Home MEMOAR Berani dan Tidak Mau Tunduk

Berani dan Tidak Mau Tunduk

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Suraji*

Lpmarena.com- Saya akan  mengawali catatan ini dengan menyampaikan pengalaman saya secara pribadi sebagai orang yang pernah terlibat proses di Arena selama kurang lebih 5 tahun sejak 1999 hingga 2003. Saya sendiri masuk kuliah di IAIN angkatan 98 dan lulus wisuda akhir Januari 2006.

(1)
Tidak seperti lembaga kemahasiswaan yang lain, baik organisasi intra maupun ekstra, yang melakukan rekrutmen anggota di awal-awal penerimaan mahasiswa baru, Arena melakukan rekrutmen pada semester genap perkuliahan. Jika yang lain berlomba mencari perhatian mahasiswa untuk digaet, Arena tidak. Tak pernah kuatir tidak mendapatkan peminat. 

Mendaftar Arena juga bukan hal mudah, sebab harus memenuhi persyaratan: buat esai untuk membuktikan kita punya bakat menulis, mengikuti tes wawancara dengan melalui 3-4 meja penguji, dan tes penugasan. Jika dinyatakan lulus ujian, masih harus ikut upgrading dan magang beberapa bulan, untuk bisa resmi diakui sebagai kru baru. Lepas dari satu tahapan, akan dinyatakan gugur. Jadi perlu mental baja dan kemauan keras. 

Tidak heran jika di angkatan saya, dari sekira 80 orang yang mendaftar, hanya tersisa 11 teman yang bertahan, dan hanya ada 1 teman cewek. Namun, jumlah itu tidak membuat Arena berkecil hati. Sejak dari awal, sistem rekrutmen lebih mengedepankan kualitas daripada kuantitas. 

Keinginan mengembangkan bakat tulis menulis memang sudah sejak awal terpatri ketika niat bergabung. Sebelum di Arena, saya sudah masuk terlebih dahulu di UKM Kordiska sejak awal menjadi mahasiswa baru. 

Di lembaga dakwah kampus ini, saya telah merintis dan mengembangkan  buletin Jum’at “Kinasih”, dan dipasrahi menjadi redaktur oleh para senior. Berkat ketekunan dan kemauan keras, saya pun berhasil mengelola buletin ini hingga 42 edisi, terbit terus tanpa pernah absen. Sebuah capaian yang membuat saya bangga, karena praktis saya terlibat di setiap proses pembuatan buletin: mulai dari menghubungi penulis, mengolah dan edit tulisan, mengawasi proses layout, naik ke percetakan, hingga distribusi buletin ke masjid-masjid di sekitar kampus. 

Namun, begitu diterima di Arena, saya “berpamitan” ke teman-teman Kordiska untuk memilih fokus bergabung di lembaga pers kampus ini. Toh, dua lembaga ini juga kantornya bertetanggaan waktu itu.

(2)
Kesan pertama bergabung di Arena, sedikit ada rasa takut dan minder. Rasa dicuekin sebagai warga baru, merasakan kurang hangatnya penerimaan. Namun, lambat laun semua perasaan itu sirna. Karena komunitas ini ternyata sangat kuat mengedepankan solidaritas, kekeluargaan dan otomatis menanamkan empati. Meskipun dari luar, kesan urakan, paling jagoan, terkadang tidak bisa ditepis. Idealisme memang sedang bergelora dalam jiwa-jiwa muda Arena saat itu. Seakan kami tidak mau kompromi dengan kemapanan. 

Hari demi hari kulalui, dan sering datang di kantor Arena. Hingga akhirnya saya paham bahwa banyak mahasiswa yang nongkrong di kantor majalah, tidak semuanya anggota Arena. Ada yang aktivis Senat Mahasiswa, ada yang aktivis ekstra KMPD bahkan tongkrongan wajibnya di kantor ini. Juga PMII, ada juga yang HMI dan IMM. Namun, anak KMPD lebih dominan. 

(Arsip 2003)

Kantor Arena hidup siang malam tak ada matinya. Bahkan ada sebagian mahasiswa yang sering bermalam di Arena. Antara yang Arena dan yang bukan sudah bonding, mereka sangat terbuka dan hubungan yang dikembangkan satu sama lain sangat egaliter. Arena tidak hanya menjadi kantor majalah mahasiswa, tapi  juga markas dan sentrum gerakan mahasiswa di IAIN. Tempat mahasiswa berdiskusi dan merencanakan aksi-aksi menentang kebijakan kampus maupun pemerintah yang dinilai tidak benar dan perlu dikritisi. 

Lingkungan dan animo yang dikembangkan oleh komunitas inilah yang akhirnya mendorong saya secara sadar ikut terlibat di dunia aktivis. Meskipun pilihan ini kerap kali menunda, kalau tidak mau disebut mengorbankan, aktivitas penerbitan yang membutuhkan kerja fokus reportase dan menulis. Namun, seakan kami memaklumi semuanya jika terjadi keterlambatan terbit, tidak patuh deadline. Toh, kami merasa bahwa ketajaman penulisan dan ulasan dalam majalah harus melalui diskusi panjang dan keterlibatan di lapangan. Ini mungkin yang tak bisa dihargai atau diukur dengan hanya berserah pada rutinitas penerbitan. Di samping, penerbitan saat itu yang bergantung dengan dana kemahasiswaan, hanya bisa untuk menerbitkan majalah sekali dalam satu semester.

(3)
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Rapat redaksi yang ditunggu akhirnya datang. Banyak kru baru yang ikut rapat redaksi majalah untuk yang pertama kali. Sekitar tahun 1999. Semua kru tua-muda ikut rapat. Difasilitasi oleh ketua LPM, saat itu dijabat oleh Ismahfudi, dipimpin oleh Pemimpin Umum (almarhum Jauharul La’ali alias Gareng) dan Pemimpin Redaksi (Faqih Ridha/angkatan 97). Para senior yang menjadi tim redaksi juga hadir: Agus PW (93), Khoirul Anwar (96), dan kru angkatan di atas kami: Sunu Budi, Waluyo, Nur Ismah, Subhan “Takur” Asyari, Rozib, Bahrudin, dan Euis Rabiah Adawiyah. 

Karena pertama kali ikut rapat redaksi, kami kru baru lebih banyak mendengarkan. Mengikuti perdebatan yang sengit tapi asyik dalam rapat redaksi tersebut. Awalnya, masing-masing mengusulkan isu atau tema untuk diangkat. Semua usulan ditampung, tapi setelah itu dibahas satu persatu untuk menentukan layak dan tidaknya untuk diangkat. 

Biasanya untuk menentukan isu-isu ini membutuhkan sampai 3 kali rapat redaksi. Pengusul tema biasanya langsung ditunjuk menjadi PJ Desk untuk membuat TOR liputan. Waktu ke lapangan semua bekerja untuk masing-masing tanggung jawab liputannya, PU dan Pimred mengontrol. Hingga tiba saat semua laporan liputan sudah terkumpul, Pimred mengedit, dan semua siap layout. 

Demikianlah proses untuk menerbitkan majalah yang bertajuk “Petani Menggugat Takdir”. Majalah menurunkan headline dampak revolusi hijau yg sudah dirasakan oleh petani, mengalami degradasi tanah. Karena itu, inisiatif pertanian organik perlu diangkat, dan budaya ketergantungan petani terhadap pertanian kimia perlu diakhiri. Kira-kira begitulah garis besar gagasannya. 

(Arsip 1998)

Sampai proses materi majalah sudah 70 persen, akhirnya pihak redaksi menyadari kalau masih ada yang kurang, yakni tulisan untuk kolom rubrik refleksi. Tim redaksi kemudian mengadakan rapat terbatas, saya yang masih kru baru yang kebetulan berada di kantor juga diajak ngobrol. Akhirnya diputuskan, semua diberikan kesempatan untuk menulis dan nanti tulisan yang dinilai paling bagus akan dimuat di rubrik refleksi ini. Keputusan ini tentu sebuah tantangan dan peluang tersendiri bagi saya. 

Malam itu juga, setelah rapat, saya langsung menulis dan tidak berhenti hingga titik kalimat yang paling terakhir. Besoknya, tulisan langsung saya setorkan ke redaksi, yang saat itu diterima oleh Khoirul “Iroel” Anwar (wakil PU). “Wuih, edan..,” kata Iroel. 

Singkat cerita, hingga waktu yang ditentukan, kru lain tidak ada yang menyetorkan tulisan refleksi tersebut, jadi mau tak mau tulisan saya lah yang otomatis terpilih. Hingga saya bisa menyaksikan dengan hati membuncah gembira saat membaca kolom berjudul “Falsafah Pacul pun Terhegemoni” dengan tercantum nama saya sebagai penulis. Apresiasi banyak disampaikan oleh kawan-kawan. Inilah pengalaman pertama yang selanjutnya membuat makin semangat ber-Arena di hari-hari setelah itu. 

(4)
Setelah berkontribusi di edisi Petani Menggugat takdir, untuk edisi berikutnya saya termasuk yang dipercaya memegang desk sendiri untuk Rubrik Nasional. Kategori isu yg skalanya nasional. Di rapat redaksi saya mengusulkan untuk mengangkat isu tentang Aceh, karena wilayah ini sudah lama mengalami DOM, tentu penting untuk direspon. Apalagi pasca reformasi, masalah tuntutan memisahkan diri di berbagai daerah menguat, termasuk Aceh. 

Isu tersebut kita angkat dengan tujuan untuk memulihkan kembali keamanan dan kenyamanan, serta memenuhi hak rakyat di Serambi Mekah ini. Bagaimana rekonsiliasi kultural dikedepankan dan menjalin dialog dengan mengubur senjata dan berbicara dari hati ke hati. Karena itu saya menulis sebuah liputan berjudul “Kembalikan Syariat dan Adat untuk Aceh”. 

Tentu tema tersebut jauh dari tawaran formalisasi syariat seperti yg diterapkan pasca perjanjian Helsinki. Narasumber yang saya wawancarai saat itu adalah Profesor Ibrahim Alfian, sejarawan UGM. Sekaligus pengalaman saya yang pertama melakukan wawancara, dengan membujuk narasumber ini agar mau berbicara, karena isu Aceh masih dianggap sensitif. Terbitlah majalah Arena edisi “Indonesia Menuai Badai”. 

(5)
Tibalah saat pergantian pengurus LPM, yang kami sebut RTP: Rapat Tahunan Pengelola. Saya didapuk menjadi ketua panitia penyelenggara. Saat itu RTP bertempat di gedung Darul Hikmah Pakem. Agendanya LPJ pengurus yang lama, membahas kebijakan redaksi dan hal-hal strategis lainnya, serta pemilihan PU, sekretaris dan Pimred baru. 

Rapat ini dimulai selepas Magrib dan berakhir sehabis Subuh. Agenda laporan pengurus berlangsung seru, satu sama lain saling melontarkan penilaian, bahkan tak jarang kritik tajam terhadap kinerja pengurus seringkali terlontar. Namun tetap saja kerap diwarnai humor dan candaan. 

Lewat tengah malam, perdebatan tentang kebijakan redaksi semakin meruncing, terutama menyangkut bagaimana Arena mengambil posisi di tengah dunia kemahasiswaan. Sebagian berpandangan, sebaiknya Arena fokus pada pengelolaan majalah dan membangun kredibilitas sebagai lembaga penerbitan kampus. Suka tidak suka, tugas utama LPM adalah menerbitkan majalah. Demikian menurut sebagian kawan. 

Namun menurut kawan yang lain, Arena merupakan bagian dari gerakan mahasiswa, sehingga perlu melibatkan diri pada gerakan mahasiswa yang menuntut aktif di luar kampus. Bahkan Arena harus menyokong aksi-aksi mahasiswa dan mendukung kritisisme dan ideologi anti kemapanan. Dua kutub pendapat ini berakhir begitu saja dengan mengkombinasikan dua pilihan  tersebut. 

Hingga tibalah saat pemilihan pengurus yang baru. Tanpa saya duga sebelumnya, saya termasuk yang dicalonkan menjadi PU, bersaing dengan Subhan Asyari, hanya ada dua calon. Padahal, banyak yang memprediksikan Fiqih Ridha, mantan Pimred yang sudah semester 7 itu akan menjadi PU, menjadi generasi penerus angkatan sebelumnya. 

Namun sayang, pada RTP kali ini Faqih justru tidak bisa hadir. Dan akhirnya, saya pun harus terpilih sebagai PU, pada saat saya masih semester 5. Subhan Asyari diangkat sebagai sekretaris. Sementara yang terpilih sebagai Pimred adalah Budiono. Muka saya tertunduk lesu menerima tanggung jawab baru ini. 

(Arsip 1998)

(6)
Begitu terpilih menjadi PU, maka agenda terdekat yang perlu saya lakukan adalah melakukan rekrutmen anggota baru. Terpilihlah teman-teman seperti Slamet “Sinyo” Fauzi, Tutik NJ, Taufiqul Mujib, Habib “Leon”, dkk menjadi anggota baru. Selanjutnya, mendampingi mereka untuk belajar menulis dan mengelola media. Caranya, kita mulai menghidupkan kembali buletin Slilit, yang pernah terbit terakhir tahun 95. Namun, format Slilit kita buat 8 halaman, dan kita cetak terbatas. 

Slilit juga kita tempel di beberapa papan pengumuman fakultas yang strategis di kampus, sehingga banyak mahasiswa bisa membacanya. Bisa menerbitkan dua edisi Slilit untuk anggota baru, dengan mengangkat isu di seputar kampus, merupakan capaian yang memuaskan untuk sebuah proses magang dan pendampingan. Pada saat saya menjadi kru baru, tidak pernah melalui proses yang seperti ini. 

Namun, rupanya, hal ini belum cukup memuaskan jika majalah Arena belum terbit. Agak kesulitan memang mengajak teman-teman untuk rapat redaksi. Namun sebagai PU, saya beberapa kali mendapatkan usulan dari beberapa teman untuk melakukan liputan kasus yang dianggap perlu. Seperti, kasus konflik tanah Tegal Buret di daerah Kulonprogo. 

Kami pun langsung meminta kawan untuk melakukan survei dan mengumpulkan data. Apalagi, kasus ini termasuk menjadi dampingan kawan-kawan gerakan, bertahun-tahun sebelumnya. Saya pun bertekad untuk mengangkatnya menjadi tulisan untuk majalah nantinya. 

Isu lain yang tak kalah menarik adalah kasus tanah di daerah Karangsari, Jepara bagian utara yang berdekatan dengan desa Ujung Watu areal yang rencana mau dibangun PLTU. Berawal dari aduan seorang kawan, Bahrudin yang di desanya akan ada penambangan batu putih, yang sedang direncanakan proses pembebasan lahan. 

Areal pertambangan adalah bukit yang sebelumnya ditanami palawija dan pepohonan oleh para petani. Pemodal yang akan melakukan penambangan saat itu masih keluarga mantan gubernur Jateng. Maka tanpa berpikir panjang, saya mengajak Bahrudin untuk terjun ke lapangan. 

Sempat beberapa hari kami menginap di rumahnya untuk melakukan investigasi. Kami pun menghubungi beberapa warga dan tokoh masyarakat untuk mendapatkan keterangan. Bahkan yang termasuk spektakuler, kami berhasil menemui Lurah yang mendukung penambangan, dan berhasil meminta data daftar warga dan luasan tanah tiap warga yang akan terkena penambangan. Setelah dirasa cukup, kami kembali ke Yogyakarta, dan tak menunggu lama menuliskan hasil investigasi tersebut. 

Kami beranggapan, jika laporan kasus Tegal Buret dan Karangsari, ditambah dengan beberapa liputan isu yang lain yang agak ringan seperti kemahasiswaan, maka sudah cukup mudah untuk dijadikan sebuah terbitan majalah. Tapi nahas yang kami alami, semua data penulisan raib bersama CPU Arena yang dirampas oleh kelompok preman yang melakukan penyerangan kantor Arena pada Jum’at, 18 Agustus tahun 2000. 

(7)
18 Agustus tahun 2000, kantor Lembaga Pers Mahasiswa ARENA IAIN Sunan Kalijaga diserang oleh sekelompok sipil bersenjata. Mereka mengintimidasi para kru dan mahasiswa yang sedang berada di dalam maupun di sekitar kantor ARENA. Tidak puas dengan mengobrak-abrik kantor dan merusak isinya, kelompok ini kemudian membawa lari CPU (komputer) majalah mahasiswa kampus putih ini. 

Dalam peristiwa ini, Agus Supriyanto anggota Kordiska (Korp Dakwah Islamiyah Sunan Kalijaga) menjadi korban yang sempat dirawat di rumah sakit karena luka parah di bagian wajah. Peristiwa ini menandai bangkitnya gerakan barbarian yang dilakukan oleh kelompok sipil pasca reformasi di Yogyakarta. 

Sebulan sebelumnya, pada bulan Juli 2000, kelompok “preman” ini intens memata-matai aktivitas mahasiswa di kampus, dan berhasil mengintimidasi dengan tindakan kekerasan terhadap Bustan Basir Maras (sastrawan Arena) dan Khomsu Rizal (anggota LPM Paradigma) di waktu malam hari saat para mahasiswa sibuk dengan persiapan kegiatan Ospek IAIN Suka tahun itu. 

(Arsip 2003)

Seminggu kemudian, muncul gerakan sipil yang terang-terangan melakukan penyerangan dan pembubaran terhadap aksi yang dilakukan oleh Koperdem (saya lupa kepanjangannya) tanggal 27 Juli. Tidak hanya di jalan dengan membubarkan aksi mahasiswa, kelompok sipil ini menyatroni beberapa markas aktivis mahasiswa dan mengintimidasi mereka di markas atau kontrakan.

Merasa posisinya di atas angin, kelompok sipil ini tidak puas dengan tindakan sebelumnya. Mereka kembali mendatangi kampus pada 21 Agustus dan mengepung rektorat IAIN Suka. Saat itu, rektor sedang menerima perwakilan mahasiswa yang melakukan hearing tentang peristiwa penyerangan tiga hari sebelumnya. Dalam peristiwa ini, terjadi korban pemukulan terhadap Said Setyohardi (aka Suwung) dan M. Ichwan, keduanya kru Arena. 

Kami tidak jera untuk memperjuangkan demokrasi dan keadilan, meskipun tekad ini harus dibayar mahal dengan jatuhnya korban-korban lanjutan. Sebulan kemudian, tanggal 25 September Bayu Rosunu (aktivis KMPD) menjadi korban saat aksi memperingati Hari Tani. Kepalanya terkena sabetan sajam, empat kali. 

Bahkan tekanan para preman yang mengganggu gerakan mahasiswa tidak surut pada tahun berikutnya dengan memakan korban kawan-kawan aktivis mahasiswa lainnya, seperti Yusrol Hanai (IAIN Suka), Danial Lolo (UJB), yang keduanya mengalami cedera kepala karena pukulan tongkat, dan Gunawan (UMY) yang terkena hantaman bata konblok di bagian wajah. Kami tidak berhenti, meski korban jatuh lagi.

(8)
Pasca penyerangan, trauma dialami banyak kru. Untuk beberapa waktu, kampus diberlakukan jam malam. Banyak kawan yang masih enggan untuk datang di Arena. Hingga akhirnya, setelah kondisi dirasakan aman dan kondusif, kita mengadakan rapat untuk majalah yang baru. 

Namun, akal licik Rektorat muncul, dengan alasan untuk memudahkan keamanan, rektorat berniat memindahkan semua kantor UKM dan Dema yang berada di bawah masjid ke komplek UKM Timur jalan. Awalnya semua lembaga menolak. Ancaman dan bujukan dari Rektorat kerap kita alami. Dana kemahasiswaan jatah untuk Arena tidak diturunkan oleh Rektorat. 

Menghadapi hal itu, kita hanya bisa mengulur waktu hingga akhirnya dengan berat hati kantor Arena pun harus berpindah. Dengan berpindah kantor, kita mencoba membangun suasana baru. Membangun kembali kepercayaan para kru untuk beraktivitas di kantor. Dan yang lebih penting lagi adalah mengupayakan agar Arena terbit. 

Topik majalah yang kita sepakati seputar budaya, khas dengan sentuhan etnografis dan antropologis. Kita mengetengahkan problem nalar modernisasi pembangunan yang menggerus nilai-nilai lokalitas masyarakat. Dengan menurunkan liputan tentang masyarakat Badui di Banten, dan beberapa catatan tentang tipologi masyarakat gunung di daerah Banjarnegara, Jawa Tengah, kita ingin mengatakan bahwa nilai-nilai yang diusung oleh modernitas dan tradisionalitas, lokalitas dan globalitas, setidaknya perlu diposisikan setara. Relativisme budaya memungkinkan masyarakat lebih arif dalam menentukan pilihan hidupnya. 

Demikianlah topik utama terbitan majalah berumbul “Jagad Mental Budaya Lokal”. Setelah terbit, majalah kita luncurkan dengan diskusi menghadirkan narasumber Mas Hairus Salim dan Bambang “Kirik” Ertanto. Kami bangga dengan terbitnya majalah ini, karena itu berarti sebuah kemenangan bagi Arena, dan gagalnya usaha menghabisi kami.

Setelah berhasil terbit majalah, pelan tapi pasti saya mengulurkan tongkat estafet kepada angkatan selanjutnya. Di tahun 2001, posisi saya sebagai PU digantikan oleh Slamet Faozi. Meskipun masih sering di Arena, tapi saya hanya berperan mendampingi adik-adik yang lebih muda dalam penulisan maupun proses editing berita. 

Saya wisuda di akhir Januari 2006 setelah sempat tersesat di Jakarta tahun 2004, dan kembali lagi di kampus untuk menyelesaikan skripsi pada tahun 2005. Di akhir masa saya di kampus, ada kebanggaan sendiri kala itu, menyaksikan Arena yang tetap mengembangkan tradisi investigasi dalam jurnalisme, dan bersikap kritis dalam menyikapi fenomena sosial yang ada.

*Pernah menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum angkatan 1998. Menjadi Pemimpin Umum LPM Arena periode 2000-2001. Saat ini bekerja untuk Yayasan Bani KH Abdurrahman Wahid (YBAW)  | Foto Arsip Arena