Home MEMOAR Sebayang Simbol Arena yang Menghantui

Sebayang Simbol Arena yang Menghantui

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Afin Nur Fariha*

Lpmarena.com- Lama aku menerka, alasan apa yang membuat diri ini bergabung pada organisasi seabsurd Arena. Bertahun-tahun, bahkan hingga detik ini, menginjak satu dasawarsa dari proses ber-Arena, tak kunjung temu alasan konkretnya. Sekeping rasionalisasi seperti apakah yang dulu telah semena-mena mendorongku mengambil langkah krusial mengetuk pintu Arena?

Ah, sial, diksi ‘krusial’ itu muncul begitu saja, seolah mendesak pengakuan akan perannya dalam perjalanan hidupku. Barangkali saat itu aku gabut atau kebingungan, disergap oleh euforia menyandang diri sebagai mahasiswi Yogyakarta. Di mana mulanya, sebelum perantauan ini aku hanya mengetahui sebentuk corak peradaban, tidak lain adalah rumpun pesantren yang berderet mengular sepanjang Kaki Gunung Selomangleng, Kediri.

Nahasnya, kegabutan atau kebingungan itu menjadi labirin panjang selama tahun-tahun kuliahku, dan terus membuntuti hingga kini. LPM Arena menjadi semacam camp antek-antek pencucian otak. 

 Aku teringat, waktu itu saat kami masih polos-polosnya, malam hari seusai sesi Malam Kejujuran pada In House Training (IHT) Lanjutan. Ketika api unggun telah dipadamkan, dengan wajah kebingungan Niam memberi isyarat agar aku turut menepi, rupanya ia hendak berkonsultasi. Akankah perjalanan ber-Arena ini ia lanjutkan dengan banyak pertaruhan, ataukah sebaiknya berhenti di titik ini. Ia melanjutkan ceritanya, dirinya telah ditantang keluar dari pondok demi kelancaran proses ber-Arena, juga cerita lain terkait cara pandang baru bahwa beberapa kitab klasik yang diajarkan di pesantren mengandung status quo dan sudah terlalu ortodoks. Pada akhirnya, ia mengambil tantangan itu dengan total. Dua tahun kemudian, ia menjadi orang yang paling bawel meminta angkatan kami menulis berita.

Sejak IHT Lanjutan itu, perjalanan kesadaranku mulai memasuki babak baru: suatu era rasionalisasi, suatu era dialektika, kedua hal aneh yang sebelumnya cukup berjarak dari hidupku. Sebagai seorang perempuan yang menganut nilai Jawa pedalaman, berdialektika berarti adalah membangkang, sebab perempuan di desa kami tak patut bersuara. Bersuara menjadi simbol ketidaksopanan.

Hal yang berbeda kupunguti dalam prosesku ber-Arena, jargon-jargon genuine yang kerap dilantangkan oleh Mbak Wulan, seperti, “Suaramu adalah harga dirimu! Bersuaralah melalui berita, Nona!”. Entah mengapa jargon itu cukup menggelisahkan, seperti bilah cemeti yang membuatku lebih peka dalam mengakui pikiran maupun perasaanku.

Serangkaian proses kaderisasi Arena yang simbolis dan absurd membayangi seperti hantu. Setelah kurefleksikan ulang, ternyata ketiga tahapan kaderisasi Arena tak sekadar iseng-iseng belaka, setiap tahapnya membuat lebih berani dan lebih terampil bersuara. IHT Pertama yang seolah-olah menyaratkan agar lihai menulis Straight News, ternyata lebih dari itu. Bekal materi analisis diri dan analisis sosial membentuk spektrum kesadaran agar menjadi lebih kritis dan jujur dengan diri sendiri, sebab kejujuran dapat menyibak banyak hal, termasuk memberi kepekaan untuk memandang angle-angle dalam berita.  Ada juga “Malam Sastra” di ujung IHT Pertama, entah mengapa terkesan begitu romantik. Aku seperti melihat, roh-roh magis yang terbangkitkan dari kesadaran purba manusia, dorongan untuk mengekspresikan jiwa kreatifnya, berbagai wujud kreativitas menjelmakan dirinya pada malam itu.

Pada IHT Lanjutan kami diajak mengarungi alam jurnalistik lebih dalam. Sebelumnya diperdekatkan dengan analisis diri dan analisis sosial, kini diperdekatkan dengan analisis wacana, analisis framing, juga analisis politik media, materi-materi yang membekali untuk menyampaikan suara dengan format lebih terampil, yaitu indepth

Kelak, beberapa tahun setelah aku menjalani IHT Lanjutan, ketika zaman mulai berubah, disrupsi informasi besar-besaran membadai, informasi-informasi viral seakan-akan menjadi kebutuhan primer seperti halnya makanan pokok, pada era badai informasi viralitas dan quotable inilah aku mulai menyadari analisis-analisis dalam kaderisasi Arena tersebut ternyata cukup membantu menjadi pegangan kewarasan. Tentunya, di tengah amukan badai informasi parsial yang banyak menggerus kesehatan dan kemampuan berfokus. 

Malam hari di penghujung IHT lanjutan, itulah Malam Kejujuran, kami duduk melingkar di depan temaram cahaya api unggun. Masing-masing haruslah mengeluarkan isi hatinya sepanjang berlayar dalam bahtera LPM Arena. Siapa ya, sebenarnya yang mengonsep acara ini, menyebalkan sekali, seolah memberi ekuivalen antara simbol cahaya dari api unggun dengan cahaya dari kejujuran diri. Ah, lupakanlah, mari berjalan lagi menuju kaderisasi paling ujung: Upgrading!

 Kesan yang lekat dari Upragding adalah menegangkan dan sakral. Entah bentuk kesia-siaan atau bukan, tetapi kesan selalu memiliki umur yang panjangkan? Pada hari Upgrading itu, orang-orang Arena yang kebanyakan tampak selo, tiba-tiba penampakanya berubah menjadi diktator ide yang perfeksionis. 

Acara inti di Upgrading adalah Malam Pengadilan Karya yang bisa-bisanya berlangsung hingga pagi hari, persetan dengan kondisi tubuh yang sebenarnya butuh rehat, ini sudah menyerupai militerisme saja. Malam Pengadilan Karya menjadi ruang untuk peneguhan diri dan pembelaan karya yang telah kita lahirkan. Bermula dari malam itu, aku menjadi belajar tentang bagaimana bentuk mempertanggungjawabkan karya sebelum dilepaskan kepada publik. Namun, sebagaimana perjalanan jiwa manusia, ketika Tuhan memperjalankannya menyibak garis takdir yang baru, memperbarui kesadarannya, proses menegangkan, sakral, dan penuh debar itu memang harus dilalui.

Terkadang, aku heran juga dengan kejumawaan Arena yang memakai tagline, “Kancah Pemikiran Alternatif”. Tagline itu seperti sebuah kutukan, seperti sebuah garis takdir yang berat. Bayangkanlah, satu dasawarsa sebelum melejitnya metode pendidikan ala-ala Differensial yang kini sedang banyak digalakkan oleh pemangku pendidikan, juga satu dasawarsa sebelum populernya metode pendidikan ala-ala Project Based Learning, Arena telah lebih dahulu menerapkan metode itu. Lebih-lebih di saat kini, ketika orang tengah ramai merumuskan bagaimana metode turunan dan praktik yang ideal dalam menerapkan dua metode yang sedang naik daun tersebut, Arena telah mempunyai rumusan dan praktik yang begitu rapi dalam proses-proses kaderisasinya sejak satu dasawarsa yang lalu, yang direpresentasikan dalam Malam Sastra, Malam Kejujuran, juga Malam Pengadilan Karya.

Lebih dari itu semua, Arena telah mempertemukanku dengan manusia-manusia unik, yang autentik dengan segala kompleksitas maupun totalitasnya. Terima kasih Arena, dan segala ilmu, ruang, pencarian, maupun kenangan, serta kutukannya di jalur alternatif yang menghantui. Selamat berulang tahun ke-50. Tabik!

*Bagian dari Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) LPM Arena 2016  | Foto Dokumentasi Pribadi