Oleh: Ahmad Jamaludin*
Inilah Arena melatih kelenturan otot pikiran dan ketabahan mendengarkan bualan.
Lpmarena.com – Menjelang In House Training (IHT) ketiga di tahun 2012, kegelisahan menggerayangi kami semua. Bahkan untuk anggota yang kehidupan kuliahnya lagi lempeng-lempeng saja sepertiku, begitu masuk sekret dan mengikuti rapat, terpaksa ikut atau pura-pura ikut gelisah. Berbeda dengan klinik kesehatan mental, di sini kegelisahan menjadi bare minimum seorang dianggap waras. Jadilah aku ikut terpapar kegelisahan anggota tua soal para peserta magang yang dianggap belum cukup pantas menjadi anggota.
Sebenarnya, kegelisahan semacam ini sudah seperti tradisi tahunan. Meski parameter kepantasan menjadi anggota senantiasa berubah menyesuaikan kebutuhan organisasi, tetapi hampir bisa dipastikan parameternya selalu relatif melampaui kewajaran. Memang, menetapkan tujuan yang muluk adalah kesombongan orang muda, tapi itu juga yang menggerakkan kemajuan dunia. Kebetulan juga menggarap hal-hal yang merepotkan begini yang ternyata melahirkan ide-ide di luar nalar di Arena. Seperti petuah pelaut mabuk, kamu harus tersesat untuk menemukan hal-hal yang tak tercatat dalam peta.
(Seperti biasa, walau masih tampak sembab, Pak PU Taufiqurrahman senantiasa mengawal setiap gerakan)
Pertama, kami sadar untuk kemampuan menulis, peserta magang belum bisa diharapkan banyak. Menulis Straight News dengan S-P-O-K yang benar saja kadang mereka masih silap. Tapi tak apa, mereka cuma perlu lebih banyak waktu untuk menulis, daripada melamun atau menggaruk pantat. Kedua, hal yang lebih menggelisahkan kami adalah bagaimana membuat para calon anggota ini bisa mulus masuk ke kultur Arena. Kebetulan, kultur di sini lumayan melenceng dari kearifan budaya Indonesia seperti malas membaca, percaya pejabat, pasrah diupah rendah, eh.
Selama beberapa hari, kami pusing memikirkan mekanisme yang tepat untuk menyiasati masalah kultural itu. Sedikit pencerahan didapat setelah obrolan rapat yang zigzag dan spiral, yaitu kami mesti mengetahui motif para peserta magang bergabung ke Arena. Harapannya, dengan mengetahui motif, ke depan akan lebih mudah untuk merancang program yang sesuai dengan karakter mereka sekaligus memenuhi kebutuhan organisasi. Berkat pencerahan ini, bayangan Arena yang tata tentrem karta raharja sekilas terpampang di benak kami.
Sumber gagasan itu merembes dari sebagian kami yang belakangan kerap membaca Psikoanalisis. Jangan salah, sebelum persoalan kesehatan mental jadi obrolan waktu senggang seperti sekarang, waktu itu para anggota Arena sudah tiga kali sehari membahasnya. Mereka memang seperti gelandangan dari masa depan yang mampir ke sekret untuk ngopi dan fafifu wasweswos sekenanya. Tidak heran kemudian sedikit banyak kami bisa memahami bahwa kepribadian manusia tersusun tiga lapis, yaitu ego, superego, dan id. Dikatakan bahwa ego bersifat praktis dan rasional, kemudian superego berisi hal-hal duniawi seperti moral dan kebiasaan masyarakat, dan terakhir adalah id yang memuat dorongan dan keinginan terdalam manusia.
Misinya adalah bagaimana rekrutmen kali ini mampu menyingkap id dan menguak motif bergabung para peserta. Jujur saja ini adalah tugas yang cukup pelik untuk dikerjakan amatiran kayak kami. Kemudian disepakati kalau implementasinya pada sesi wawancara yang mana akan ada waktu sekitar 2 jam untuk itu. Konkretnya, selama 2 jam peserta magang disuruh ngomong tanpa henti dan pewawancara harus pasif, seperti terapi. Terkesan sepele memang. Tapi, 2 jam mendengar orang ngoceh serampangan tentu bukan aktivitas yang bisa meningkatkan nafsu makan dan gairah hidup.
IHT digelar di pesisir Parangkusumo, Bantul. Kami menyewa sebuah wisma reot dengan pendapa tak beralas dengan toilet berair keruh yang kerap mampet. Di kiri kanan wisma berderet bedeng-bedeng semi permanen yang digunakan masyarakat setempat untuk berdagang di siang hari. Pemandangan yang menyedihkan untuk pantai katanya menyejarah dan kerap digunakan keraton menggelar upacara adat. Mengharap fasilitas yang lebih baik dari ini barangkali juga terlampau lancang di Arena. Mengingat ada banyak apologi seperti; ini adalah bagian dari perjuangan, mahasiswa harus siap hidup susah, kalau begini saja tidak mampu gimana mau mengubah keadaan, dst, dsb.
Orang-orang berangkat dengan hati riang, cuma panitia saja yang sudah tampak sedikit keletihan. Wisma ini tak seberapa jauh dari gumuk pasir Parangkusumo, jadi suasana wisata masih cukup terasa. Malam pertama dihabiskan untuk melakukan evaluasi selama proses magang. Tak ada yang istimewa, hanya masing-masing orang dilucuti kekurangan dan kelebihannya. Evaluasi dicukupkan setelah peserta tampak terpuruk dan dipastikan mengalami mimpi buruk kemudian.
Wawancara, yang menjadi agenda utama, dilakukan pada malam kedua di belantara gumuk pasir. Meski jadi wahana wisata di siang hari, ternyata saat malam suasananya bikin merinding. Bukan karena gelap dan seram, melainkan angin pantai yang bertiup demikian kencang hingga bikin tengkuk tegang dan gigi gemeletuk. Di sini kita tak bisa memastikan apakah seseorang menggigil karena takut atau kedinginan.
Jika dilihat dari sudut pandang kesehatan badan dan mental, melakukan terapi berbalut wawancara tengah malam di pesisir terbuka semacam itu jelas bukan situasi yang memadai. Jadilah malam itu, para peserta sekaligus mentor yang ditunjuk melakukan interview di antara gundukan pasir putih yang anehnya di sepanjang pantai Bantul cuma ada di situ. Dengan mengambil jarak sekadarnya, yang penting antara satu pasangan dengan yang lain tidak saling dengar, selama dua jam penuh peserta disuruh ngomong tanpa henti. Untuk memastikan mereka terus membual, seorang panitia berjaket tipis dan terus mengempit lengan, keliling berkala untuk mengeceknya.
(Beberapa anggota masih ingat sholat di sela keruwetan IHT. Ekspresi berseberangan antara Farikhatul Qomariyah yang senyum dan Chusnul Chotimah yang murung)
Tak terjadi hal-hal yang mengejutkan. Di sana sini cuma terdengar bisik-bisik samar. Mungkin mereka lebih sibuk menahan dera angin malam dibandingkan menyeriusi obrolan. Menjelang subuh agenda baru tuntas. Orang-orang beranjak kembali ke wisma dengan muka datar, sebagian sudah setengah terpejam, aku tersaruk-saruk menahan perut kembung. Makan malam tadi nasinya kurang matang, kepalaku agak pening, mungkin besok masuk angin.
Sebenarnya, tidak banyak yang kami dapatkan dari wawancara tersebut. Menurut para mentor, wawancara berjalan biasa saja, tidak serumit pembuatan konsepnya. Memang ada beberapa motif peserta yang terungkap, tapi normatif saja dan tercampur hal-hal lain yang tidak penting. Mungkin semua ini memang tak lebih dari obrolan terapis partikelir dengan pemuda yang belum benar-benar tahu apa tujuan hidupnya. Tapi, secara psikologis, kita memang tak pernah benar-benar tahu hasrat kita sebenarnya.
___
Orang-orang bisa diikat baik oleh penderitaan maupun kebahagiaan.
Satu dua orang di Arena punya bakat untuk merancang persoalan. Sebagian lagi punya pola pikir meléngsé yang cenderung melihat tantangan adalah hal yang mesti dicari agar hidup lebih berarti. Sisanya adalah mereka yang menunggu dua tipe orang tersebut mencetuskan ide ganjil kemudian bersikukuh mengikutinya sambil menggerutu.
Ada banyak cara untuk pakansi ke Candi Sambisari, dan cara yang paling tidak praktis adalah dengan berjalan kaki. Kami bersepakat untuk menggelarnya di hari minggu. Waktu itu kami berangkat sekitar pukul 6 pagi. Semua orang diminta kumpul di pelataran Student Center, dengan perlengkapan seadanya, bahkan sebagian cuma bersandal jepit, kami lebih tampak seperti pemulung dibandingkan orang yang hendak olahraga pagi.
Jarak dari kampus ke Candi Sambisari sekitar 8 kilometer. Kami mengambil rute searah dengan rel kereta api, kemudian di bawah jembatan layang Janti berbelok ke utara. Dari situ masuk ke Babarsari hingga menemu Selokan Mataram. Orang-orang berjalan sekenanya saja sambil ngobrol. Beberapa masih terlihat mengantuk dan hanya mengayun langkah dengan pandangan kosong. Di kejauhan, Merapi tampak muram diselimuti awan-awan tipis.
(Abdul Majid Zubairi memimpin jalan. Jangan harap Anda sampai tujuan dengan lancar)
Jogja adalah kota yang selalu bangun kesiangan, terutama di hari Minggu. Sepanjang jalan, kami tak banyak bersua orang. Kendaraan di jalan pun masih jarang lalu lalang. Jadi enak saja kami melenggang di bahu jalan. Ketika menyusuri Selokan Mataram, matahari sudah setinggi alis, kami terus berjalan ke arah timur. Melintasi Ring Road yang lengang, terasa seperti panorama di film dystopia, seolah kami adalah gerombolan manusia terakhir di muka bumi.
Aku lihat gerombolan yang berjalan di depan sudah berjarak cukup jauh. Sepertinya mereka punya atribut fisik yang lebih memadai untuk berjalan dibanding kaum duduk-rebahan sepertiku. Aku mempercepat langkah, tapi dengkul dan persendianku sudah terasa linu. Dari sini aku terpaksa menimbang kembali pikiranku, di sela pengharapan untuk memperbaiki negara yang terlampau busuk ini, aku harus memastikan badanku bisa bertahan hingga esok hari.
Agenda pakansi ini diusulkan oleh anak Jarkom. Waktu itu suasana sekret sering sepi, monoton, dan kabar sebagian anggota sulit dilacak. Dampaknya, agenda-agenda organisasi kerap terbengkalai. Maka, muncullah ide ganjil ini untuk memancing para desertir yang kabur untuk kembali. Aku kadang heran, Arena selalu punya cara untuk merepotkan orang-orang.
Meski telapak kaki pedas dan betis terasa kaku, bisa kusimpulkan kalau menyusuri Selokan Mataram ini cukup romantis. Air mengalir tenang, angin berembus pelan, hamparan sawah hijau setelah masa tanam. Seolah dunia memang sedang baik-baik saja. Lupa sejenak bahwa kadang Merapi erupsi, sampah menyumpal di hulu kanal, tanah Jogja lebih banyak dikuasai makelar daripada penduduk lokal.
Kami sampai di Candi Sambisari ketika matahari sudah tinggi. Berbeda dengan sekarang, saat itu masuk ke area candi masih gratis. Pun tidak banyak yang mengunjungi candi yang konon sebelumnya terkubur debu erupsi ini. Di sini, kami cuma foto-foto bersama, kemudian berkumpul di pinggir taman untuk bersantap siang dengan nasi bungkus yang telah disediakan panitia. Kali ini menunya lumayan, meski tidak mewah, setidaknya nasinya matang benar. Terpujilah orang yang membuka katering murah untuk anak kuliahan.
Selesai makan, semua mengeluh malas untuk pulang, semua kelelahan. Tapi apa mau dikata, tidak ada kendaraan yang akan menjemput. Waktu itu belum ada taksi daring, kalau pun ada, tentu uangnya yang tidak. Kami terpaksa berjalan lagi untuk kembali ke kampus. Gagasan yang paling masuk akal adalah kembali dengan naik Trans Jogja. Masalahnya, tidak semua orang punya dan membawa uang, termasuk juga aku. Untung saja, selalu ada anak Arena yang insaf dengan kondisi ini dan bersedia menyantuni golongan kere dan sembrono seperti kami.
Akhirnya, diputuskan mengambil rute balik yang berbeda untuk kembali. Meski begitu, kami masih harus berjalan di tengah terik sejauh 3 km ke arah selatan, menuju halte Trans Jogja terdekat yang ada di Kalasan. Walau berkarat di sana sini dan jebol pintunya, halte masih terlihat lumayan tegak. Sebuah penampilan yang cukup menggambarkan betapa halte Ini menjadi situs terakhir yang menandakan Jogja sebagai kota modern, selebihnya hanyalah feodal dan kapital.
Satu-satu orang memasuki halte, agak kikuk karena bau keringat kami mulai menyengat. Begitu bus dengan rute kampus datang, kami segera merangsek, hawa dingin menyeruak dari pendingin ruangan. Di bus orang-orang memilih diam. Sepertinya mereka juga tidak peduli apakah benar ada hubungan antara jalan pagi dengan kelancaran kinerja organisasi.
*Aktif di LPM Arena tahun 2011-2014, menjadi Pemimpin Umum (PU) periode 2013/2014, dan di kepengurusannya menerbitkan majalah Arena bertajuk Marjinal | Foto Dokumentasi Pribadi