wijaya dengan Membawa Isu yang Variatif

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.comTeater Sanggar Nuun menggelar pentas dengan judul “Bila Malam Bertambah Malam” yang bertempat di parkiran Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Jum’at (07/06). Pementasan ini mengadaptasi dari novel Putu Wijaya tahun 2003 dengan judul yang sama.

Naskah adaptasi ini dipentaskan dengan merubah konteks latar yang berbeda dari karya aslinya. Awalnya naskah Putu berlatar di Bali dengan membawa isu problematika sistem kasta dalam masyarakat. Namun, pentas malam itu diubah ke dalam latar serta kondisi kultural khas masyarakat Makassar.

“Nah, itu perubahan logika sebenarnya, kami coba mengganti logika kasta yang sifatnya Hindu dan Budha ke Islam yang kita tarik akhirnya ke strata sosial. Adanya si kaya dan si miskin,” jelas Syahrul Banin, sutradara dari pentas ini.

Tak cukup dengan isu strata sosial, bagi Syahrul pentas ini lebih bermaksud untuk mengambil isu yang luas. Ia meninjau seperti permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hubungan gelap, pelepasan tanggung jawab terhadap anak, dan kejelekan sifat manusia lainnya.

Permasalahan berlapis itu tercermin dalam dialog para lakon. Salah satunya dialog Pak RT yang mengutip peribahasa Makassar, “Lele Bulu Tallele Kabiasang” artinya berubah bulu, tidak akan berubah kebiasaan. Penceritaan sifat buruk lakon yang ditunjukan bertahap dalam pentas, menyiratkan bahwa keburukan tetap tidak bisa hilang dan pasti akan diketahui juga.

“Jadi banyak (isu) sebenarnya yang terjadi dalam naskah ini secara alur, makanya kita bisa menyaksikan ini di ending-nya,” jelas Syahrul.

Syahrul menjelaskan penggunaan isu yang variatif ini bukan karena penulisan naskah yang tak disengaja. Namun, memang karena dimaksudkan agar memaksa penonton, setelah pulang dari pementasan untuk lebih bebas dalam melihat setiap hal tersembunyi yang terjadi pada masyarakat.

Senada dengan sutradara, Muhammad Alif Fanani sebagai lakon Pak Karman, berkomentar bahwa pembawaan banyak isu ini menggambarkan beragam kehidupan masyarakat yang tidak mungkin selalu berjalan normal.

“Bagaimana kita merefleksikan ke kehidupan sehari-hari. Tidak ada problem dalam kehidupan kita yang tunggal, pasti dalam kehidupan kita banyak problem yang terus berdatangan,” jelas Fanani.

Pementasan ini merupakan Stupen (studi pentas) yang menjadi kegiatan penutup dari Kemah Seni Sanggar Nuun. Kemah Seni sendiri merupakan kegiatan pembelajaran rutinan Sanggar Nuun yang digelar bersamaan saat penerimaan anggota baru. Stupen kali ini dikerjakan oleh para anggota baru yang pada akhir pementasan diperkenalkan sebagai “Wajah Baru Sanggar Nuun”.

Reporter Ghulam Ribath  | Redaktur Maria Al-Zahra |  Fotografer Rizqina Aida