Oleh: Fariz Azhami Ahmad*
Lpmarena.com- Barangkali hari-hari itu menjadi rangkaian masa tersuram dalam hidup sebab bertemu gerombolan pemarah pada kumpulan ternak yang berkerumun di pojok Stupid Center—begitu kami menyebutnya. Mungkin perlu sedikit klarifikasi jika bebek dan kambing pun tak akan mau disandingkan dengan para pemalas macam kami karena mereka pandai memenuhi kebutuhan diri. Setidaknya begitulah senior kami menyebut para anggota magang yang tak pernah mencoretkan sesuatu barang seribu-dua ribuan kata di laman lpmarena.com.
Ga mau nulis, udah kaya ternak!

(Daftar tulisan bulanan Arena)
Daftar tulisan bulanan itu berbalut lakban bening yang hingga hari ini ku tak tahu entah dari mana asalnya: Adakah seorang berbaik hati di antara wajah-wajah kusut ini yang memilih puasa hari Senin dan menyumbangkan lakban untuk memajang nama-nama kami di sini? Atau siapa orang bodoh yang nekat mencuri lakban ini dari tetangga kosnya? Atau jangan-jangan transaksi jual beli hari ini sudah bisa mengakomodasi kesetaraan pertukaran lakban dengan sebuah indepth news tentang kondisi infrastruktur kampus yang tak pernah menyenangkan itu?
Sebab, mungkin itulah satu-satunya harta yang kami punya. Entahlah aku tak begitu mengerti sebab anggota magang tak lebih dari pusat kekacauan Arena. Menulis berantakan, membaca kebingungan, berdiskusi kelimpungan.
Satu-dua-tiga agenda mingguan cepat menghapus keluguan bocah kurang dari dua puluh tentang asal-usul segala macam kejahatan dunia, hingga kami mengetahui penyebab persisnya: kapitalisme! Yakin sudah ini adalah kebenaran yang tak bisa kau bantah. Kecuali jika kau adalah bagian dari beberapa orang yang diwawancara dalam film Jagal atau Senyap karya Joshua Oppenheimer.
Tapi satu hal yang pasti: Entah bagaimana racikan yang para pengurus buat sehingga kami memercayai kebenaran Mbah Jenggot Putih dari Prussia dalam satu hal dan hal yang lain. Ingin rasanya suatu saat kuintip rumus yang mereka pakai. Barangkali dapat kutemukan tulisan sesendok kesepian dan dua sendok kemiskinan di dalamnya.
Ada banyak goresan di dinding sekretariat Arena yang lagi-lagi kusayangkan hingga saat ini belum sempat kutebak satu per satu anggota mana yang hari itu dipenuhi keberangan dan memilih untuk menuliskan kekalutannya di tembok kotor ini? Konon katanya tembok itu pernah diputihkan ulang oleh pihak kampus pada suatu waktu, tapi tak mampu bertahan lama dari serangan balik cepat anggota Arena. Tiada tahu, apakah itu benar terjadi atau bualan kakak tua semata. Ah, lagi pula daftar judul-judul buku yang ada di dinding sebelah foto Mbah Jenggot Putih dari Prussia itu kerap mengalihkan perhatianku. Sekilas kau dapat mengumpat: Kurang ajar betul para pengurus Arena ini. Mereka tak satupun memasukkan buku motivasi diri di dalam daftar bacaan wajibnya!
Tentu aku tak ingat secara pasti tanggal aku bertemu Sang Pemikir warna merah itu. Sedikit yang kuingat, aku menyerahkan nama lengkapku dan berujung pada menuliskan resensi A9ama Saya Adalah Jurnalisme milik Andreas Harsono akibat tak menghadiri demonstrasi sebagai rangkaian dari calon anggota magang. Pikirku, aneh sangat ini organisasi, baru pula kudaftar, tiba-tiba harus mengikuti wajib ̶m̶i̶l̶i̶t̶e̶r̶ demo. Kejadian itu tidak lama dari hari ketika seorang lelaki mewawancaraiku tentang kemungkinan keberanianku berhadapan dengan pejabat kampus jika diterima menjadi anggota sekte ini. Katanya, Arena pernah ini dan pernah itu dengan rektorat. Di lain waktu kudapati cerita seorang kawan yang menangis sebab jadi sasaran amuk para elit intelektual universitas. Memang tidak berdusta sepertinya.
Aku orang yang tak begitu memiliki kesan dalam pertemuan-pertemuan awal itu. Kecuali jika itu adalah hari penghakiman tulisan yang buruk tiada kira. Ya, In House Training 1 mengadili tulisan seluruh pendaftar dengan hukuman yang lebih berat daripada pengalaman berdiri dua jam di tengah lapangan sekolah sekalipun. Kata mereka: tulisan tak layak baca! Bagaimana bisa tulisan yang telah kubuat betul-betul itu disanggah seenaknya. Tapi, telat kutahu, ternyata tulisan itu memang lebih baik berubah menjadi bungkus gorengan daripada harus dibaca.
Bisa bertahan sedikit lebih lama, tugas selanjutnya kudapatkan: menulis dua straight news dan satu indepth news. Berkali-kali ide kuajukan. Wawancara kulakukan. Ingatanku merujuk pada momen ketika aku mewawancarai sebuah LSM yang cukup punya nama besar di Jogja.
Namun, sialan memang. Kawanan Bung dan Jeng itu menolakku mentah-mentah. Katanya ini lebih mirip seperti kerja-kerja humas daripada tulisan kritis. Ya, kami selalu ditekankan untuk tidak menjadi humas kampus dalam menuliskan berita. Tapi para pengurus itu tak pernah memberiku pengantar apapun tentang larangan menjadi humas LSM kala itu. Batu sial ketiga bercampur kebodohanku itu tepat menghantamku.
Di lain waktu, seorang kawan Arena menghubungiku tanpa aba-aba. Katanya, ia membutuhkan pasukan tambahan untuk liputan calon rektor kampus hijau-kuning ini. Terlibatlah aku mendapatkan bagian mewawancarai seorang calon rektor yang perlu uber-uberan untuk ditemui. Sulit minta ampun! Satu waktu pergi ke mana, satu waktu ke mana. Perlu kubaca pula karya-karyanya lantaran penasaran apakah kebijakan ia akan sejalan dengan apa yang ia tuliskan jika menjadi orang nomor satu di kampus ini. Berhasil mewawancarainya, ia berpesan kepadaku agar aku mengirimkan tulisan hasil wawancara ke dirinya. Ia sudah percaya Arena, katanya. Atau semacam screening agar citra positifnya tetap terpoles? Nyatanya tulisan itu tak pernah ku lampirkan ke nomor WhatApp-nya. Entah sebab apa liputan kami tak selesai. Itu yang keempat.
Pandemi datang dan tulisan majalah Slilit tak diterima. Itu batu sial kelima dan keenamnya. Tak bertemu satu sama lain dan kena semprot sebab tak adanya tulisan masuk ke dapur editor memutuskanku untuk menuliskan sebuah tulisan refleksi kekerasan negara terhadap rakyatnya sejak Orde Baru. Tulisan itu naik ke rubrik kancah dalam situs web Arena. Sekilat kubaca ulang, ada dua hal baru kudapati dalam tulisan itu jika suntingan isi tulisan yang memang perlu kerja keras penyunting melakukan tugasnya tidak perlu dimasukkan ke dalam hitungan.
Pertama, foto Jokowi lengkap bersanding dengan latar belakang infrastruktur dan militerisme bersandingan. Aku tak ambil pusing. Barangkali gambar itu memang representatif untuk rezim pembangunan hari ini. Kedua, ini yang bikin pusing tak berkira. Penyunting menuliskan catatan seperti ini di akhir tulisan: “*Penulis adalah mahasiswa jurusan Sosiologi UIN Sunan Kalijaga, saat ini menjadi anggota magang ARENA, mempunyai hobi memotong senja.” Brengsek betul! Apa-apaan ini? Apa maksud memotong senja? Kau kira akukah orang-orang yang meromantisasi kopi di senja hari dengan dua baris caption di unggahan story Whatsapp itu? Cukup lama kupikirkan itu, namun lambat larut dengan tagihan tulisan Slilit.

(Rencana penulisan Majalah Slilit Arena tahun 2020)
Tulisan Slilit-ku tak pernah muncul menjadi sebuah majalah. Begitu yang kutahu. Banyak sebab yang menghantui kami. Singkatnya, lagi-lagi tulisan kami seangkatan tak layak naik. Itu yang kuingat. Sebab, setelahnya aku harus berpisah dengan Arena ke kampus sebelah. Hingga akhir, aku tak pernah menjadi anggota resmi komunitas pecinta gorengan ini. Melihat Arena dari jauh menjadi satu-satunya opsi yang bisa ditempuh. Tak ada lagi coretan-coretan dinding, tak ada lagi bantingan gorengan, tak ada lagi daftar nama-nama yang belum mengirimkan tulisan bulan itu, dan banyak tak ada lagi-tak ada lagi lainnya.
Memuja takdir sepertinya kadang diperlukan. Pangkalnya, aku tak bisa lepas dari Arena dan segala macam isinya. Suatu waktu, aku bertemu ketika sedang meliput di daerah konflik agraria. Di lain kesempatan, bertemu di kantor kepolisian yang sedang didemo habis-habisan. Kali yang lain lagi, demonstrasi di Jalan Gejayan mempertemukan kami. Hari lain lagi, kami bertemu dalam sebuah diskusi publik yang ku panitiai. Pun ketika menonton video di Youtube! Pria bertopi bintang merah yang dulu kerap menagihku tulisan, muncul mengulas buku Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran karya senior cum kameradku di kampus baru. Anwyay, kau masih bisa melihat videonya di sini untuk mendengarkan ulasannya atau sekadar menambah pundi angka penontonnya. Sialan betul Arena ada di mana-mana. Sayangnya, ia tak pernah benar-benar menjauh. Maaf kuralat. Untungnya ia tak pernah benar-benar menjauh.
Setahun magang di Arena dengan segala kekejamannya setidaknya membuatmu menyadari bahwa apa yang dilakukan kapitalisme kepadamu jauh lebih kejam dan Arena membekali senjata untuk melawannya! Banyak selamat untuk setengah abad, Arena! A luta continua!
*Anggota magang Arena tahun 2019. Saat ini sudah tidak lagi memiliki hobi memotong senja | Foto Dokumentasi Pribadi