“Maaf, terlambat pak,” ucap Haris ketika baru masuk kelas. Raut wajahnya ia tundukkan. Ia tidak kuasa menatap mata Pak Subhan, guru kimianya itu.
Apesnya, Pak subhan tidak menghiraukan sapaan Haris. Ia tetap melanjutkan menulis di papan. Haris celingukan, serba salah. Sampai akhirnya Erwin memberikan aba-aba pada Haris untuk duduk.
Inilah kesekian kalinya Haris terlambat pelajaran pak Subhan. Begitu sulit baginya untuk tepat waktu masuk kelas jam pertama. Bagaimana tidak, kalau sejak mentari menyingkap kabut pagi ia mulai mengayuh sepeda mengelilingi kampung. Ya, mengantarkan donat buatan ibunya ke warung-warung dan toko.
“Haris…” seorang perempuan memanggil namanya ketika baru saja duduk. Suara perempuan yang sangat familiar di telinganya.
“Maya,” Haris tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Perempuan tetangganya itu berada di depannya, sekelas dengannya dan berseragam putih abu-abu. “Kamu kok bisa disini?”
“Emang tidak boleh, perempuan bodoh sepertiku, berada di kelas ini?” Maya balik bertanya.
“Bukan begitu maksudku, tapi aneh saja kamu tiba-tiba masuk di kelasku,” tutur Haris menjelaskan. “Kamu sudah berhenti sekolah sebelum lulus SMP kan?”
Mendengar pertanyaan itu, raut muka Maya langsung memerah. Gelagapan. “Ah, jangan banyak omong, itu dengerin di depan saja,” Maya berusaha mengalihkan perhatian Haris dari sikapnya yang salah tingkah.
“Haris!”
“Ya pak,” jawab Haris gelagapan.
“Sekarang kamu ditunggu pak Kepsek di ruangannya,” tukas pak Subhan dengan suara gelegarnya, membuat Haris semakin kider.
Tanpa basa-basi Haris beranjak dari tempat duduknya, bergegas ke ruangan kepsek. Tapi sebelum pergi, ia membisiki sesuatu sama Maya.
***
“Anggap saja Maya itu siswa disini ya,” pesan kepsek pada Haris di ruangannya. “Aku prihatin sama kondisi dirinya,” lanjutnya.
“Ya pak, aku akan merahasiakan tentang persoalan ini,” timpal Haris berkaca-kaca. “Kalau begitu saya pamit dulu pak. Ada yang harus aku kerjakan,” pamitnya kemudian.
“Oia silahkan, terima kasih ya,” ucap kepsek dengan ramah. Haris menyalami lelaki yang sudah berkepala tiga itu. Lelaki yang jadi tetangganya itu, sejak ditugaskan jadi guru di sekolahnya. Pak Burhan, namanya.
Satu langkah dari pintu kantor kepsek, Haris menghela nafas panjang. Dia merasa lega pak Burhan mau menerima Maya disini. Tapi siapa pula yang tidak merasa prihatin sama Maya, anak tetangga samping rumahnya itu. Maya terlahir tidak sempurna ketimbang saudara-saudaranya yang lain yang cantik. Dia yang selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya, sebagai anak temuan atau anak haram. Apa lagi perlakuan kasar dari bapaknya yang seringkali berlabuh padanya. Maya layaknya seperti anak tiri dari empat bersaudara.
“Itu Maya,” gumamnya ketika melihat perempuan kumuh itu duduk di bawah pohon beringin sendirian. Haris menghampirinya, walaupun sebenarnya ia tidak ada yang mau dibicarakan lagi sama Maya. Semua yang ada di benaknya tadi sudah dijelaskan oleh pak Burhan. Yang ada di pikirannya sekarang, hanya menenangkan hati perempuan malang itu.
“Haris temani aku ya,” sambut Maya seperti merajut. Haris mengangguk sambil duduk disampingnya. Dari raut wajahnya, Haris bisa merasakan keterasingan yang dialami perempuan itu. Entah di lingkungan keluarganya sendiri maupun dari teman-teman di sekitarnya. Terlintas bayangan ketika Maya mendapat perlakuan kasar dari bapaknya. Ketika suara teriakan dan umpatan mengarahnya. Bunyi barang-barang yang dibanting dan kaca-kaca dihantam merupakan instrumen saat Maya diperlakukan tidak sewajarnya oleh bapaknya. Padahal tidak untuk saudara-saudaranya yang lain.
“May, kamu sudah makan?” tegur Haris melihat muka perempuan itu yang lemas.
“Belum, kenapa? Mau mengajak aku makan? Hehe, seperti di sinetron-sinetron saja kamu.” ucap Maya sambil mendorong Haris, manja.
Haris tersenyum mendengarnya. Tapi dari lubuk paling dalam, hatinya terasa miris ketika melihat gelagat Maya yang aneh. Ia tidak menemukan Maya yang ia kenal dulu waktu SD. Ia takut, perkataan pak Burhan benar tentang Maya. Ya, Maya yang sekarang berada di hadapannya adalah perempuan yang mengalami depresi akut.
“Ah, kamu tidak usah bengong kayak gitu. Kalau tidak punya duit buat teraktir aku, bilang saja. Aku punya ini nich, aku yang teraktir kamu.”
Haris terperanjat dengan apa yang diperlihatkan Maya. Sepasang cincin tunangan berada di genggamannya. Cincin itu masih utuh dengan kotaknya.
“Nanti jualin cincinku ini, setelah itu aku akan teraktir kamu. Sisanya akan aku belikan seragam baru dan buku,” tutur Maya polos.
“Emang kamu dapat dari mana cincin ini?” Haris berusaha untuk hati-hati menanyakannya.
“Aku ambil cincin tunangan mbak Lastri,” akunya seakan tidak bersalah. “Ia kan kakakku, jadi milikku juga,” Maya seakan tahu apa yang ada di pikiran Haris.
Haris berusaha memberikan senyuman pada Maya walaupun terlihat ketir. Ia semakin yakin tentang ucapan pak Burhan.
“Yaudah, jangan bengong aja, ini bawa kamu,” tegur Maya sambil menjulurkan sepasang cincin itu.
Haris menerimanya dengan hati waswas. Pikirannya bingung, apa yang harus ia lakukan. Baru kemudian ia memutuskan, “Oke, kita makan dulu ya. Aku yang traktir. Nanti sepulang sekolah aku bawa cincin ini ke toko emas.”
***
Pagi ini Haris tidak berkeliling kampung untuk mengantarkan donat-donat ibunya. Hatinya merasa galau, resah dan tidak menentu. Tiba-tiba ia merasa khawatir ketika mendengar kepulangan Maya ke rumahnya. Selama ini perempuan itu menginap di rumah Intan, teman sekolahnya dulu di SMP. Dan dirinyalah yang memberitahukan Lastri saat mengantarkan cincin yang diambil Maya. Padahal, waktu itu, Haris sudah memohon pada Lastri untuk merahasiakan dulu keberadaan Maya demi kondisi psikologisnya yang masih rentan.
Tiba-tiba Haris dikejutkan dengan ketokan pintu begitu keras terdengar. Haris terperanjat dari lamunannya. Suasana hatinya semakin tidak menentu. Dengan waspada dia memberanikan diri untuk membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, Lastri menghambur ke pelukannya. “Haris, aku minta maaf atas kejadian ini. Aku yang bersalah. Aku sebenarnya tidak menginginkan hal seperti ini terjadi pada adikku. Aku sayang sama dia.”
“Emang ada apa dengan Maya?” Haris berusaha melepaskan rangkulannya.
“Dia…dia dibunuh sama Bapakku, Haris. Bapakku beringas. Aku takut untuk kembali ke rumah.”
Mendengar penuturan itu, Haris hanya bisa mengeram dan memejamkan mata rapat-rapat. Hatinya bergejolak.
Yogyakarta, Awal Mei 2011
NAZIL OSING
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif di Teater ESKA Yogyakarta.