Oleh: Mujaeni*
Lpmarena.com- Aku berdiri di atas pot tanaman berbahan batu-bata yang berada di depan Pos Satpam kampus timur UIN Suka. Di hadapan bendera Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena dan calon anggota baru Arena, tangan kananku memegang erat toa. Aku berorasi menyoal peran penting mahasiswa bagi perubahan. Saat itu istilah agent of change yang ditujukan kepada mahasiswa terdengar dekat dan nyaring bagi mahasiswa baru sepertiku. Ini tak lepas dari tradisi ospek di UIN Suka, yang selalu diwarnai dengan orasi-orasi yang ada kata-kata “melawannya” itu.
Orasi ini merupakan bagian dari tahap seleksi bagi calon anggota baru LPM Arena. Entah sejak kapan, tahap seleksi semacam ini berlaku di Arena. Sebagai orang yang awalnya menganggap organisasi ini sebagai wadah jurnalis mahasiswa, aku sempat mempertanyakan relevansi antara orasi di ruang publik dengan aktivitas jurnalisme. Sialnya, tradisi ini aku teruskan saat menjabat sebagai pengurus.
Tanpa disadari, momen itu rupanya mengasah keberanianku dalam menjalankan kerja-kerja Arena, terutama saat berhadapan dengan narasumber yang berasal dari beragam latar belakang. Mulai dari birokrat kampus, lembaga swadaya masyarakat, hingga pejabat. Di kemudian hari, momen itu juga yang membuatku berani melakukan demonstrasi bersama mahasiswa lainnya ketika acara mahasiswa terancam batal lantaran dukungan anggaran dari kampus yang tak jelas.
Arena memang ruang yang tak hanya mengasah kemampuan sebagai jurnalis kampus. Namun, dia justru semacam kawah candradimuka yang mengasah kesadaran sosial dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Perihal kemampuan jurnalis seperti menulis, itu hanyalah jalan untuk menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran. Masyaallah.
Tidak heran, jika berbagai teori dari para tokoh Barat hingga Timur menjadi bacaan bagi penghuninya. Daftar agenda diskusi dan buku bacaan menempel di tembok yang penuh dengan corat-coret. Bahkan Arena punya kurikulum belajar bagi anggotanya. Di ruang yang lantainya berserakan koran itu, diskusi digelar nyaris setiap sore yang dipantik oleh pengurus secara bergantian. Kadang ada pula pemantik dari luar organisasi bahkan dosen UIN Suka. Arena memang tidak lepas dari diskusi ke diskusi, mulai soal pemikiran tokoh, sejarah, hingga membahas agenda organisasi. Semua harus didiskusikan!
Jika petugas student center mengusir dengan mematikan lampu karena melewati jam operasional, kombatan Arena biasanya bergeser ke sudut kampus lainnya untuk melanjutkan diskusi. Bila perlu diskusi pindah ke warkop murah dekat kampus. Harus murah, karena duit kami tuipisss.
Karena tradisi ini, mahasiswa luar menganggap Arena diisi oleh orang-orang yang serius. Ditambah lagi anggotanya kerap mengenakan celana robek dengan rambutnya gondrong dan berbadan kurus. Seorang kawan bilang Arena memang tempat bagus untuk diet. Selain karena tak punya banyak duit, juga seolah banyak hal yang harus dipikirkan persis sepertinya logonya.
Pemahaman ini memang tidak keliru, sebagai bagian dari organisasi itu aku mengamininya. Bahkan sebagai orang yang saat itu agak “gemuk”, aku merasa menjadi minoritas di organisasi itu. Untuk urusan rambut gondrong, belakangan aku punya hobi mencukur rambut yang salah satu konsumennya adalah anak Arena. Untuk urusan serius, kayaknya aku lebih banyak bercandanya, hahahaha.
Aku nyaris empat tahun aktif di Arena sejak 2014. Tugas akhir kuliahku justru lebih dulu rampung ketimbang majalah Arena yang digarap bersama pengurus lainnya. Tugas Arena rasanya memang lebih sukar dibanding menyelesaikan tugas-tugas dari kampus. Apalagi kala itu majalah semacam masterpiece di masa akhir kepengurusan, sehingga menyelesaikannya semacam ritual yang mesti ditunaikan.
Tidak heran, bila pengalaman liputanku yang cukup berkesan adalah saat menggarap majalah Arena edisi 2018 yang bertajuk “Sektor Informal”. Saat itu, aku menggarap soal penggusuran Pasar Kembang yang terletak di sebelah Stasiun Tugu. Singkatnya, PT KAI Daop 6 hendak merevitalisasi Stasiun Tugu dengan menggusur kios-kios di Pasar Kembang.
Betapa tak berkesan, karena liputan itulah aku sering bolak-balik mengikuti sidang gugatan di pengadilan yang dilayangkan oleh pedagang. Aku mewawancarai banyak pihak terkait penggusuran, mulai dari pedagang, pihak PT KAI Daop 6, pengacara pedagang, pengacara PT KAI Daop 6, Ombudsman, Pemerintah Kota Jogja, ahli hukum, anggota DPRD Kota Jogja, dan lainnya. Menjelang wisuda, liputan itu rampung dengan judul “Gejolak di Pasar Kembang”.
Aku tentu banyak berterima kasih kepada Arena karena menjadi bagian penting dalam membentukku saat ini. Bahkan, kerja-kerja yang aku lakukan setelah selesai dari kampus banyak ditopang oleh pengalaman selama ber-Arena. Jika ditanya tempat manakah yang sering menjadi ruang belajarku selama di UIN Suka, aku akan menjawabnya “Di ruang Arena yang berantakan itu.”
Kini tahun 2025, Arena menginjak usia 50 tahun. Semoga tetap menjadi ruang belajar bagi siapa saja yang berproses di dalamnya. Tetap kritis terhadap hal-hal yang melenceng dan menyuguhkan narasi alternatif.
*Bermukim di Arena sejak 2014 dan pernah ditugaskan menjadi Redaktur SLiLit 2017/2018. Menyukai hal-hal konyol dan tidak seserius seperti anggota Arena lainnya | Foto Dokumentasi Pribadi