Lpmarena.com–Sekolah Jurnalisme S. K. Trimurti adakan bedah buku ‘Runtuh Dari Dalam’ di UII pada Senin (4/11). Nanang Krisdinanto, penulis buku, berpendapat posisi jurnalis mudah terombang-ambing karena batas api perusahaan pers sangat kabur.
“Dia terperangkap pada gagasan antara kebebasan pers dengan hukum pasar,” ujar Nanang.
Sayangnya, lanjut Nanang, perlawanan melawan hukum pasar menjadi hal yang sulit bagi jurnalis. Dalam teori Pierre Bourdieu, jurnalis membutuhkan habitus jurnalis yang spesifik dan modal.
“Habitus itu didefinisikan sebagai skema communism tertentu yang khas. Jadi, misalnya dalam konteks Indonesia adalah habitus jurnalistik teman-teman AJI dengan teman-teman PWI berbeda. Jadi yang punya cara pandang dari teman-teman PWI dan AJI itu berbeda dilihat dari perilaku sehari-hari,” jelas Nanang.
Masduki, Guru Besar Ilmu Komunikasi UII menerangkan pelanggaran batas api itu justru dimainkan oleh pemilik media. Permasalahan ini belum dapat terselesaikan karena adanya intervensi politik dan profit economic interest.
“Jadi mengapa kita mempersoalkan ownership, kepemilikan, dan terkonsentrasi bahkan kemudian dibawa ke politik-politik praktis itu karena kita ingin merawat firewall. Bahwa jurnalis tidak boleh merangkap jadi politisi, jurnalis tidak boleh sekaligus menjadi pemilik partai,” ungkap Masduki.
Masduki menjelaskan ownership, kepemilikan adalah salah satu hal yang berpengaruh dalam redaksi. Jurnalis sendiri adalah manusia biasa yang dipengaruhi oleh faktor di luar dirinya. Contoh pengaruh eksternal jurnalis adalah status kerja dan gaji yang dia terima. Pengaruh-pengaruh seperti itu membuat seorang jurnalis mau menulis berita atau tidak.
Nugroho Nurcahyo, pimpinan Redaksi Harian Jogja menuturkan hal selaras dengan Masduki. Bahwasanya intervensi politik juga kerap dilakukan pada media-media lokal yang masih bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Otomatis pemberitaan di media lokal cenderung mendukung pemerintah daerah.
“Kalau bisa dikatakan, di tempat kami saja tujuh puluh lima persen itu dari APBD,” ujar Nugroho. ia kemudian menyayangkan hilangnya fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi karena keberpihakan pada pengiklan, pemilik modal atau APBD.
Masduki melihat buku Runtuh Dari Dalam menjadi refleksi agar memandang jurnalis sebagai manusia biasa yang tidak bebas nilai. jurnalis adalah adalah manusia biasa yang dipengaruhi oleh habitus mereka, status kerja, gaji yang diterima dan perusahaan persnya.
“Adanya fenomena ini saya kira kita masih optimis masih banyak jurnalis yang waras. InsyaAllah firewall ini masih bisa kita jaga walaupun dengan berdarah-darah,” pungkas Masduki.
Reporter Fathia Fajrin Dewantara (magang) | Redaktur Maria Al-Zahra