Home SASTRACERPEN Surat dari Neraka

Surat dari Neraka

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com-“Jadi, sudah berapa lama kau hidup?” Aku segera membuka almanak di gawaiku, menghitung durasi napasku.

“8668 hari sejak aku keluar dari perut mama. Mungkin lebih kalau kuhitung mulai kehidupan dalam kandungan,” jawabku lugas.

Orang yang bertanya lamanya aku hidup itu adalah orang paling aneh yang pernah kukenal. Mungkin kalian akan setuju dan berpikiran sama sepertiku setelah bertemu dengannya. Sekali saja. Maka apa yang aku katakan bukan lagi sebatas karangan.

Alasan utama dia patut disebut aneh karena terlalu sering menanyakan hal yang jarang dipikirkan manusia, seperti bagaimana jadinya jika ukuran sepatuku tiba-tiba menyusut menjadi kecil, lalu ke mana perginya laron-laron setelah bertandang, selain ditemukan tergenang di baskom berisi air.

Aku tidak tahu mengapa dia sering mempertanyakan hal absurd. Awalnya kukira dia hanya iseng atau ingin terlihat keren dan berbeda dari yang lain. Namun, kurasa tidak. Hingga hari ini, dia masih begitu . Tingkahnya pun selalu berubah-ubah.

Rasa benci menjadi awal mula aku dekat dengannya. Dulu, aku berpikir apa yang menarik dari dia? Hmm… rambutnya acak-acakan dan kusut, pakaiannya lusuh seperti tak pernah mengenal pewangi ataupun setrika, wajahnya tak simetris. Pokoknya, dia adalah kebalikan dari “kenormalan” yang ada.

Meski dia begitu, semua hal menyebalkan yang dilakukan orang lain akan tak berarti apa-apa bila dia yang melakukannya. Maksudku, dia adalah orang aneh yang kukenal selama ini dan begitu kucintai.

“Kau aneh, Saka.”

“Iya, biarin,” jawabnya singkat. Datar.

Dia manusia jelmaan Antartika. Pedalamannya penuh halimun, dingin, dan tak berpenghuni. Aku tidak pernah tahu dia yang sebenarnya. Seolah ada dinding yang menghalangiku untuk masuk lebih dalam ke kehidupannya. Aku pun tak bisa memastikan apakah itu dinding yang kelak bisa kurobohkan atau baja yang nantinya bisa kulunakkan. 

Yang pasti saat aku berusaha melihatnya lebih dekat, membacanya amat cermat, maka aku kian jauh terhempas.

Sebenarnya sudah lama aku selalu ragu kepada dia. Keraguan yang aku pun tak mampu menjelaskannya. Ketika aku mencoba akrab dan menggali lebih dalam tentang dia, yang aku temukan hanya kekosongan. Dia begitu kosong melompong. Dan dalam kekosongan itu, aku tidak menemukan perasaan apapun: hampa, aneh, dan begitu janggal. Jiwa dan hatinya terisi penuh akan kekosongan.

“Jadi, siapa sebetulnya dirimu? Apakah yang hadir di depan mataku adalah dirimu yang asli atau yang palsu?” batinku bertanya-tanya.

Dia sering menyakiti hatiku. Berkali-kali. Sikapnya selalu berubah, kadang dia bodoh, kasar, dan menyebalkan, di lain waktu dia lembut dan romantis. Sesekali mengabaikanku. Namun, selama itu juga aku tetap bertahan. Kalian boleh bilang aku bodoh atau apalah karena masih bersamanya–aku cukup sadar. 

Suatu hari, aku pernah memanggilnya di kantin dekat fakultasku. Dia hanya melengos. Meninggalkan suaraku memecah keramaian piring dan sendok yang saling berdenting.

Entah dia sadar atau tidak bahwa sikapnya telah melukai perempuan yang begitu mencintainya. Dia bajingan yang bodoh soal perasaan. Saat kutanya mengapa sikap dan perilakunya seperti acuh tak acuh, dia malah menjawab dengan pertanyaan juga, “Memangnya kenapa?”

Aku benci satu sisi dalam dirinya. Aku tak tahu kesalahan apa yang kuperbuat hingga sikapnya berubah. Padahal beberapa bulan lalu bicaranya tak sarkastis seperti sekarang. Seolah ada sumbu yang terbakar dan telah sampai pada intinya dan mesiu dalam dirinya meledak, menjadikannya sosok yang sangat berbeda.

***

Sekarang adalah hari ulang tahunku dan aku masih di sini, di tempat paling gelap di dunia, di tempat pengap dan tengik, di sebuah penjara berukuran 2×2, di sebuah kamar–sebenarnya aku benci untuk menyebutnya kamar.

Hari ini ulang tahunku. Mengapa aku masih hidup di dunia yang penuh akan pendusta yang disebut manusia? Dunia yang menempatkan ketololan dan kebaikan di posisi yang sama. Dunia yang menampung manusia suka tertawa di paragraf hidup yang penuh luka.

Sudah tiga bulan, mungkin lebih, aku tak berkabar maupun interaksi dengan orang-orang: Teman, keluarga, tetangga, dan perempuan yang mencintaiku.

Genap tiga bulan aku tak mengendus bau kamar ini. Selama itu aku melakukan perjalanan tanpa arah, tanpa rumah. Aku melakukannya demi diriku sendiri, lari dari semua masalah, ingar-bingar kampus, keluarga, pertemanan, juga asmara. Kau boleh menyebutku tak bertanggung-jawab atau apapun itu, aku tidak peduli. Sialan. 

Hidup dengan banyak orang, terlalu menjemukan, kurasa. Masalah datang berangsur-angsur. Satu per satu pedang menorehkan luka ke hati dan menanamkan dendam yang teramat dalam.

Konon, orang-orang banyak mengatakan masalah itu adalah ujian untuk manusia agar dapat lebih memanusiakan sesamanya. Persetan dengan kata-kata bijak itu. Ucapan kalian tidak lebih dari sekadar alibi untuk menyembunyikan kelemahan diri.

“Agar tak disebut bodoh, orang-orang membuat alasan dengan kata-kata mutiara,” begitulah kesimpulanku.

Hidup dengan banyak orang, terlampau memuakkan, kurasa. Orang-orang dengan senyum lebar datang dan pergi lalu mereka menampakkan wajah sinis mereka yang mirip iblis. Ingin rasanya kuludahi setiap inci raganya, hingga tak tersisa sejengkal pun pada badannya itu selain kenyataan, setelahnya aku akan mengumpat di depan wajah bodohnya.

Bajingan mereka ini, pikirku. Tak ayal kebaikan yang mereka gaungkan hanya berbuah pengingkaran daripada kebenaran.

“Tidak, ini bukan aku, kan?” gerutuku.

Aku menangis, kejer. Tak tertahan.

“Ya, ya, ya. A…ku, …..”

“Hei, hei! Kamu tidak boleh menangis. Ini akan menjadi hari perayaan kita. Hanya ada aku dan kamu, kamu dan kamu, aku dan aku. Kita. Ya, kita! Kita memeluk diri kita sendiri,” lirihku menenangkan.

“Benar, ini akan menjadi hari istimewa. Ini akan menjadi perayaan paling meriah dalam sejarah manusia,” ucapku sambil terkekeh.

“Mau kemana kita hari ini?”

“Bebas, kemana pun, kita keluar saja dulu.”

Bulan tergantung di tempatnya. Aku keluar dengan kakiku yang masih terbungkus kaus kaki juga sepatu. Angin berdesir pelan, pelan sekali, ditambah salak gonggongan anjing menambah kelam dinginnya malam ini. Sesekali bulu kudukku berdiri, meski badanku sudah kulapisi jaket, kemeja, juga kaus, tetap saja angin menusuk ke tulang-tulangku.

“Boleh kita mulai sekarang?” tanyaku.

“Ya tentu saja. Mari kita duduk di tepian sungai ini dan mulai,” jawabnya bersemangat.

Ingatlah, ini akan menjadi tulisan terakhirku. Atau juga ini mungkin awal sekaligus akhir. Aku membenci kalian, sungguh. Aku muak melihat kalian yang begitu lemah saat dunia kini tak lagi ramah. Mama dan bapak yang hidup bergelimang keringat dan harap, aku membencimu. Kekasihku, aku membencimu juga. Keluargaku, semuanya, aku membenci kalian. Begitupun dengan teman-temanku, kenalanku, aku membenci kalian!!

Ttd

Aku, Saka

“Apa sudah cukup menurutmu?”

“Cukup, tapi apa boleh aku menambahkan sedikit di halaman baru?”

“Tentu saja.”

“Tapi kau tidak boleh membacanya, janji?” dia memastikan.

“Oke, tak masalah.”

Meski ini akan menjadi tulisan awal dan terakhirku, aku ingin mengutarakan terima kasih sebanyak-banyaknya. Kalian begitu baik dengan segala cara masing-masing yang unik. Aku tidak membenci kalian. Aku hanya terlalu pengecut yang lagi penakut untuk mengakui bahwa aku menyayangi kalian. Kalian terlalu baik untuk diterpa badai, kalian terlalu baik untuk dihempaskan orang-orang bajingan. Aku takut, jika semua ilusiku terwujud. Maafkan aku ini.

Untuk Mama dan Bapak, terima kasih, ya. Kalian telah mendidikku dengan layak, aku menyayangi kalian. Selalu. Kuat dan sehat-sehat terus, ya!!

Untuk Kekasihku, G, terima kasih, ya. Kau sudah menemaniku hingga saat ini, maaf untuk tempo hari, aku mencintaimu. Aku tidak pernah bermaksud seperti itu, aku hanya ingin kau membenciku, dan saat aku pergi itu tak akan menjadi masalah bagimu.

Untuk teman-temanku, terima kasih juga. Aku bingung bagaimana cara mengungkapkan ini, yang jelas, kalian baik, sangat baik. Bahkan kepada seorang aku yang tak laik mendapat kasih sayang kalian. Kalian luar biasa.

Ttd

Aku, Saka

“Hei, hei. Kenapa kau tulis itu, itu tidak ada di rencana kita tadi. Tak ada kebenaran, kan?”

“Kau tidak boleh jujur, tolol. Cepat robek dan cepat berikan suratnya ke si Malik itu, dia sudah menunggu. Waktu kita sudah habis.”

Penulis Selo Rasyd Suyudi, sosok manusia yang bermimpi menjadi langit. | Ilustrator Muhammad Dzaky Samsul Anwar | Editor Musyarrafah