Home MEMOAR Jalan yang Dipilih

Jalan yang Dipilih

by lpm_arena
Arena aksi melawan rezim
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Imroatus Sa’adah*

Lpmarena.com- Arena, “Kancah Pemikiran Alternatif”. Seperti slogannya, aku menjadikan Arena sebagai UKM alternatif. Tahun 2012 saat ada open recruitment Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), setelah mengelilingi pameran UKM di depan Gedung Poliklinik Kesehatan UIN, aku memutuskan memilih gabung dengan Arena. Arena menjadi UKM terakhir yang aku pilih. Layaknya mahasiswa baru yang masih lugu, aku berpikir, bergabung dengan UKM jurnalistik akan membantuku memahami soal kepenulisan dan bisa mengantarkanku lulus cepat. Memang benar, aku jadi mulai bisa menulis, tapi tidak dengan lulus cepat. Ternyata, Arena malah membuatku betah di kampus hingga lima tahun. 

Arena memang pantas menjadi alternatif. Setelah mentas dari kampus, aku baru sadar, diskusi soal Karl Marx dan mengecam kapitalisme ternyata tidak membuatku menjadi kaya. Itu hanya membuatku selalu gelisah tentang segala persoalan yang merugikan kaum marjinal. Untungnya, aku adalah lulusan ekonomi yang bisa mencari nafkah dengan mengandalkan ketertarikanku pada angka—menghitung laba rugi perusahaan. 

(Member Arena Angkatan 2012)

Kondisi yang kualami tidak seperti Robandi, mahasiswa Filsafat yang gabung Arena. Si paling vokal menyuarakan kemarjinalan. Tapi untuk menjadi kaya, ia harus dihadapkan oleh kenyataan bahwa dunia industri tidak membutuhkan filsuf. Meski dengan menjadi filsuf akan sulit membeli tanah di Jogja. Namun sebagai istrinya, aku bangga padanya karena aku tidak perlu izin untuk Keluarga Berencana (KB). Sebab ia mendukung segala keputusanku terhadap tubuhku.

Alih-alih menjadikan Arena sebagai alternatif, Anisatul Ummah, mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) ini justru menjadikan Arena sebagai penguat langkahnya mengantongi rupiah. Sembari berlari-lari mengejar sepatah dua patah kata dari Mulyono, ia merangkai sumpah serapah seperti apa yang pantas dilontarkan untuk dinasti yang tak tahu diri itu.

Entah menjadikan Arena sebagai alternatif atau tumpuan, itu hanyalah pilihan. Tidak penting! Yang pasti, Arena membuat kita menjadi manusia yang selalu gelisah. Niat mau nyeruput kopi untuk melepas beban hidup, malah tiba-tiba kepikiran masa tahanan Harvey Moeis. Sungguh sialan.

(Arena di kegiatan quality time)

Selama empat tahun di Arena. Aku banyak menemui orang-orang idealis yang suka mengkritisi kemewahan, tapi menikmatinya dalam diam. Ketimbang idealis, sebagian yang lain adalah manusia yang suka bersenang-senang, menertawai nasib yang buntung. Toh, tak ada yang salah dari bersenang-senang dengan menari tarian bebek di Malam Sastra, pun dengan bermain poker di warung kopi.

Mungkin kamu juga akan mendengar kalau masyarakat Arena adalah sekumpulan orang-orang yang jauh dari agama dan berpotensi dikutuk Tuhan. Namun, menurutku sebaliknya. Mereka adalah sekumpulan orang agamis, karena tidak tertarik dengan masalah pribadi selagi itu tidak merugikan khalayak umum. Lantas, adakah yang lebih agamis dari orang yang tidak bergibah?

Jujur saja, buku-buku kiri macam Das Kapital yang menjadi bahan diskusi setiap sore itu hanya pantas untuk jadi bahan diskusi. Tidak untuk dipraktekkan. Sebab kita hanya akan terpenjara dalam ruang idealisme. Sedangkan kita butuh sandang, papan, dan pangan untuk bertahan hidup. Kecuali kamu tahan dengan kemiskinan dan tahan dengan kesendirian. Tidak menikah apalagi punya anak. Atau paling tidak kamu adalah Putri Tanjung.

Apapun alasanmu bergabung dengan Arena, kamu adalah tuan atas dirimu. Arena tidak punya hak untuk menilai sukses tidaknya nasibmu. Ia hanyalah sebuah jalan yang kamu pilih dalam proses hidup. Seperti halnya berkendara, segala resiko di jalan ditanggung sang pengemudi.

Selamat menjajaki usia ke-50 tahun, Na. Usia yang dianggap tua untuk menikah. Tetapi, dianggap terlalu muda untuk mati.

*Seorang ibu pekerja yang memilih bekerja karena bosan di rumah. Pengalaman hidup, pernah menjadi member paguyuban Arena Tahun 2012-2016 | Foto Dokumentasi Pribadi