Oleh: Rob Andi*
Lpmarena.com- Dua pilihan yang pada akhirnya ku anggap sial dalam hidup, pertama memilih jurusan filsafat dan kedua masuk Arena.
Biar ku beri tahu, keduanya adalah lubang gelap yang bisa saja mengantarmu ke dimensi antah-berantah. Lalu, kamu tersadar, ketika kembali pada kehidupanmu yang sesungguhnya dengan beberapa efek samping. Kamu akan merasa mual, kehilangan ambisi, cepat bosan, menganggap semua hal tak lebih baik dan tak layak untuk dipuji, bahkan dirimu sendiri.
Kamu akan merasa menjadi keledai di kehidupan nyata. Seperti fabel yang aku bacakan untuk anak perempuanku setiap malam. Kisah tentang kemalangan Si Keledai yang keliru memilih jalan dan terperosok di sebuah lubang yang mengirimnya ke dimensi lain bernama kehidupan manusia. Ia diolok-olok seantero penghuni di sana, diaraknya Si Keledai hampir ke seluruh penjuru dunia, dibuang dan dilemparkan ke sebuah pulau penuh monster yang menderita.
Di masamu saat ini, mengingat proses selama di Arena, kamu akan mendapati momen-momen paling chihh!
Kamu bisa membayangkan bagaimana berdiskusi berjam-jam di satu ruangan sempit, kertas berserakan, dinding penuh coretan dan kepulan asap rokok penuh sesak di paru-parumu yang bisa saja membunuhmu di beberapa tahun ke depan. Ditambah aroma busuk dari campuran kopi, puntung dan abu rokok di gelas yang sudah berjamur serta bangkai cicak yang mulai mengurai dan hanya akan dicuci gelas itu jika ada salah satu yang mengalah di antaramu dan itu memalukan. Sebab, kamu tumbuh di tengah orang-orang jumawa tapi miskin dan merasa menjadi ‘Si Paling Tahu’ apa itu substansi dan kenyataan hidup.
Lalu, Arena dan kehidupan didalamnya membentuk sisi lain dirimu yang sama sekali tak pernah kamu nyana. Memberimu kesadaran baru, idealisme, visi, mimpi, kemanusiaan, perjuangan, dan tek-tek bengek lainnya. Membekalimu nilai-nilai yang mungkin bisa saja saat ini telah dan masih mengurat-nadi. Sampai-sampai setiap kamu melihat dan mengamati kehidupan di luar Arena, membuatmu bergidik jijik, merasa ‘apa sih’ dan banyak hal terasa mengganjal tak masuk di akal yang semestinya tidak terjadi. Di titik ini kamu tengah ekstasi dengan identitas barumu sebagai ‘manusia digdaya’. Seolah-olah kamu bisa mengatur hidupmu sendiri.
Pernah suatu waktu mempersoalkan lirik lagu, tepatnya lagu-lagu percintaan yang diam-diam kamu dengarkan melalui headset di pojok ruang sempit itu tanpa seorang pun tahu.
“Selemah apa manusia, hingga Tuhan selalu menjadi entitas yang sampai harus mengurusi masalah percintaanmu?” begitu kira-kira pertanyaannya.
(Proses finishing SLiLiT Arena)
Sepele dan sungguh durjananya persekongkolan orang-orang sialan ini. Namun, diam-diam kamu menerima pertanyaan itu dalam otakmu, termasuk pembenaran-pembenaran yang terus menyudutkan Tuhan dari sisi gelap spiritualmu. Hingga kamu benar-benar jijik ketika mendengarkan kembali playlist lagu percintaan di HP-mu.
Ada banyak hal yang menjadi tabu di sana, tak ada obrolan rencana kelulusan dengan target-target ideal sebagai mahasiswa yang hidup dari keringat bapakmu di sawah. Tak ada obrolan tugas kuliahmu, presensi mu dan urusan-urusan perkampusan lainnya.
“Bosan membaca buku, menulislah, buntu menulis, berdiskusilah, muak berdiskusi bacalah buku,” kira-kira kalimat inilah yang akan selalu terpatri di dalam tindak-tandukmu selama di Arena.
Di hidupmu saat ini, setelah lulus dan mendapat gelar sebagai alumni Arena dengan laporan Majalah ‘sialan’ yang berhasil kamu rampungkan bersama orang-orang sialan juga. Kamu mendapati pergolakan batin di setiap pilihan yang akan kamu ambil. Kamu sadar, sebenarnya bisa saja berpikir masa bodoh dengan nilai-nilai yang kamu dapat selama di Arena, dan selalu menjadi pertimbanganmu dalam mengambil keputusan.
Kamu bisa saja mendaftar PNS dan hidup sejahtera dari uang pensiunan di masa tuamu. Tak perlu menghiraukan pikiran-pikiran busuk macam makan uang negara, dan lain sebagainya. Bahkan kamu bisa saja memulai bisnis dengan mempekerjakan banyak buruh, dan mengambil keuntungan lebih banyak dari situ. Tanpa harus berpikir, eksploitasi, kapitalisme, dan lainnya. Kamu bisa saja melakukan banyak hal, sebagaimana mayoritas orang-orang saat ini lakukan untuk kelangsungan hidup istri atau suami serta anak-anakmu. Yang mungkin membuatmu justru bergidik jijik dengan apa-apa yang kamu lalui selama di Arena, merasa ‘apa sih’ dan banyak hal dirasa tak relevan di duniamu saat ini.
Usulku, kamu tak perlu repot-repot menilai mana yang lebih baik. Terkadang menjadi seseorang yang tidak tahu banyak hal adalah pilihan paling aman. Dan tak usah berharap dan mendapat apapun setelah dari Arena, kecuali mungkin seorang kawan berkedok admin grup WA memasukkanmu ke dalam grup Alumni yang dipenuhi pesan-pesan apresiasi semu disertai rasa iri dan dengki.
*Yang paling diingat waktu itu pernah menjabat sebagai Redaktur Buletin SLiLiT Arena 2015/2016. Juga ikut menjajakan buletin SLiLiT Arena ke mahasiswa, dan memaksa dosen juga untuk membeli, karena waktu itu, anggaran UKM dipotong dan telat cair | Foto Dokumentasi Pribadi