Oleh: M. Syafiq Syeirozi*
Lpmarena.com- Bergiat di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena tak melulu seputar diskusi berbuih-buih, belajar reportase, menulis beragam artikel, dan semacamnya. Memang itu semua aktivitas inti. Namun, ada pula secuil kisah cinta ala mahasiswa miskin kota, dan tentu saja PESTA. Jangan membayangkan pesta gemebyar yang menggerus kiriman dana orang tua. Ini pesta mingguan bermodal penampilan rapi yang kerap kali outfit-nya hasil pinjaman.
Pesta rutin para mahasiswa pegiat kampus itu berlangsung di gedung samping barat IAIN/UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bangunan bersejarah yang selalu mencipratkan berkah. Boleh jadi semangat pergerakan mahasiswa IAIN yang menggebu-gebu ditularkan dari gedung sarat kenangan ini.
Dulu kala di situlah puluhan orang delegasi 30 organisasi perempuan dari Jawa dan Sumatra awal kali meriung merumuskan pergerakan bersama. Pagelaran itu bertajuk Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928. Momentum yang di kemudian hari menjadi dasar penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu.
Gedung yang sekarang bernama Mandala Bhakti Wanitatama (mungkin saja sekarang berubah label) itu menjadi tempat perbaikan gizi bagi kaum miskin kampus saat hari Sabtu dan Minggu. Gara-garanya gedung itu kerap disewakan untuk pesta pernikahan.
Saya bergabung di LPM Arena pada tahun 2003. Kala itu Pemimpin Umum (PU) dijabat oleh Noor Salim, mahasiswa berkacamata asal Pati, Jawa Tengah. Selain membagi ilmu ihwal perkara-perkara serius sebagaimana di pembuka tulisan, ia yang kini disapa Gus oleh santri-santrinya di Paciran, Lamongan, juga mengajari anggota-anggota baru bagaimana cara memperbaiki gizi tanpa cuan.
Modalnya sangat sederhana; mandi biar wangi, baju kemeja dimasukkan celana, dan sepatu. Meski mungkin penampilan sangat tidak matching tapi apalah penilaian orang. Maka petang itu selepas salat maghrib saya berangkat bersama Salim jalan kaki menuju WTT.
Ketika di pintu masuk, sungguh saya agak nervous, baru pertama kali pasalnya. Namun, Salim dengan santai mengantri untuk membubuhkan paraf di daftar hadir. Lantaran antrian mengular panjang, ia menarik tangan saya, “Langsung saja masuk, tak usah ngisi.”
Salim melenggang masuk gedung dengan konfidensi tinggi, seolah tak merasa bahwa kami adalah tamu tak diundang. Ternyata puluhan mahasiswa IAIN, yang sebagian besar pegiat unit kegiatan mahasiswa (UKM) dan gerakan mahasiswa ekstra kampus, dengan santai telah menikmati hidangan yang tersedia. Berpindah dari meja ke meja.
Pemandangan itu membuat perasaan nervous sontak hilang. Dengan lincah saya mengikuti kawan-kawan yang tampaknya sudah sangat biasa mengikuti pesta ini. Semua jenis makanan yang sangat keberatan jika harus membelinya sendiri, saya cicipi. Selepas perut terasa penuh, kami berjalan keluar untuk kembali menuju kampus.
Pekan-pekan berikutnya, nyaris setiap Sabtu atau Minggu sore, saya melihat Salim berjalan menuju lapangan utara kampus IAIN (tak tahu sekarang berubah fungsi menjadi apa) untuk mengintip, “Apakah ada acara di WTT nanti malam?”
Konon berdasarkan riwayat dari sejumlah senior yang telah lulus, tradisi itu sudah turun temurun. Dari tradisi itu menyembul kisah “tragis” menimpa Kiky Ubaidillah, rekan sesama Arena asal Kudus, saat mendatangi pestanya peranakan Tionghoa. Tanpa bermaksud body shaming, kulit Kiky memang hitam legam. Maaf, serapi apapun tampilannya, ia jelas berbeda dengan mayoritas tamu lain. Nahas, sajian yang dihidangkan dipenuhi menu-menu berbahan daging babi. Entah apa saja yang terlanjur ia lahap.
Saya tak tahu apakah tradisi ini masih berlangsung kala taraf ekonomi mahasiswa UIN Yogyakarta tampak lebih baik dibandingkan dulu. Setidaknya mengacu pada biaya kuliah yang jauh lebih mahal.
Kisah ini layak dikenang sebagai sisipan dari pergulatan saya selama di Arena. Zaman itu ada tarik menarik antara keinginan menjadikan LPM Arena sebagai manggala para mahasiswa yang murni hendak belajar jurnalistik secara profesional, sementara yang lain tetap mengidealkan Arena sebagai “pers pergerakan” sebagaimana sebelum reformasi 1998. Ketegangan menarik nan mengasyikkan yang tak pernah usai.
Ada pula fase gesekan keras dengan kawan-kawan pegiat gerakan ekstra kampus yang memuncak saat Pemilwa 2005. Salim yang kala itu telah lengser dari jabatan PU-nya menjadi korban penganiayaan sejumlah oknum sebagai dampak dari fraksi yang muncul dalam kontestasi politik mahasiswa.
Pungkasan, untuk Salim, tentu kini Panjenengan tak perlu melakukan rutinan semacam di WTT itu. Cukup panggil salah satu santri, atas nama ‘ngalap berkah’, masakan apa pun bisa diminta. Untuk kawan-kawan lain yang telah menyandang mahkota duniawi, tentu cuan di kantong lebih dari cukup untuk sekedar makan enak. Ala kulli hal, saya hanya berharap semoga makanan yang telah mendaging dalam tubuh dihalalkan oleh empunya acara. Hitung-hitung membantu tugas negara menjalankan amanat pasal 34 UUD RI 1945.
Dirgahayu ARENA ke 50
*Wakil PU Arena 2005-2006 | Foto Arsip Arena