Home MEMOAR Indepth, Arena, dan Ritual Kehilangan

Indepth, Arena, dan Ritual Kehilangan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Syakirun Ni’am*

Lpmarena.com- Satu bunga yang mekar selalu meminta daun rontok. Begitu setidaknya saya pikir ketika mengenang Arena.
Cerita ini terdengar seperti membual. Jadi, kalau kalian hanya percaya materialisme dialektika historis berhenti membacanya sekarang juga.

Bagi banyak orang, hidup di Arena berarti bertalian dengan buku, diskusi, rapat, dan kadang-kadang liputan. Tapi, bagi saya hidup di Arena berarti rapat, sakit lambung (sakit banget sumpah), liputan, dan laptop hilang atau rusak.

Saya bukan pembaca yang kuat dan hanya berhasil menamatkan sedikit buku. Tapi saya mencoba melunasinya dengan mengerjakan tugas liputan.

Sepanjang hidup di Arena, menulis tulisan panjang sama seperti memuja setan. Sesuatu di luar kepercayaanmu—sekali lagi jika kau hanya percaya materialisme dialektika historis—terus merenggut bagian-bagian hidup saya.

Begini ceritanya. Seperti kebanyakan dari kalian, saya juga pertama kali mengerjakan indepth reporting menjelang In House Training (IHT) II, sebagai syarat pelantikan.

(In House Training November 2015)

Saat itu, kecuali saya seluruh anak baru yang tersisa berpasangan menggarap satu isu. Saya langsung mendapat tugas meliput konflik elite politik kampus dalam terpilihnya Yudian Wahyudi sebagai rektor.

Singkat cerita, Menteri Agama ditengarai ikut cawe-cawe dengan mengubah Peraturan Menteri Agama (PMA) yang memandulkan kewenangan politik Senat Universitas dalam pemilihan rektor.

Untuk memenuhi kaidah jurnalistik, saya harus mewawancarai Yudian. Surat sudah dikirim dan tinggal menunggu panggilan. Di tengah proses liputan itu tas saya berikut laptop dan handphone digasak maling saat tarawih di masjid kampus.

Namun, liputan terus berlanjut meski janji dengan Yudian terlewat karena staf kadung menghubungi nomor pada handphone yang raib. Indepth pertama saya pun tayang.

Awalnya, saya hanya merasa kehilangan ini sebagai akibat kebodohan sendiri. Namun, peristiwa dengan pola serupa terus berulang.

(Laptop and hosting stuff)

Sebagai ganti laptop pertama, saya membeli laptop Fujitsu bekas ditemani A’ Sabiq, engineer kita semua. Dengan laptop merk kebanggaan Sabiq ini tancap gas mengerjakan indepth reporting berikutnya.

Namun, pada satu waktu laptop ini mati karena kerusakan pada motherboard. Kami menyimpulkan masalah timbul karena tidak mengganti pasta pada cooler system.

Karena keterbatasan finansial, saya membeli tablet Google. Dengan keyboard wireless murahan saya pelan-pelan mengerjakan reportase indepth berikutnya. Tidak berselang lama, tablet saya juga mati karena kerusakan pada komponen IC.

Nasib buruk selalu menimpa laptop maupun alat kerja saya setiap mengerjakan reportase mendalam. Namun, kutukan ini tidak berlaku jika saya mengerjakan tulisan panjang menggunakan laptop Rouf misalnya.

Saat memegang kendali redaksi, saya membeli Dell Latitude e7270 dengan bumbu kemarahan ibu.

Saya tidak menggunakannya untuk mengerjakan reportase indepth, melainkan mengedit tulisan panjang teman-teman. Saya tidak kehilangan apa-apa. Entah bagaimana dengan mereka.

Laptop itu terus saya gunakan hingga bekerja di Jakarta. Saya berpikir kutukan kehilangan mungkin sudah sirna.
Namun, di tengah perjalanan, saya kemudian mengerjakan liputan mendalam kasus guru ngaji yang menjadi korban salah tangkap di Bekasi.

Saat itu, berbulan-bulan saya sulit tidur. Berurusan dengan polisi tidak pernah menyenangkan. Seseorang mungkin bisa melempar satu kantong sabu ke kamar kos saya dan membuat cerita macam-macam.

Tugas itu saya tuntaskan. Korban salah tangkap akhirnya menang di pengadilan banding dan dinyatakan tidak terbukti menjadi pelaku begal.

Namun, laptop saya mati total. Saya juga kehilangan yang lain. Selain laptop, saya juga punya cerita soal celana yang tidak bisa lebih dari tiga lembar. Tapi kita bicarakan lain kali, ya.

Jadi begitulah. Saya seperti diliputi kutukan mendapatkan satu hal dan kehilangan yang lainnya.

Atau bisa saja saya salah mengerti. Sebab, yang benar adalah kehilangan sebagai ritual yang terus berulang sampai kita pantas mendapatkan semua.

*Pemimpin Redaksi LPM Arena periode 2018/2019  | Foto Dokumentasi Pribadi