Lpmarena.com– Jaringan Masyarakat Peduli Iklim (JAMPIKLIM) bersama berbagai lembaga masyarakat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia dengan aksi diam pada Rabu (05/06). Di depan Gedung Agung Yogyakarta, massa aksi mendesak permasalahan sampah diselesaikan sampai tuntas.
Ali Rahman, wakil koordinator Jampiklim, menuturkan setelah Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan ditutup pada April silam, masyarakat kelimpungan terkait cara mengolah sampah rumahan. Hal itu disebabkan karena tidak pernah ada sosialisasi dari pemerintah.
“Masyarakat yang selama hidupnya tidak pernah diedukasi yang baik soal sampah, lalu hari ini tiba-tiba suruh buang sendiri dan mereka diberikan denda. Menurutku itu nggak adil,” papar Ali.
Bahkan menurutnya, pemerintah tidak semestinya memberikan sanksi denda bagi masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Hal itu karena sebelumnya tidak pernah ada sosialisasi dari pemerintah terhadap masyarakat terkait pengolahan sampah yang baik.
Senada dengan itu Bio Andaru, perwakilan komunitas Climate Ranger mengatakan pemerintah harus segera memberi regulasi kebijakan yang jelas agar seluruh masyarakat dapat mengolah sampah dengan tepat.
“Sebenarnya sudah banyak juga masyarakat yang mulai mengolah sampah. Menurutku sudah cukup baik, tapi itukan nggak semua masyarakat mampu mengolah sampah dengan baik,” ungkapnya kepada ARENA.
Ali menjelaskan perubahan iklim dan cuaca panas hari ini akibat masyarakat yang tidak menjaga lingkungan hidupnya. Ada dua faktor yang memberikan sumbangan terhadap kerusakan lingkungan. Pertama, kegiatan industri dan kedua, pengolahan sampah yang tidak tepat.
“Misalnya soal industri yang terlalu over memberi sumbangan pemanasan, emisi dan lain-lain seperti itu. Kita yang tidak punya edukasi soal sampah akhirnya kita ngawur buang sampah dan akhirnya pengelolaan soal sampah juga terbengkalai,” ucapnya.
Lebih jauh, Ali berpendapat sampah yang tidak terkelola dengan baik merusak bumi secara perlahan. Jangan sampai hal yang terjadi di Papua, Gunung Kidul dan Merapi terjadi di daerah-daerah lainnya. Masyarakat kehilangan ruang hidupnya dan alam dieksploitasi habis-habisan.
“Kita ingin menyampaikan sebuah gagasan atau persoalan kita melalui gambar yang bertuliskan satu bumi bergenerasi”
Peringatan ini diisi dengan aksi diam, pameran poster dan lukisan yang berisi suara-suara perlawanan atas rezim yang eksploitatif terhadap alam. Diakhiri dengan pernyataan sikap Jampiklim dalam merespon permasalahan lingkungan.
“Jogja itu sudah sangat familiar dengan kebudayaan dan menurutku dengan menggunakan metode kebudayaan itu isu yang pengen kita angkat lebih ramah di tengah-tengah masyarakat,” pungkas Bio.
Reporter Ridwan Maulana | Redaktur Maria Al-Zahra