Home BUKU Tanah Impian Orang-Orang Papa

Tanah Impian Orang-Orang Papa

by lpm_arena

“Orang-orang seperti kita tidak punya keluarga. Mereka dapat sedikit uang lalu mereka menghamburkannya. Mereka tidak punya orang lain di dunia ini yang peduli pada mereka…” 

Tapi kita tidak begitu,

***

Tanah adalah kemewahan terakhir yang dimiliki manusia. Dengan tambahan bangunan di atasnya, halaman yang diisi tanaman dan tetumbuhan lebat mengitari pekarangan juga hewan-hewan yang asyik mencari makan di sekitarannya, adalah anugerah tambahan. Jika kau punya, bersyukurlah. Kalaupun tidak, memang begitulah kenyataannya—kita sudah semakin jauh untuk menggapainya, semakin sakit di kala tiap memikirkan sulitnya impian tersebut menjadi nyata.

Di dunia yang berengsek dan kondisi yang bedebah itu, John Steinbeck memotretnya dengan apik dalam sebuah novela yang ia bikin di 1937 silam.  Kisah perihal pekerja imigran yang bekerja di tengah situasi The Great Depression akhir ‘20-an. Ihwal mimpi, kesepian, dan juga persahabatan.

Memang dunia di masa ia hidup jauh berbeda dengan sekarang, namun satu (dan bukan satu-satunya) hal yang tetap ialah kehidupan manusia yang selalu memupuk harapan juga tak henti-henti bergiat meski di tengah kondisi terhimpit. Steinbeck dengan tajam menggambarkan bahwa impian sering kali tidak hanya sulit dicapai, tetapi juga menjadi alat pelarian dari kenyataan yang pahit.

Alkisah Tikus dan Manusia (Of Mice and Men) adalah cerita konco kentel antara George Milton dan Lennie Small dalam menggapai impiannya. George adalah lelaki bertubuh kecil, cerdas, juga tegas. Sedang Lennie adalah sebaliknya, punya nama ‘small’ tapi berbadan besar dengan kekuatan yang besar pula dan tak memiliki kecakapan yang mumpuni—meski sudah cukup umur, pemikirannya cukup kekanak-kanakan, ia pula terkadang dan memang sering kali lupa. Keduanya sudah bersama sejak lama, bekerja bersama-sama dan memiliki impian yang sama.

Impian mereka sederhana: memiliki rumah dengan sebidang tanah dan hewan ternak yang nantinya bakalan dengan itu mereka hidup. Bekerja dari diri dan untuk diri sendiri. Bukan atas dan di bawah perintah orang lain. Mimpi inilah yang menggerakkan cerita dan bikin mereka betah buat terus bertahan hidup. Bahkan Lennie selalu ingin mendengar mimpi itu keluar dari mulut George, dan tatkala diceritakan bagaimana kehidupan sempurna itu suatu saat bakal dijalani, semangat muncul menggebu di dadanya hingga ia kegirangan bukan main.

Tapi sebagaimana mimpi yang lain, walau memang bermimpi itu gratis, buat sampai kepadanya ada harga yang harus dibayar. Sebabnya, George dan Lennie pergi bekerja pada sebuah peternakan di dekat Soledad—kota yang dalam bahasa Spanyol berarti kesendirian: suatu kesengajaan Steinbeck biar memperlihatkan individualitas kaum pekerja yang kesepian, datar, serta nirambisi, sebagaimana terlihat dalam diri Crooks dan Candy.

“Aku hampir tidak pernah melihat dua lelaki bepergian bersama. Kau tahu bagaimana kebiasaan para buruh, mereka datang dan dapat ranjang dan bekerja selama sebulan, lalu berhenti dan pergi sendirian. Tampaknya tidak pernah peduli pada orang lain.” (hlm. 56)

Kedua-duanya benar-benar iri ketika kemudian menengok ikatan solidaritas serta kukuhnya kemauan George dan Lennie—sampai akhirnya mereka memutuskan untuk ikut dalam mimpi keduanya. Menuju tanah impian.

Mimpi itu tidak mudah dicapai, tentu saja, halang rintang menyusupi jalan setapak yang mereka lewati. Khususnya bagi Lennie, yang tanpanya, George pernah melenguh berandai-andai, dapat lebih mudah meraih mimpi itu. Namun, untuk tidak mengacuhkannya adalah kemustahilan.

Untuk itu George acap kali mewanti-wanti Lennie agar menuruti apa yang dibilangnya. Ia begitu khawatir. Karena seperti yang sudah-sudah, polah Lennie senantiasa berbuah perkara, dan George selalu dan harus mau tidak mau mengeluarkannya dari masalah itu. Meski George tahu, Lennie memang tidak bermaksud begitu, tapi apa daya, orang-orang keburu naik pitam dan semuanya makin keruh seperti saat Lennie mengelus-elus gaun seorang wanita di Weed dan si wanita kabur dan menyebarkan rumor bahwa dirinya telah diperkosa dan orang-orang berbondong-bondong memburu keduanya, hingga bikin keduanya bersembunyi di parit seharian lalu melarikan diri ke Soledad.

Masalah tersebut yang melatari George, sebelum mencapai sana, memberitahu Lennie untuk tidak berbicara saat sampai sana. Sebagai gantinya, dirinyalah yang akan menjawab segala pertanyaan dari si bos kepada mereka, sebarang nama pun.

George jugalah, sebagai sahabat dan penasihat, belakangan memberitahu Lennie untuk tidak berhubungan dengan Curley, anak si bos peternakan, yang tengil dan hobi bikin onar juga istrinya yang genit dan doyan menggoda. Karena dari firasat dan melihat kelakuannya, George merasa kedua orang itu adalah Si Berengsek yang akan mendatangkan “maut” bagi mereka bila terlalu dekat-dekat.

Agar Lennie menurut, George menakut-nakuti Lennie bila berbuat nakal ia tidak akan dikasih untuk memelihara kelinci warna-warni dengan bulu gondrong seperti yang dibilang. Memelihara kelinci tersebut adalah termasuk dari deretan impian mereka berdua karena George tahu begitu doyannya Lennie mengelus. 

Di bagian awal sampai akhir, Lennie diperlihatkan teramat suka mengelus-ngelus karena sesuatu itu lembut. Seperti kasus gaun sebelumnya, Lennie lakukan itu karena ia suka teksturnya sampai-sampai si wanita risih. Kemudian saat di peternakan dan ia dibiarkan memiliki anak anjing, Lennie tak henti-henti membawa serta mengelus anak anjing tersebut hingga larut malam, hingga anak anjing yang baru brojol itu mati. Bahkan di awal cerita mula, ia membawa seekor tikus dalam sakunya buat mengatasi obsesinya ini.

Steinbeck tidak hanya menceritakan persahabatan dan impian; kepedulian juga kebersamaan antara George dan Lennie, tetapi juga memperlihatkan bagaimana dunia sering kali tidak memberi kesempatan bagi mereka yang lemah dan berbeda. Novel ini memperlihatkan bahwa kelas pekerja, terutama buruh kasar seperti George dan Lennie, terus-menerus berada dalam siklus kerja yang melelahkan tanpa harapan yang nyata.

Dalam novel pendek ini, mudah melihat bagaimana prasangka dan ketidakadilan sosial menjadi tembok besar yang sulit ditembus oleh mereka yang bercita-cita tinggi. Bahkan terkadang, impian tersebut dipandang sinis lagi pesimis untuk menjadikannya makbul. Saat Lennie mengutarakan impian akan memiliki kelinci dan bakalan bikin petak buah beri, ia dibilang sinting oleh lawan bicaranya, Crooks, yang kemudian menyergahnya dengan kasar.

“Aku lihat ratusan orang datang dari jalan dan ke peternakan-peternakan, dengan menggendong buntelan selimut di punggung dan mimpi yang sama di kepala mereka. Ratusan orang. Mereka datang dan berhenti kerja dan pergi lagi; dan setiap orang itu punya tanah kecil di dalam mereka. Dan tidak ada satu orang terkutuk pun yang berhasil mendapatkannya. Sama seperti surga. Semua orang ingin sedikit tanah. Aku baca banyak buku di sini. Tidak ada yang masuk surga dan tidak ada yang dapat tanah. Semua ini hanya ada di kepala mereka. Mereka terus-menerus bicara soal itu, tapi itu cuma ada di kepala mereka.” (hlm. 100)

Crooks, si penjaga kandang kuda, bilang demikian bukan atas dasar keangkuhan yang karenanya meludahi setiap mimpi orang-orang daif, tidak, ia realistis. Terlebih bagi Crooks yang hidupnya sudah tersisih sejak lama karena dirinya seorang negro, bahkan ditempatkan berbeda tempat tidurnya—yang lain berbarengan di barak, sedang ia sendiri—tahu bahwa semua itu tidak berguna. Dan bagi seorang pekerja, pundi-pundi uang selalu pulang pada pada salah satu di antara rumah-rumah bordil atau segelas dua gelas bir atau permainan kartu, atau kedua-duanya, ada kalanya ketiga-tiganya.

Penulis yang pada tahun 1962 meraih penghargaan nobel ini, menyiratkan bagaimana dunia senantiasa berjalan tidak sesuai keinginan, kejam (seperti yang terjadi pada Crooks) dan harapan, senantiasa menjadi opium yang mengobati durja. Lewat istri Curley misalnya. Ia adalah sosok wanita yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dan bermimpi menjadi artis, tapi realitas membuatnya berakhir di sebuah peternakan.

Lagi, adalah Candy. Ia seorang pekerja tua yang kehilangan satu tangannya. Di peternakan, dengan kondisi fisiknya yang hanya memungkinkan dirinya melakukan kerja ringan, serta melihat dibunuhnya anjing miliknya karena sudah tua—ia tahu akan bernasib sama. Di dunia yang menuntut kekuatan, ia hanya akan habis manis, sepah dibuang.

Pada akhirnya, memang betul impian tak jarang adalah cahaya yang bikin orang-orang merasa hidup dan punya alasan untuk hidup, tetapi juga dan seringnya, impian berujung selalu pada kesakitan. Lewat karyanya ini, Steinbeck mendedah bagaimana dunia dan kehidupan kerja dan sistem yang ada tak berpihak dan berbelas kasihan pada orang-orang papa—yang terpinggir, yang bermimpi, yang pada akhirnya kian menandaskan bahwa impian, tanah impian, tak lebih dari sekadar angan-angan. Dan akan tetap menjadi angan-angan.

Judul Tikus dan Manusia (Of Mice and Men) | Penulis John Steinbeck | Penerjemah Ariyantri E. Tarman | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan 2017 | Tebal 144 hlm. | Peresensi Selo Rasyd Suyudi 

Editor Maria Al-Zahra