Home MEMOAR 50 Tahun Berkelahi dengan Rezim dan Hegemoni Media Mainstream, Panjang Umur Arena!

50 Tahun Berkelahi dengan Rezim dan Hegemoni Media Mainstream, Panjang Umur Arena!

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Lugas Subarkah*

Lpmarena.com- Bisnis media memang masih hidup di Indonesia, tapi jurnalisme, saya khawatir sudah mati. Para jurnalis yang membunuhnya. Kalimat ini disampaikan Nanang Krisdinanto, penulis buku ‘Runtuh Dari Dalam: Serangan Komersialisasi Terhadap Pagar Api Jurnalistik di Indonesia’ dalam salah satu diskusi yang diselenggarakan AJI Yogyakarta, akhir 2024 lalu.

Intervensi ugal-ugalan divisi bisnis pada ruang redaksi dalam sebuah perusahaan media semakin terasa beberapa tahun belakangan. Sebagai jurnalis yang bekerja di salah satu perusahaan media mainstream lokal selama hampir enam tahun, fenomena ini sudah sangat lumrah saya temukan di lingkungan saya.

Jurnalis yang harus mengerjakan liputan iklan, jurnalis yang mendapat komisi ketika memperoleh kerjasama iklan, divisi redaksi yang diberi target pendapatan seperti halnya divisi bisnis, pagar api dan komposisi berita-iklan yang sudah tidak lagi jelas, imbauan redaksi untuk tidak bersikap terlalu kritis dalam pemberitaan, semuanya sudah saya temui di kantor saya sendiri.

Tahun politik menjadi masa panen bagi bisnis media mainstream. Di kantor saya, jurnalis diminta turut membantu dapur perusahaan dengan mendekati politisi yang akan berkontestasi, untuk mendapatkan jatah belanja iklan dari mereka.

Pemberitaan yang bernada pro pemerintah juga menjadi senjata perusahaan media untuk mengambil hati instansi pemerintah. Dengan banyaknya berita positif, instansi-instansi itu diharapkan tertarik untuk mengalokasikan anggaran iklan media.

Hal ini saya rasa tidak hanya terjadi di perusahaan media tempat saya bekerja, melainkan hampir di semua media mainstream. Dari praktek-praktek semacam ini lah dapur media-media mainstream itu terus mengepul, membiayai operasional dan menggaji pekerjanya.

Walau banyak media mainstream yang memiliki lebih dari satu lini bisnis, sebut saja Google AdSense, Youtube, percetakan, event organizer, namun iklan masih mendominasi pendapatan perusahaan media. Lebih dari separuh pendapatan media mainstream masih dari iklan baik dari pemerintah maupun swasta.

Situasi ini tercipta tidak lepas dari perusahaan media yang berada di bawah kuasa pemodal dan berorientasi profit. Dengan model bisnis media konvensional, untuk mencapai profit yang diharapkan, perusahaan media harus mendorong jauh kerja-kerja jurnalisme melampaui bentuk idealnya dan fungsi-fungsinya.

Di sisi lain, kuasa pemodal juga bermain dalam menentukan arah pemberitaan yang cenderung menyajikan berita-berita clickbait. Hal ini terutama pada media digital, dimana mereka berorientasi pada traffic website. Hal ini seringkali membuat berita yang diproduksi mengacu pada apa yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.

Nilai berita ditentukan bukan dari seberapa penting informasi untuk pembaca, tapi seberapa viral informasi tersebut. Tak heran dunia maya saat ini dipenuhi berita sampah. Banyak berita yang tidak perlu dibaca, tapi diproduksi oleh jurnalis yang mengejar traffic

(Diskusi informal Arena di Bjong Ngopi Nologaten)

50 tahun LPM Arena berada dalam situasi media massa yang seperti ini. Tidak lagi di tengah tekanan rezim Soeharto, tapi juga tidak di masa kejayaan media massa. ‘You met me at the very strange time on my life’ kata Tyler Burden kepada Helena di ending film Fight Club, scene sebelum mereka berdua menyaksikan gedung-gedung runtuh dan dimulainya lagu Where is My Mind dari The Pixies.

Dalam situasi ini, keberadaan media alternatif menjadi suar di tengah kegelapan. Media yang masih bisa mendanai dirinya sendiri di luar kekuasaan pemodal memiliki keleluasaan yang lebih besar dalam menerapkan fungsi-fungsi jurnalistik sebagaimana mestinya.

LPM Arena tentu merupakan salah satu media alternatif yang menjadi suar dalam kegelapan itu. Dengan masih mendiskusikan Bill Kovach, Andreas Harsono, Pramoedya, Tan Malaka, Karl Marx, Foucault, analisis diri dan analisis sosial, jurnalis LPM Arena masih memiliki cukup kewarasan untuk menjalankan kerja jurnalistik yang sehat.

Dengan model pembiayaan dari kampus dan ikatan kerja volunteerism-kultural, pers mahasiswa lebih leluasa untuk mengorganisir diri dan memberi kontrol pada kekuasaan. Tulisan kritis dan tajam dari pers mahasiswa menjadi nilai lebih di tengah belantara berita media mainstream yang membebek pada pemodal dan profit oriented.

Sayangnya, tidak bisa dipungkiri sebagai lembaga yang dikelola oleh mahasiswa, ia tetap memiliki banyak keterbatasan. Durasi masa kuliah yang kian dipercepat, tugas kuliah yang merepotkan dan tuntutan keluarga tentu saja tidak bisa diabaikan. Maka tidak adil jika tugas-tugas mulia jurnalisme hanya diserahkan pada punggung pers mahasiswa.

Bagi saya, LPM Arena merupakan taman bermain. Tempat leyeh-leyeh di siang hari saat jam kosong kuliah, genjrengan gitar di sore hari, main badminton di aula depan sekre, menghabiskan malam dengan diskusi atau rapat redaksi, masak-masak dan eksplorasi saat IHT atau Upgrading, romantisasi parkiran kampus dengan Malam Sastra. 

Kadang kelupaan ini lembaga pers atau rumah? Ciee rumah…

Ketika berada di dalamnya, saya tidak pernah berpikir mau membuat sesuatu yang heroik. Apa yang saya lakukan di LPM Arena semata untuk pelarian dari perkuliahan yang itu-itu saja. Walau, ya memang sesekali kita melakukan advokasi dan turun ke jalan. Membuat berita kritis dan menghasut mahasiswa lain. Saya harap anggota LPM Arena ke depan masih bisa merasakan dua sisi itu.

50 tahun LPM Arena berlangsung di bawah rezim Prabowo-Gibran. Program-program anti intelektual minim partisipasi publik terus direproduksi rezim. Sebut saja makan bergizi gratis, pembukaan 2 juta hektar hutan untuk sawit dan produksi pangan, transisi energi yang tidak berkeadilan, hilirisasi serampangan, menuntut kontrol yang kuat pula dari sisi masyarakat sipil.

Tata kelola pemerintahan dan kebijakan-kebijakan militeristik penuh gimmick ini menjadi tantangan besar yang harus dihadapi kawan-kawan pers mahasiswa hari ini, dan tentu saja jurnalis pada umumnya serta jaringan masyarakat sipil. Rezim semakin kuat dimana kekuasaan oligarki dan korporasi eksploitatif menjadi satu.

Di saat oligarki memperkuat soliditasnya, jaringan masyarakat sipil pun perlu saling merangkul. Pers mahasiswa, pers alternatif dan jurnalis yang masih berada di jalur independen perlu untuk terus saling mendukung menjadi kontrol kekuasaan. Setiap unsur memiliki keterbatasan, maka di situ lah ruang untuk kolaborasi.

*Anggota LPM Arena angkatan 2012. Sempat menjabat sebagai Pemimpin Redaksi dan Redaktur Online. Lebih banyak nongkrong daripada menulis selama di Arena | Foto Dokumentasi Pribadi