Oleh: Doel Rohim*
Lpmarena.com- Nama Majalah Arena sebenarnya jauh saya kenal sebelum saya masuk kampus UIN Sunan Kalijaga tahun 2014 silam. Saya masih ingat betul, Majalah Arena sudah menjadi perbincangan kami, tim redaksi majalah yang saya kelola bersama teman-teman Madrasah Aliyah (MA) di kampung kami, di Pati Jawa Tengah. Adalah Agus Salim Fattah Almarhum, seorang guru alumni IAIN Sunan Kalijaga sekaligus mentor literasi di madrasah kami, yang waktu itu selalu bersemangat menceritakan kiprah Majalah Arena di periode 90-an itu.
Sebagai anak muda paruh baya, di sekolah kampung yang hampir tidak terdeteksi dalam jajaran sekolah favorit di daerah saya. Mendengar cerita beliau, yang tak jarang saking semangatnya sampai menyemburkan air liurnya kemana-mana itu, saya begitu terpukau dengan kegemilangan majalah, yang kata guru saya, dijuluki oleh Goenawan Mohamad (GM) sebagai Tempo Kecil itu. Terlepas benar atau tidak fakta tersebut, hal itulah yang akhirnya mendorong saya masuk di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena. Dari hal itu juga semoga alm. Agus Salim diterima di sisi-Nya. Karena berkat beliau juga, saya menghabiskan waktu hampir dari setengah masa kuliah saya di unit kegiatan mahasiswa tertua di UIN Sunan Kalijaga tersebut.
Berbekal segenap pengetahuan tentang Majalah Arena di kepala saya sebelumnya. Saya akhirnya memberanikan diri mendaftar LPM Arena. Saya masih ingat betul, di lapangan poliklinik, stan pendaftaran dengan beralaskan tikar sederhana serta bendera orange yang menyala-nyala, bergambar patung “Sang Pemikir” (The Thinker/Le Penseur) karya ahli pahat Prancis bernama François-Auguste-René Rodin atau yang dikenal dengan Auguste Rodin (1840-1917). Gambar patung The Thinker tersebut sedang memegang dagunya, seperti memanggil-manggil saya. Belum lagi tulisan “Arena” dengan huruf kapital membuat saya waktu itu gampang mengenali logo yang entah siapa yang membuatnya tersebut. Tagline kecil di bendera itu bertuliskan “Kancah Pemikiran Alternatif” membuat saya semakin penasaran untuk mendaftar di UKM ini. Sekilas waktu itu saya berpikir logonya saja sudah mencerminkan sesuatu yang bernas lagi sulit dicerna, kira-kira akan seperti apa ya di dalamnya. Jelas saya mempunyai ekspektasi besar terhadap segerombolan orang berambut gondrong di bawah pohon penjaga stan Arena pada waktu itu.
Singkat cerita, akhirnya saya mendaftar dan mengikuti proses seleksi masuk Arena. Waktu itu proses pendaftaran sudah selayaknya pendaftaran korporasi besar dengan seleksi yang agak jelimet. Kalau tidak salah ingat, ada tiga tahapan proses seleksi pada waktu itu.
Tahap pertama, adalah pengumpulan data administrasi dan karya tulis. Lalu, yang kedua tes mental. Soal yang satu ini, tidak akan pernah saya lupakan. Bagaimana tidak, entah apa yang dipikirkan para pengurus di generasi sebelumnya. Tes mental ini semacam mewajibkan seluruh peserta pada waktu itu untuk melakukan orasi dengan memegang toa di tong setan (sebutan sebuah tong yang berada di perempatan UIN Sunan Kalijaga). Jujur saja, bagaimana gemetarnya saya waktu itu, sebagai mahasiswa semester satu dituntut berteriak-teriak di tengah jalan menjadi pusat perhatian semua orang. Setelah sekian lama, saya jadi sadar, sialan memang pengurus pada waktu, tampaknya kami dijadikan kelinci percobaan, hehe.
Lalu, tahap tiga atau yang terakhir adalah wawancara. Di tahap ini awalnya tampak begitu serius dan mencekam. Namun ketika Mang Sabiq, lelaki misterius dari Garut itu mewawancarai saya, semuanya jadi buyar. Seingat saya tidak ada satu pun pertanyaan tentang jurnalistik atau apa pun terkait tulis menulis. Kami lebih banyak berbicara soal hal remeh dan bisa jadi gak penting, tapi wawancara itu membuat saya akhirnya jadi sedikit paham lanskap besar orang-orang di dalamnya dan orientasi pergerakan Arena.
Perjalanan saya kemudian memasuki jenjang yang cukup berat di tengah adaptasi saya dengan situasi kampus dan Jogja khususnya. Kuliah hanya berbekal doa orang tua, menjadikan Arena bisa jadi berkah atau sebaliknya. Berkah karena saya merasa mendapat teman satu rasa satu penderitaan yang jika disulut sedikit rasa itu bisa menimbulkan rasa solidaritas dan kekeluargaan. Namun, di sisi lain, diakui atau tidak banyak hal juga membuat saya dan mungkin teman yang lainnya mempunyai orientasi baru soal hidup setelah berlarat-larat berdiskusi di ruang kecil Arena.
Awalnya, angkatan saya hanya sekitar 80 orang yang mendaftar, sedikit demi sedikit mereka mulai berguguran. Seperti dalam film Squid Game, mereka terseleksi dalam iklim organisasi Arena yang cadas, keras, dan sering kali gak masuk akal. Mulai dari tahap In House Training (IHT) pertama, tensi pembelajaran sudah tinggi. Kami dibekali banyak hal-hal dasar tentang jurnalistik. Buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” milik Bill Kovach seperti kitab suci yang wajib dihayati setiap peserta pada waktu itu.
Sampai di IHT ketiga, kurang lebih membutuhkan waktu hampir satu tahun kami magang baru kemudian diterima menjadi anggota resmi Arena. Rangkaian diskusi panjang yang hampir setiap hari dilakukan dengan kurikulum mulai dari dasar-dasar filsafat, teori sosial, hingga pemikiran kontemporer tak luput untuk didiskusikan. Hingga di hamparan pasir daerah Parangkusumo, sebuah seremoni yang agak wagu membuat nasib kami di Arena dipertaruhkan. 11 orang akhirnya tersisa dari proses panjang yang melelahkan tersebut, hingga kami menjadi pengurus Arena di tahun 2017-2018.
___
Benar saja, menjadi PU Arena tentu bukan persoalan sederhana. Mungkin saya satu-satunya orang di angkatan saya yang sejak awal dengan percaya diri mempunyai proyeksi menjadi PU Arena. Entah apa yang melatarinya, yang jelas dalam bayangan saya, karena hanya jadi PU-lah ruang eksperimentasi terasa lebih leluasa dan menjadi ruang belajar yang maksimal untuk diri saya. Walaupun demikian, menjadi pucuk tertinggi di organisasi dengan orang-orang pintar di dalamnya bukan soal yang sederhana.
Saat saya mesti bertaruh dengan hidup dan kuliah saya di tengah kemiskinan yang membabi buta. Saya mesti mengemban misi untuk mengelola dan melanjutkan sejarah panjang Arena. Sejarah Arena yang pernah melahirkan para penulis hebat, budayawan, para politisi berkelas nasional, para dai dan kyai yang disegani di masyarakat, serta para aktivis sosial yang punya dedikasi tinggi untuk transformasi sosial di Indonesia.
Kita semua pasti tahu nama-nama seperti Slamet Effendy Yusuf yang namanya bahkan sekarang menjadi nama gedung SC itu. Juga Pak Imam Aziz, tokoh penting gerakan kaum muda NU, dan Hairus Salim dengan LKiS-nya. Alumnus Arena lainnya ada Zastrow Al-Ngatawi dan istrinya Mbak Arifah Fauzi yang sekarang jadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Penulis hebat seperti Arief Hakim yang sejak muda tulisannya sudah hilir mudik di koran-koran nasional. Abdul Mun’im DZ, sejarawan NU yang tetap kritis tersebut. Belum lagi para politisi dengan karir cemerlang seperti Mas Nurudin Amin, lalu Mbak Ninik Wafiroh. Ada lagi yang menjadi Bu Nyai seperti Mbak Tutik Nurul Janah pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda Pati. Itu baru generasi priode 90-an ke atas. Kita belum melihat di generasi setelahnya, banyak pendahulu yang juga memiliki karir cemerlang di bidang masing-masing. Sayangnya, hingga hari ini kita tidak memiliki jejak-jejak mereka semua, bahkan sekedar forum silaturahmi saja, rasa setengah mati untuk bisa dilaksanakan.
Mengingat rentetan nama besar tersebut, apakah menjadi PU Arena adalah beban? Jelas demikian. Namun, pikiran saya waktu itu, justru dengan sejarah panjang Arena itulah seharusnya kita bisa memberikan dedikasi terbaik kita pada ruang yang kramat lagi barokahi tersebut. Entah kenapa saya mempunyai keyakinan di tengah wacana Arena waktu itu, yang cenderung menolak mistisisme. Mungkin genetik saya sebagai seorang santri dalam hal ini tidak bisa saya kesampingkan begitu saja. Saya percaya di ruang Arena yang menjadi perlintasan, gagasan, spirit baik, perjuangan, perlawanan atas ketidakadilan dari generasi ke generasi pasti memiliki tuah, kalau dalam kesadaran orang Jawa “pulung” yang akan meniti pada seseorang yang tepat dan siap. Apakah itu saya atau Anda, entahlah.
Yang jelas dalam periode kepengurusan 2017-2018, saya benar-benar menghabiskan waktu saya di ruang yang penuh coretan dinding yang gak jelas itu. Bahkan dalam kurun waktu satu semester, saya merelakan jam kuliah saya untuk mendekam di Arena. Mulai dari rapat-rapat redaksi, diskusi hingga berbusa-busa, menerima para kolega, bahkan merencanakan hal-hal yang waktu itu gila dengan pembiayaan yang entah dari mana saya juga tidak bisa menjawabnya.
Alhasil, saya lulus kuliah tidak dalam kondisi prematur, yaitu tepat tujuh tahun, seperti kata teman-teman Arena lainnya, jelas suatu yang tidak patut dibangggakan, bukan. Bagaimanapun itu, dalam suka dan duka, Arena selalu menjadi keluarga yang di mana gagasan selalu dipertentangkan dan diperdebatkan. Suatu ekosistem yang menjadikan orang di dalamnya, merelakan kesehatan fisik dan mentalnya untuk sesuatu perjuangan yang sebenarnya tidak benar-benar bisa dijelaskan.
Sekarang LPM Arena sudah 50 tahun. Usia yang jelas cukup matang jika itu manusia. Namun, apakah sejarah panjang itu akan terus dilanjutkan. Generasi Arena jelas mempunyai tanggung jawab untuk menjawabnya dengan segala tantangan dan dinamikanya. Tetapi, saya selalu yakin, selama punggawa arena memegang tiga hal, yaitu critical thinking, problem solving, dan kecakapan untuk beradaptasi. Arena akan langgeng sampai kapan pun juga. Semoga.
*Pemimpin Umum (PU) LPM Arena 2017-2018. Masuk Arena bersama M.Abdul Rouf lelaki dari kota ukir Jepara, disusul Mujaeni lelaki yang siap melayani perempuan kapanpun juga, Wulan Agustina Pamungkas, perempuan asli Jogja yang bernas dengan obrolan yang menggairahkan itu. Kemudian trio perempuan pendiam Lailatus Sa’adah, Alifah Amalia, Dewi Anggraini, jika sudah bekerja tak seorang pun berani mencela mereka, dan terakhir Agus Teriyana lelaki asal Indramayu yang kabarnya sawahnya seluas UIN Suka dan memilih menjadi buruh desain dengan gaji Jakarta. Eh lupa, dua perempuan tangguh yang bergabung di kepengurusan tahun 2017-2018, Isma Swastiningrum, perempuan perkasa, yang memilih tidur daripada menanggung lapar saat diskusi, titisan Pramoedya Ananta Toer dari Blora. Lalu, Anis Nur Nadhiroh, perempuan asal Bojonegoro yang bercita-cita seperti Khofifah Indar Parawansa, tapi gagal setelah berkeluarga dan menikah dengan abang-abang Jakarta | Foto Dokumentasi Pribadi